Elin bersama Ria sudah berada di cafe milik Elin. Elin sudah berhasill membujuk Ria supaya dia mau menjadi madunya. Bahkan Ria sudah mendapat izin dari kedua orang tuanya untuk menjadi madu.
Ya, orang tua Ria mengizinkannya, itu semua karena Ria yang juga selalu membujuk kedua orang tuanya setelah Rendra melunasi utangnya. Ria membujuk kedua orang tuanya, supaya orang tuanya merestui niatnya untuk menjadi madu guru kesayangannya. Ria melakukan itu karena dia ingin membalas kebaikan Elin dan Rendra yang sudah melunasi utang bapaknya pada Rentenir.
Saat itu kedua orang tuanya melarang Ria menjadi madu, sebab Ria masih sangat muda dan masa depannya masih panjang. Namun, karena Ria yang terus membujuk kedua orang tuanya, ditambah tadi Elin pun memohon dengan Pak Supardi dan Bu Muslikha, akhirnya mereka mengizinkannya.
Kedua orang tua Ria mengizinkan Ria untuk menjadi madu guru kesayangannya. Ada sedikit rasa bahagia pada diri Elin dan Ria. Ya, sedikit saja, karena Elin sebenarnya masih belum siap berbagi suami, tapi sebagai bakti menantu kepada mertuanya dia rela berbagi suami. Begitu juga Ria, dia juga sebenarnya belum ingin menikah, apalagi menjadi madu. Dia terpaksa melakukannya, karena untuk membalas kebaikan Elin dan Rendra.
Elin tahu ini sangat berat sekali untuk di jalani. Berbagi suami dengan muridnya, gadis yang cantik dan masih ranum yang sekarang berada di depannya. Elin menatap wajah Ria yang berada di depannya. Cantik. Kata itu yang terlintas di benak Elin.
*P.O.V Elin*
Dia sangat cantik dan manis, cocok untuk Mas Rendra, masa aku mau mencarikan madu yang sudah tua dan tidak cantik untuk suamiku? Tidak mungkilah. Meski hanya sebatas rahim pengganti, aku juga harus memilihkan yang terbaik buat suamiku.
Aku tidak peduli dengan kata-kata Wanita yang mau berbagi suami, atau hidup berpoligami hadiahnya Surga. Aku tidak peduli dengan kata-kata itu, karena yang aku tahu, pintu surga tidak hanya satu saja, dan amalan baik bukan hanya berpoligami saja, kan? Percuma berpoligami kalau hati tidak bisa menerima, seperti aku ini, mungkin hanya seperdelapan hatiku yang bisa menerima keadaan ini.
Aku melakukan semua ini, karena baktiku pada bunda. Aku sudah berkali-kali mengecewakan bunda, dan bunda ingin sekali Mas Rendra memiliki keturunan. Bunda sudah terlalu baik menjadi mertuaku selama ini, aku menyayanginya, dan apa pun keinginannya, meski itu sangat menyakitkan untuk diriku, aku rela melakukannya meski dengan berat hati, seperti saat ini.
Ria dari tadi hanya diam saja, aku memang sedikit canggung mengajak dia mengobrol, tidak seperti saat di sekolahan dan dia menjadi muridku. Sekarang, keadaannya sudah akan berubah, dia Muridku sekaligus Maduku. Lucu kedengarannya, tapi ini sebuah kenyataan pahit dalam hidupku. Demi ibu mertuaku yang sangat ingin memiliki cucu, aku rela berbagi suami dengan muridku sendiri.
“Ria, jangan bengong, habiskan makanannya, apa tidak enak? Padahal makanan ini kan yang paling best seller di sini.” Ucapku basa-basi dengan Ria, supaya suasannya tidak sehening tadi, macam mengheningkan cipta, karena hati terluka.
“Nanti Ria habiskan, Bu. Ini sangat enak, Ria suka, tapi tadi Ria baru saja sarapan dengan ibu dan bapak, waktu Bu Elin ke rumah,” jawabnya.
“Kalian sarapannya siang sekali? Masa sarapan hampir jam sepuluh pagi?” ucapku.
“Memang seperti itu, Bu. Kalau saya libur, pasti agak siangan sarapannya,” jelas Ria.
“Oh, seperti itu?” ucapku.
“Iya, Bu,” ucapnya
Kami kembali diam lagi. Aku bingung ingin mengajak bicara dia apa lagi. Dengan calon madu yang masih sangat muda saja aku bingung mengajak ngobrolnya, apalagi yang umurnya sudah lebih dewasa? Yang ada pasti kebingungan aku mau bicara apa.
Bukan aku tidak bisa bicara dengannya, itu semua karena aku masih merasakan gelisah dan sakit di hatiku. Sebentar lagi pasti bunda akan merancang pernikahan Mas Rendra dan Ria setelah ini. Aku sudah memikirkan bagaimana nanti, aku siap atau tidak melihat Mas Rendra mengikrarkan janjinya dengan Ria di depan penghulu, dan saat Mas bersama Ria di kamar pengantinnya nanti.
