Bab 12. Usaha Shaka

1328 Kata
Kehidupan terus berjalan, tidak menyangka sudah 3 bulan lamanya Rania menjalin hubungan rumah tangga dengan Shaka. Sebuah kehidupan rumah tangga yang bisa dikatakan cukup membuat Rania sering berdebar karena sikap Shaka sangat manis, terutama pada Najwa. Seperti yang dikatakan Shaka sebelumnya jika pria itu akan tanggungjawab penuh atas Rania dan juga Najwa. Jadi begitu masuk tahun ajaran baru Shaka langsung saja mengajak Rania mendaftarkan Najwa ke salah satu daycare pilihan yang letaknya tak jauh dari kantor pria itu bekerja agar saat berangkat Shaka bisa mengantar sedangkan saat pulang Rania yang akan menjemput. Benar, Shaka memang sudah bekerja di perusahaan Papanya karena terus didesak. Alih-alih bisa membantah Shaka lebih takut akan menjadi gembel karena akan dicoret jadi ahli waris. Sebuah stik dipukul cukup kuat hingga bola kecil yang sebelumnya ada di meja menggelinding ke seluruh sisi. Shaka baru saja memukul stik billiard pertanda permainan di mulai. Hari itu sudah sore dan seharusnya ia sudah pulang ke rumah. Kendati demikian Shaka memilih pergi ke tempat billiard untuk sedikit melepas penat. “Mantap bro, lama nggak dateng makin keren pukulan lu.” Nuel—salah seorang teman tongkrongan Shaka memuji. Shaka hanya melirik dengan senyum pongah, ia membungkukkan badan dengan tangan yang memasang ancang-ancang pada stik yang akan dipukulkan. Sekali pukul bola itu masuk ke dalam lubang dengan tepat sasaran. “Lanjut terus, bre.” Nuel mengangguk-angguk puas melihat pukulan Shaka barusan. Shaka melanjutkan pukulannya, memasukan bola-bola target ke lubang dengan sekali tembakan yang tepat. Untuk masalah masuk memasukan Shaka jelas ahlinya. Tapi sudah lama sekali ia tidak melakukan hal gila yang selama ini sudah menjadi hobi itu. Shaka benar-benar meninggalkan kebiasaannya setelah memutuskan ingin mengejar Rania. Cinta? Tentu saja tidak. Shaka hanya penasaran dengan wanita pendiam yang ternyata sangat galak itu. “Ah bosen gua, nggak ada Biru sama Kala udah nggak asyik.” Shaka akhirnya melempar stik billiard itu setelah bosan karena terus menang. Biasanya ada Xabiru atau Kalandra yang menjadi lawannya yang sepadan. “Mereka pada sibuk sama anak-anak. Kita aja nih yang kurang kerjaan,” sahut Nuel. “Sorry ya, gua nggak kurang kerjaan. Malah kerjaan gua banyak sampai bikin pusing.” Shaka menghempaskan tubuhnya pada sofa, mengambil rokok dan menyulutnya. “Hah? Lu seriusan udah pegang perusahaan?” Nuel memandang Shaka seolah tak yakin jika pria begajulan itu sudah memimpin perusahan. “Gua kok jadi parno, takut karyawan lu bakalan lu ajarin buat n***e semua,” ledek Nuel. “b*****t! Gua udah nggak kayak gitu lagi ya.” Nuel justru terbahak-bahak sambil memukul lengan Shaka. “Dan jangan lu kira gua percaya. Nggak yakin lu bisa berhenti, udah ketemu pawang?” Shaka tidak menjawab apa pun, lebih memilih menikmati rokok sambil memikirkan strategi baru untuk menarik hati Rania. Semua yang dilakukan rasanya belum benar-benar bisa membuat wanita itu tertarik padanya. Baru kali ini Shaka buntu dengan segala ide. Akhirnya setelah cukup lama pertimbangan Shaka memencet nomor telepon temannya yang ia yakin bisa memberikan saran yang jitu. “Halo, gua sedang tidak sibuk. Kalau nggak penting nggak usah telepon.” Bibir Shaka mendesis jengkel ketika mendapatkan sambutan seperti itu dari Xabiru. Pria yang satu ini memang menyebalkan. Ia harus berhati-hati agar tidak keceplosan jika tidak ingin menjadi bulan-bulanan pria itu. “Gua lagi di Cue Ball, nggak kesini lu?” “Ngapain gua ke sana?” Shaka mengerti, Xabiru memang tengah persiapan menyambut anak keduanya sehingga tidak bisa sembarangan pergi bermain. Pria itu mempersiapkan diri sebaik mungkin, tentunya tidak ingin melewatkan momen sedetik pun bersama keluarga kecilnya. “Ya siapa tahu aja pengen main. Gua nggak ada temen, Kala juga udah jarang kesini,” beritahu Shaka. “Alah pasti ada maunya. Buruan ngomong!” Suara penuh cibiran dari Xabiru terdengar di seberang sana membuat Shaka menyeringai sebal. “Lagi bingung, pernah ketemu nggak cewek yang galak susah ditaklukkan. Nggak mempan pakai duit buat ngerayunya.” Shaka akhirnya memberitahu masalah yang kini tengah dihadapi. “b******n!” Bukannya saran yang didapatkan oleh Shaka namun makian menjengkelkan dari Xabiru. Seolah belum puas pria