Tengah malam, Rosie terbangun karena merasa tenggorokannya kering. Saat melihat jam, tidak disangka jarum sudah berada di angka dua. Sedikit menoleh, dia menyadari jika kasur di sebelahnya kosong. Keningnya berkerut. Ke mana Alan malam-malam begini?
Tenggorokannya semakin terasa kering dan bisa dipastikan dia akan batuk hebat jika tidak segera menyiramnya dengan air. Tanpa berpikir panjang, Rosie memilih untuk pergi ke dapur.
Gerakannya halus dan hati-hati, tidak ingin membangunkan siapapun dan berakhir dirinya dipaksa minum air hangat yang tidak jelas kandungannya.
Matanya melirik sekitar, gelap dan hening. Tidak ada pergerakan sama sekali. Dengan langkah ringan dan cepat, Rosie mendekati dispenser dan menekan tombol hangat, lalu dalam sekejap gelasnya terisi. Rosie segera menghabiskannya dalam beberapa tegukan. Segera, tenggorokannya yang kering dan gatal menjadi lega.
Tangannya bergerak membuka penutup makanan di meja, mencari sesuatu untuk mengganjal perutnya. Untungnya, dia melihat roti tawar. Dia pun segera mengambil dua lembar, mengolesnya dengan madu, lalu memakannya.
Rasa laparnya sedikit terobati. Setelah meminum segelas lagi air hangat, Rosie bersiap untuk kembali ke kamar. Namun, matanya melihat sebungkus biskuit gandum yang biasa dikonsumsi suaminya.
Tanpa berlama-lama, dia memasukkannya ke dalam baju dan bergegas ke kamar, menyimpannya ke dalam lemari bawah, lalu mulai berbaring. Sialnya, karena adrenalinnya terpacu, dia merasa tenggorokannya gatal.
“Uhuk!! Uhuk!!”
Rosie melihat tidak ada air yang bisa dia minum. Dengan sangat terpaksa, dia kembali keluar.
Sial! Harusnya tadi dia menyelipkan satu termos bukannya mengirim semuanya ke rumah sang kakak dan meminta seseorang mengirimnya ke sini atas nama kakaknya.
Baru saja menelan air hangat, dia dikejutkan dengan kehadiran Alan yang tiba-tiba.
“Kamu tidak apa-apa?” Alan tampak cemas. Dia mendekat dan mengusap punggung Rosie dengan lembut seperti biasa.
Rosie merasakan kenyamanan dan kehangatan dari punggungnya menyebar ke seluruh tubuhnya dan berakhir di hatinya. Tanpa sadar, dia bersandar pada tubuh Alan yang tinggi. Energinya seolah terkuras dan dia sangat lemah.
“Lebih baik?” Alan menunduk. Matanya menatap ujung hidung Rosie yang lancip. Rambut hitamnya meluncur menutupi sebagian pipinya. Harum baunya menggelitik indra penciuman Alan.
Rosie mengangguk perlahan. “Terima kasih.” Suaranya lirih dan serak.
Setelah beberapa saat, dia menegakkan kembali badannya. “Kamu dari mana? Kenapa belum tidur?”
“Ada beberapa pekerjaan yang tidak bisa ditunda.”
Rosie termenung. Seingatnya, Alan tadi bergegas masuk menolongnya dari arah samping sedangkan ruang kerjanya ada di depan. Kenapa Alan berbohong?
Perempuan itu berpikir keras sambil menundukkan kepala. Saat itu, dia menyadari jika kaki Alan sedikit basah. Ada jejak-jejak air di betisnya. Dan di samping dapur, memang ada kamar mandi yang biasa digunakan tamu.
Jika memang suaminya ini ingin ke kamar mandi, di ruang kerja juga ada. Kenapa repot-repot pergi ke samping?
“Ayo tidur! Jangan sampai kamu kelelahan.”
Rosie tiba-tiba menyadari jika dia memang sedikit mengantuk setelah perutnya kenyang. Dia tidak lagi memikirkan keanehan ini lebih jauh.
“Baiklah.”
Dengan patuh, Rosie kembali ke kamar dengan dibantu Alan.
“Kenapa kamu pergi ke dapur? Air di kamar habis?” Alan bertanya sambil menuntunnya ke kamar.
“Iya, habis.”
“Aku akan meminta Mary untuk membelikan termos yang lebih besar agar kamu tidak kesulitan lagi.”
“Tidak usah!” Rosie sontak menggeleng.
Alan melirik keheranan. “Kenapa tidak mau?”
Rosie sedikit gugup. Dia berdehem sejenak, lalu menjawab, “Ukuran termos yang sekarang sudah tepat. Tidak terlalu besar atau kecil. Dengan termos besar, aku takut airnya menjadi tidak lagi segar dan berbau. Tidak apa-apa, sedikit berjalan juga tidak buruk.”
Alan tidak bisa membantah. Jadi, dia mengangguk. “Baiklah jika itu maumu.”
Dalam hati, Rosie merasa lega. Jika Alan memaksa untuk mendapatkan termos yang lebih besar, dirinya akan merasa semakin kesulitan.
Tiba di dalam kamar, Rosie merebahkan dirinya dan Alan membantunya menutup kaki dengan selimut.
Melihat tindakan Alan yang lembut, Rosie tidak bisa menahan perasaan melankolis dalam hatinya.
Lihatlah pria yang sedang merapikan selimut di kakinya itu. Dia adalah seorang pria tampan, baik, dan cerdas dan memiliki posisi tinggi di perusahaan. Akan tetapi, di sini, dia bersedia merawatnya dengan seksama tanpa mengeluh.
Pria itu adalah dewa penyelamat yang dikirim Tuhan untuknya. Tidak diragukan lagi!
Dengan semua pemikiran itu, sudah sepantasnya jika dirinya memikirkan kebahagiaan Alan. Dengan begini, semuanya adil.
Alan berhak berbahagia meskipun itu membuatnya tidak nyaman. Toh selama ini, Rosie yakin selama merawat dirinya, suaminya itu juga menekan semua perasaannya.
“Aku dengar mama sudah menemukan seseorang yang cocok untukmu.”
Perkataan Rosie membuat tangan Alan yang sedang menyentuh selimut tiba-tiba berhenti.
“Tidak perlu membahasnya. Ini sudah malam.” Alan mengangkat tangannya sekali lagi untuk merapikan selimut dan berjalan menuju sisi ranjangnya dan meletakkan ponselnya di atas nakas.
Jelas kentara jika Alan tidak ingin membicarakan apapun tentang hal ini. Namun, Rosie tidak ingin melepasnya begitu saja.
“Kalau kamu tidak menyukainya, kamu bisa membicarakannya dengan mama. Atau kamu ingin meminta bantu ku? Aku akan berkata jujur pada mama. Mungkin mama memiliki kandidat lain untukmu.”
Ya, meskipun Hilda memiliki buat jahat padanya, tapi Rosie yakin jika Alan tidak berhubungan dengan semua rencana itu. Biarlah dia berakting menjadi menantu baik dan polos sekali lagi. Semua itu tidak akan sulit jika akhirnya untuk Alan.
Alan yang baru saja menutup tubuhnya dengan selimut sontak menoleh. “Kenapa kamu ingin sekali aku menikah lagi? Apa kamu tidak bahagia bersamaku?”
Mata Rosie tiba-tiba memanas. “Bagaimana bisa kamu mengatakan itu? Justru karena aku sangat mencintaimu, aku juga ingin melihatmu bahagia. Apa kamu tidak tahu jika aku sering memergokimu sedang menonton video balita-balita lucu? Alan, aku tidak tahu kapan aku bisa memberikan kebahagiaan itu padamu. Aku bahkan,,,, lupa kapan terakhir kali kita melakukannya. Semua karena tubuh lemah ku ini!”