Sudah, Lin. Kamu pasti bisa melalui semua ini. Allah tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kemampuannya. Kamu pasti mampu, Lin. Kamu pasti bisa melalui semua ini. Anggap Ria adalah temanmu, teman yang juga menemani suamimu. Ini semua sudah keputusan kamu, Lin. Walaupun sekuat tenaga kamu menolak untuk dimadu, ibu mertuamu pasti akan terus membujuk dan sedikit memaksamu. Anggap saja ini ujian dalam rumah tangga kamu.
“Bu, itu Pak Rendra sudah datang,” ucap Ria.
“Oh, iya,” jawabku.
Mas Rendra langsung mendekati kami, karena tadi aku melambaikan tanganku saat Mas Rendra mengedarkan pandangan matanya di setiap sudut ruangan ini. Suamiku dengan gagah berjalan ke arah kami. Lelaki terhebatku, lelaki yang sangat aku cintai, dan sebentar lagi aku akan membagi lelakiku itu dengan seorang wanita yang disebut Madu.
Sungguh malang sekali nasibku ini. Aku yang tamak, karena ingin menjadi satu-satunya milik Mas Rendra, akhirnya aku diuji dengan keadaan seperti ini. Tapi, biarlah, ini semua demi kebaikan kami ke depan.
“Kalian sudah menunggu lama?” tanya Mas Rendra sambil duduk di sampingku dan mencium keningku di depan Ria.
“Ya cukup lama, Mas. Iya kan, Ria?” jawabku sambil bertanya pada Ria.
“Iya, sudah cukup lama, Pak,” jawabnya
“Kamu mau bicara apa, Sayang?” tanya Mas Rendra padaku.
“Ya mau membahas ini semua, membahas rencanaku untuk meminta Ria menjadi maduku,” jawabku.
“Sayang, aku tidak bisa,” ucapnya.
“Ria, tujuan kamu menjadi madu hanya karena agar bisa melunasi utang orang tuamu,kan? Sekarang sudah lunas, tapi kenapa kamu melanjutkan niatmu, Ria?” tanya Mas Rendra pada Ria.
“Maaf, Pak. Tujuan saya memang seperti itu, saya mengiyakan permintaan Bu Elin hanya karena ingin membalas kebaikan Pak Rendra dan Bu Elin yang selama ini sudah baik padaku,” jawab Ria.
“Tidak perlu membalasnya, Ria ... itu tidak perlu, aku ikhlas membayar semua untang orang tuamu, karena aku memang harus bertanggung jawab untuk itu. Karena, kamu juga sudah aku kuliahkan. Kamu tidak perlu melakukan ini, dan tidak usah merasa berutang budi padaku juga pada istriku, Ria,” ucap Mas Rendra.
“Aku yang mau, Mas. Aku yang membujuk Ria, aku mohon, Mas, menikahlah dengan Ria. Ini demi rumah tangga kita, Mas,” ucapku.
“Demi rumah tangga kita? Rumah tangga yang berpoligami, tidak akan baik-baik saja, Lin. Aku tidak mau, Lin,” tolak Mas Rendra.
“Mas, aku mohon, aku tidak akan memilih calon yang lain selain Ria.” Aku kekeh dengan pendirianku, tetap meminta Mas Rendra menikahi Ria.
“Ini kemauan bunda, Mas. Aku mohon, Mas,” imbuhku lagi.
“Calon yang tertulis banyak kan, Lin?” tanya Mas Rendra.
“Iya banyak, tapi yang aku mau Cuma Ria, Mas, bukan yang lain,” ucap Elin.
Mas Rendra hanya terdiam, dan menatap kami secara bergantian. Aku tahu, ini berat untuk Mas Rendra, yang harus mendua. Iya, mendua karena kemauanku ini. Aku tidak peduli lagi dengan hati ini, yang aku pedulikan keinginan bunda. Sakit? Iya, sangat sakit sekali hati ini. Rela? Aku tidak rela sebenarnya, tapi aku menghargai permintaan bunda padaku. Karena aku sadar, aku tidak bisa memberikan cucu pada Bunda, dan belum bisa membahagiakan bunda.
“Baiklah, kalau itu yang kamu mau, Lin. Aku akan menikahi Ria, setelah Ria lulus,” ucap Mas Rendra yang membuat hati ini runtuh seketika.
Duaarrrr!!!
Hatiku seperti tersambar petir, meledak dan menjadi kepingan kecil-kecil. Ya Allah, inilah takdirku? Meski aku yang meminta suamiku untuk menikah lagi, kenapa hati ini sangat sakit sekali? Maafkan aku Ya Allah, aku sebenarnya wanita yang tidak ingin berbagi suami, tapi Ridhoilah jalan yang aku pilih, sebagai baktiku pada ibu mertuaku. Aku serahkan jalan hidupku sekarang pada-Mu, Ya Allah. Ini awal dari perjalanan terjal dan curam dalam rumah tanggaku.