itu justru tertawa terbahak-bahak setelahnya. “Buruan kasih tahu anjing! Ini menyangkut masa depan gua,” dengus Shaka makin tak sabar. Rokok di tangannya sudah hampir habis dan segera ia gerus pada asbak. “Wait, wait, ini kalau gua kasih saran dan berhasil bikin dia tertarik sama lu bakalan lu kasih apa?” “Gua beliin saham Bitcoin!” *** Rania baru selesai mandi dan membantu Najwa menysir rambutnya. Sesekali melirik ke arah jarum jam yang menunjukkan pukul 6 sore yang artinya Shaka sebentar lagi akan pulang. Rania hanya ingin menjalankan tugasnya dengan baik sebagai istri pria itu, toh belakangan ini sudah ada sedikit perubahan pada Shaka. Namun, bukan berarti Rania akan langsung percaya begitu saja kepada pria itu. Waktu Shaka di rumah itu hanya beberapa jam sedangkan kebanyakan Shaka ada di luar rumah. Bisa saja di rumah manis di luar justru bersikap najis seperti sebelum-sebelumnya. “Seekor bunglon bisa saja berkamuflase seperti apa rupa tempat di sekitarnya. Rania tidak ingin terlena!” Ya walau pun Rania sering baper ketika melihat interaksi Shaka dan Najwa tetapi Rania masih terus berusaha melindungi hatinya sendiri. “Udah, Najwa udah cantik. Ayo tunggu di luar, sebentar lagi Papa pulang,” ujar Rania yang sekarang lebih fasih menyebut nama Shaka dengan sebutan Papa untuk Najwa. “Yeayyy Papa pulang!” Najwa langsung berlari keluar kamar begitu saja. Rania tersenyum tipis melihat semangat Najwa, selama anak itu tumbuh rasanya akhir-akhir ini kebahagiaan itu tampak sangat nyata di mata Najwa. Anak kecil itu seperti menemukan sosok yang sering dicari, yaitu figur seorang Ayah. Tiba-tiba Rania terlintas pikiran akan sedikit menghargai usaha Shaka. Ia memperhatikan wajahnya di kaca. Ia lalu mengambil lipbalm dan diaplikasikan pada bibir agar tidak terlalu pucat. Ia juga mengambil parfume yang disemprotkan pada seluruh tubuh. “Ini nggak berlebihan buat menyambut dia pulang 'kan?” Rania bermonolog sambil terus menatap pantulan wajahnya di cermin. Entahlah, Rania hanya berpikiran jika bisa memberikan sambutan untuk Shaka yang pastinya lelah setelah seharian bekerja. Dengan berpenampilan sedikit segar mungkin? Begitu memastikan penampilanya pantas Rania keluar kamar. Berniat menunggu Shaka di ruang tengah saja. Tetapi ternyata pria itu sudah pulang dan kini tengah duduk dengan kepala yang menengadah ke atas di sofa. Di sampingnya Najwa sibuk bertanya dan bercerita ini itu. “Papa, aku dapat undangan ulang tahun. Beli baju baru,” ucap Najwa memeluk lengan Shaka, mengusapnya seolah merayu Papa barunya itu. “Nanti beli sama Mama.” Shaka menyahut dengan suara pelan sekali. Rania mendekat memperhatikan wajah Shaka yang memerah itu. “Mas Shaka kenapa?” “Nggak tahu, Ran. Kayaknya demam aku,” sahut Shaka membuka matanya sebelah seraya memijit kepalanya yang pusing. “Demam?” Rania mengernyit heran. Seingatnya tadi pagi Shaka baik-baik saja. “Coba aku lihat.” Secara impulsif Rania memegang dahi Shaka untuk merasakan suhu tubuh suaminya. “Astaghfirullah, panas banget ini, Mas. Kenapa baru pulang kalau emang sakit?” Raut wajah Rania seketika berubah khawatir. “Mas Shaka udah makan belum?” Shaka menggeleng pelan seolah benar-benar lemah sekali. Matanya yang satu memperhatikan wajah khawatir Rania yang dinilai sangat cantik itu. “Mas Shaka bersih-bersih dulu, habis itu makan dan minum obat. Kayaknya di kotak obat ada obat penurun panas,” titah Rania. Shaka mengulurkan tangannya pada Rania. Wanita itu kebingungan akan maksudnya. “Bantu ke kamar, Ran. Kepalaku pusing banget,” kata Shaka masih dengan suara lemahnya. Rania cukup kaget akan permintaan Shaka kali ini. Selama ini keduanya masih tidur terpisah dan tak pernah bersentuhan fisik. Jika ia membantu Shaka pastinya harus bersentuhan fisik serta harus mengantar pria itu ke kamarnya. “Ah sorry, aku jalan sendiri aja.” Shaka mengibaskan tangannya, paham sekali akan wajah ragu Rania itu. Perlahan Shaka bangkit dari duduknya, berusaha untuk melangkah ke kamarnya sendiri meski agak sempoyongan. Namun, tiba-tiba terasa sebuah tangan mungil yang memeluk pinggang Shaka lalu menarik tangannya lembut. “Saya bantu Mas Shaka ke kamar,” ucap Rania. Shaka melirik Rania dengan mata tajam, bibirnya tertarik membentuk senyum smirk. “s**t, 80 juta melayang.” Bersambung~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN