Hari ke tiga di sekolah yang baru ternyata tak terlalu buruk. Beberapa teman masa SD Byantara, ternyata banyak bersekolah di sana, sehingga walaupun tak mengingat wajahnya karena sudah berubah, tapi nama dan kebersamaan mereka dulu cukup melekat diingatan.
Termasuk sang wakil ketua OSIS, yang ternyata teman sebangkunya ketika di Sekolah Dasar dulu. Sekarang mereka kembali sekelas dan memilih untuk kembali duduk bersama. 'Demi masa lalu, pren!' ajak Axelle kala itu.
Hari ini, hari terakhir kegiatan Perkenalan Lingkungan Sekolah anak-anak kelas X. Kegiatan yang tersisa juga tinggal mengumpulkan tanda tangan anggota OSIS dan upacara penutupan.
"Yang mana sih, cewek yang dibilang Radit itu?"
"Cewe apaan?"
"Lah, yang kemarin kita obrolin di kantin, yang katanya pinter bahasa jepang," Axelle menoyor pelan belakang kepala Kenan.
"Ooh, hmm... bentar, anak IPS dia," Kenan memindai kumpulan siswa kelas X di tengah lapangan basket yang sedang mendapat pengarahan dari salah satu panitia kegiatan PLS.
"Ini mereka lagi ngapain sih? Yang ngumpulin tanda tangan, kapan? Bukannya sekarang ya?" Axelle ikut memperhatikan kegiatan di lapangan.
"Iya, itu lagi pengarahan. Nanti gue kasi tau yang mana anaknya. Kita disini aja. Lo juga di sini aja Bi, lumayan cuci mata," Kenan dan Axelle terkekeh sambil melakukan tos tangan. Byantara mendengus menyaksikan tingkah iseng kedua teman baru, tapi stok lamanya itu. Yup, Kenan termasuk salah satu teman SD nya juga, hanya saja dulu mereka beda kelas.
"Gue nitip dong, liatin yang namanya Aysha, anak temen Nyokap gue. Kode ke gue kalau ketemu."
"Aysha? Oke sip! Cantik, anaknya?" tanya Kenan antusias.
"Justru gue gak tau, makanya ini sekalian kita cari anaknya yang mana."
"Oo, oke-oke!" Kenan mengacungkan sebelah ibu jarinya.
Dikejauhan tampak Radhitya sang ketua OSIS, berjalan mengarah pada posisi Byantara dan teman-temannya duduk bersantai. Byantara baru mengenal Radhitya beberapa hari yang lalu saat mulai masuk sekolah baru, namun karena Biyantara yang akrab dengan Axelle dan Kenan yang notabene adalah Wakil Ketua OSIS dan Wakil Bendahara OSIS, akhirnya merekapun terbawa akrab juga.
"What's up, Pak Ketua!" sapa Kenan pada Radit yang telah duduk bergabung dengan mereka di selasar kelas pinggir lapangan.
"Aman terkendali," jawabnya dengan wajah serius menatap ke arah siswa kelas X yang telah dibubarkan panitia untuk mulai mengumpulkan tanda tangan.
"Siap-siap Pak Ketua, rakyat datang," ucap Axelle pelan.
Benar saja beberapa siswi mulai mendatangi mereka. Kenan yang memang jahil segera menyambut mereka dengan tatapan galak.
"Mau ngapain ke sini?"
"Mau minta tanda tangan Kak."
Dua dari empat siswi itu menjawab bersamaan, mereka menatap takut-takut pada wajah Kenan.
"Yang dua lagi, ngapain ke sini? Diam-diam aja. Sariawan?" tanyanya lagi masih dengan wajah galak.
"Mm... sama, Kak. Mau minta tanda tangan juga," kedua siswi itupun segera menjawab.
Keempat siswi itu menatap keempat kakak kelas dengan raut wajah antara takut, malu dan kagum. Bagaimana tidak, empat laki-laki dihadapan mereka ini benar-benar ibarat wujud nyata cowok-cowok badboy tampan yang ada di novel-novel remaja yang biasa mereka baca.
Mereka telah kenal Radhitya, si Ketua Osis. Wajah tampan, alis tebal dengan kulit sawo matang yang ia dapat dari hobinya panas-panasan saat melakukan wall climbing.
Mereka juga tau Axelle, Wakil Ketua OSIS yang tak pernah bicara dengan mereka, karena tak menjadi panitia inti kegiatan PLS. Hanya muncul saat perkenalan para anggota OSIS saja. Axelle yang berdarah Jepang dari Ibunya dan Betawi dari Ayahnya ini memiliki kulit kuning langsat dan mata yang sedikit sipit membuatnya mirip dengan oppa dari Korea.
Ada juga Kenan, mereka kenal Kenan karena beberapa kali memberikan pengarahan. Selalu tampil dengan rambut man bun style, dan selalu berperan galak di depan adik kelas, padahal aslinya, ia cukup jahil. Kenan memiliki senyum manis, cenderung imut malah, karena ada gingsulnya.