Alan menatap Rosie tanpa kedip. Pupilnya bergerak-gerak. Ada begitu banyak kata di ujung lidahnya, tapi tidak ada yang sanggup dia ucapkan.
Memang benar dia menginginkan anak. Putra putri yang lucu yang berasal dari gennya yang akan menyambutnya dengan langkah kecil dan senyum manis menggemaskan saat dia pulang kerja.
Juga, benar jika dia butuh kehangatan seorang istri. Namun, dia tidak sampai hati saat melihat kondisi istrinya. Alan takut menyakitinya.
“Sayang, aku tahu kamu ragu. Tapi aku, aku yakin dengan perkataan ku.”
Alan begitu larut dalam lamunannya hingga dia tidak menyadari jika posisi mereka sudah berhadapan.
“Aku,,,,” Alan kesulitan menelan ludahnya. “Aku takut kamu kecewa.”
“Tidak! Aku justru akan semakin merasa egois dan bersalah jika kamu terus seperti ini.”
Alan merasa hidungnya masam. Istrinya ini..
Dulu, Rosie adalah gadis paling cantik, cerdas, dan berbakat yang pernah dia kenal. Kini, hanya dalam hitungan bulan, tubuhnya yang indah hanya menyisakan tulang dan kulit. Matanya yang dulu indah, kini tampak hampa dan kosong.
“Besok, kamu harus menemui mama dan segera mengaturnya segera.”
“Sayang..” Alan tidak tahan lagi. Dia segera menarik Rosie dalam pelukannya.
Tubuhnya begitu tipis seolah bisa remuk jika Alan sedikit menekannya.
Air mata Rosie perlahan menetes. Dalam hati, dia tahu jika Alan sudah memantapkan hatinya.
“Aku berjanji akan selalu menyayangimu. Tidak peduli meskipun ada yang lain. Aku akan bersikap adil.”
Rosie tidak menjawab. Air matanya jatuh semakin deras. Dia tahu keputusan ini sangat menyakitkan. Tapi sekali lagi, ini juga karena dirinya yang lemah.
—
Pagi hari, Rosie bangun dengan kepala pening karena menangis semalam. Tangannya memijat pelipisnya sambil mengumpulkan kesadarannya.
Suara gemericik air terdengar. Rosie menoleh dan mendapati pintu kamar mandi yang tertutup. Sepertinya itu Alan.
Rosie refleks melihat jam. Pukul setengah tujuh. Pantas saja suaminya masih di rumah.
Merasakan tenggorokannya yang kering, Rosie duduk dan meraih botol yang semalam sudah dia isi. Setelah menghabiskan setengah isinya, dia mendengar getaran ponsel. Diapun meraih ponselnya yang ada di laci. Namun, ternyata itu bukan miliknya.
Rosie tanpa sadar mengernyit. Sebagai seorang karyawan teladan, Alan jarang mengatur ponselnya dalam mode getar. Tumben sekali!
Setelah beberapa saat, suara getaran itu menghilang. Namun, dia kembali mendengarnya. Takut jika itu adalah sesuatu yang penting, Rosie berjalan menuju area nakas Alan. Benar saja! Dia melihat layar ponsel suaminya itu menyala.
Kai.
Itu adalah nama yang tertulis di sana.
Rosie tidak pernah mendengar nama ini sebelumnya. Namun, sebagai pemimpin perusahaan, wajah jika Alan mengenal banyak orang. Jadi, Rosie tidak memikirkannya lebih jauh. Dan dia memilih untuk menghormati Alan dengan tidak mengangkatnya.
Namun, baru saja panggilan itu berakhir, Rosie melihat pop up pesan yang membuat keningnya berkerut.
Kai
[Aku tahu kamu pasti berhasil mengatasi perempuan itu.]
Dada Rosie dipenuhi dengan gemuruh.
Siapa yang dimaksud dengan perempuan itu? Apakah itu dirinya? Siapa Kai? Apa hubungan Kai dengan suaminya?