“Terima kasih, Mas, sudah menepati janji mas untuk memenuhi permintaanku.” Aku memeluk Mas Rendra, aku menahan tangisku yang hampir saja meledak. Dadaku semakin sesak menahan sakit dan menahan tangis.
“Maafkan aku, Lin. Aku terpakasa melakukan ini, hanya demi kamu,” ucap Mas Rendra lirih dengan mengeratkan pelukannya padaku. Aku tidak peduli ada Ria di depan kami.
Aku melepaskan pelukan Mas Rendra, dan Mas Rendra langsung mengecup keningku. Ada perasaan sedikit lega, karena aku sudah menuruti kemauan bunda. Tapi, sakit ini semakin menggebu di hati, menutupi rongga di d**a yang membuat dadaku semakin sesak. Ingin aku menjerit dan menangis sejadi-jadinya saat mendengar Mas Rendra akan menikahi Ria, tapi ini adalah permintaanku.
“Besok, kita menemui bunda, bawa orang tua kamu, Ria. Karena kita akan membahas pernikahan kamu dan Mas Rendra,” ucapku.
“Secepat itu, Sayang?” tanya Mas Rendra.
“Iya, Bu, masa secepat ini? Saya belum lulus, Bu. Kelulusan bulan depan,” ucap Ria.
“Iya, saya tahu, bulan depan kamu baru kelulusan. Satu minggu setelah kelulusan, kamu akan menikah dengan Mas Rendra,” jawabku.
“Lin, jangan secepat ini, aku belum siap,” protes Mas Rendra.
“Mas, lebih cepat lebih baik, kan? Bunda juga maunya tahun depan sudah mendapat cucu,” ucapku.
“Tapi, Sayang ... dua bulan lagi, ya?” pinta Rendra.
“Tidak mas, bulan depan saja,” aku tetap pada pendirianku, agar mereka cepat-cepat menikah, sebelum aku berubah pikiran.
“Ria, kamu sudah siap, kan?” tanyaku pada Ria.
“Insya Allah, Bu. Maafkan Ria, karena Ria tidak tahu, kalau menantu Bu Dina adalah Bu Elin,” jawab Ria.
“Tidak usah memikirkan itu, Ria. Besok kita ke dokter kandungan, untuk mengecek kandungan kamu, sehat atau tidak. Karena, bunda sangat ingin cucu,” ucapku. “Dan, maaf aku tanya ini pada kamu, kamu sudah baca dengan teliti surat perjanjian yang Bunda kasihkan padamu, kan?” tanyaku.
“Iya, aku sudah paham isinya,” jawab Ria.
“Apa saja poin pentingnya?” tanyaku lagi.
“Istri kedua tidak boleh mencintai suami, istri kedua hanya sebagai rahim pengganti saja, dan istri kedua tidak boleh merasa memiliki suami seperti istri pertama,” jawab Ria.
“Oke, kamu sudah paham berarti, dan pegang poin itu, Ria. Bukan aku kejam, itu semua karena tujuan kami adalah mencari wanita yang akan dinikahi suamiku, untuk memiliki keturunan saja, tapi tenang saja, istri kedua tetap mendapat keadilan yang sama, kami sudah menyiapkan sebuah rumah untuk kamu, yang nilainya sama dengan rumah yang aku tempati, Mas Rendra juga akan memberikan nafkah pada kamu sama seperti Mas Rendra memberiku. Untuk masalah materi, kamu tidak usah khawatir, yang harus kamu pegang, adalah tiga poin pertama itu. Kalau kamu melanggar, kamu tahu sanksinya, kan?” jelasku.
“Iya, saya tahu sanksinya, Bu. Suami akan menceraikan istri kedua tanpa membawa materi yang sudah ia dapatkan, itu yang tertulis dalam perjanjian, dan sudah aku pahami, Bu,” jawab Ria.
“Bagus, kalau kamu sudah paham semua. Kami tidak akan menyuruh kamu pergi dari rumah, dan langsung meminta kamu bercerai dengan Mas Rendra saat setelah kamu melahirkan anakmu dengan Mas Rendra. Kami akan tetap menjadikan kamu istri kedua, asal tiga poin itu kamu ingat, dan jangan sampai kamu melanggarnya,” ucapku.
Mungkin itu mustahil, tidak mungkin seorang wanita tidak jatuh cinta dengan Mas Rendra yang sangat tampan, apalagi dia selalu bertutur kata lembut pada istrinya. Bunda sengaja membuat perjanjian itu, karena bunda tahu, hanya aku yang Mas Rendra cintai, dan tujuan yang lain adalah, supaya istri kedua tidak semena-mena denganku.