Namun mereka tak kenal Byantara, mereka bahkan merasa baru kali ini bertemu dengannya. Kakak kelas tampan yang memiliki sedikit belahan di dagunya, hidung bangir, mata tajam dan penampilan messy hairnya yang bikin cewek-cewek pengin ngerapiin.
Keempat siswi itu mulai memberikan buku tulisnya untuk di tanda tangani. Mereka sebelumnya telah terlebih dahulu menuliskan nama-nama anggota OSIS berikut dengan jabatan dan posisinya dalam organisasi saat pengarahan tadi. Sehingga saat bertemu, mereka tinggal menunjukkan kolom dimana sang kakak kelas harus membubuhkan tanda tangannya. Para siswa wajib mengingat nama dan wajah setiap anggota OSIS agar terhindar dari hukuman.
Dibelakang keempat siswi tadi, sudah mulai mengantri siswa-siswi lain. Mereka harus bergerak cepat. Karena waktu untuk mengumpulkan tanda tangan, dibatasi hanya satu jam.
Namun sudah lewat 30 menit, adik kelas yang mereka bicarakan belum juga menghampiri mereka.
"Itu dia," Radhitya menunjuk dengan dagunya pada segerombolan siswa yang sedang mengarah kepada mereka. Terdiri dari tiga orang siswi dan dua orang siswa.
"Siang, Kak. Mau minta tanda tangannya,"
"Kalian dari kelas mana?" Kenan bertanya pada siswa yang pertama menyapa mereka tadi.
"Kami dari X IPS 1, Kak," jawabnya sambil mengangsurkan bukunya pada Kenan.
"Nama kamu?"
"Galih, Kak."
"Kamu tau nama saya?"
"Kak Kenan."
"Good!"
Setelah ditandatangani, buku tersebut dikembalikan kepada Galih, Galihpun berlanjut pada Axelle.
Tanpa basa-basi Axelle menerima buku itu dan bertanya, "Nama saya?"
"Kak Axelle."
Buku tersebut langsung diserahkan Axelle kembali pada Galih. Lalu Galih berlanjut pada Radhitya yang langsung menerima buku tersebut dan menandatanganinya tanpa bertanya apa-apa. Demikian seterusnya hingga sampai pada siswi yang dicari Axelle.
"Nama kamu?"
"Ay_"
"Andara namanya, gak lihat lu, name tag nya?" potong Kenan usil.
Axelle mendengus pelan.
"Dari tadi perasaan, lo gak pernah nanya nama siapapun deh. Kenapa kali ini nanya?" Kenan melanjutkan.
"Lo dari tadi juga nanya terus nama mereka, kenapa yang ini enggak?" balas Axelle
Kenan terbahak, "Pinter lu, Tong!" jawabnya di sela tawanya.
Axelle tak langsung menandatangani. "So, Andara, gue danger lo bisa bahasa Jepang?"
Aysha menatap Axelle sambil membulatkan matanya.
Byantara yang posisi duduknya berada diantara Axelle dan Radhitya ikut memperhatikan siswi yang setahunya bernama Andara itu. Saat Andara membulatkan matanya, Byantara merasa cukup kenal dengan wajah itu. Namun ia lupa siapa dan di mana mengenalnya.
"Coba perkenalkan dirimu pakai bahasa Jepang."
Aysha menarik nafas panjang, sebelum memulai, "Konnichiwa, namae wa Andara desu. Koukousei no juu nensei desu. Watashi wa Jakarta ni sunde imasu. Watashi no shumi wa ryoridesu." (Hai, nama saya Andara, saya SMA kelas sepuluh, saya tinggal di Jakarta, hobi saya masak.)
Aysha menuruti perintah Axelle dengan sedikit gugup, bagaimanapun ia hanya sekedar mengerti bahasa jepang, namun untuk percakapan, ia hanya menguasai dasar-dasarnya saja.
"Totemo yoi, Itsu chatto shimasu ka." (Bagus sekali, kapan-kapan kita ngobrol.) Axelle menelisik wajah manis di depannya ini. Pipi putihnya memerah karena panas matahari.
"Ha? Saya gak sepintar itu, Kak. Cuma bisa aja, gak mahir banget," elak Aysha.
"Buktinya kamu paham yang saya bilang barusan."
"Iya, saya bisa paham kalau orang ngomong, tapi kalau ngobrol belum terlalu lancar. Ibuk saya ngajarinnya, kapan dia sempat aja," ringisnya sambil menjelaskan.
Byantara kembali fokus pada Andara saat siswi itu menyebut kata ibuk saat memanggil Ibunya. Rasa dejavu kembali menyerangnya, sepertinya ia pernah akrab dengan panggilan itu, karena 'Ibuk' adalah panggilan yang jarang digunakan anak zaman sekarang untuk memanggil ibunya.
Byantara memperhatikan Andara yang sudah selesai mendapatkan tanda tangan Axelle, kini ia bergerak ke arah Radhitya.
Aysha yang merasa diperhatikan, menoleh pada Kakak Kelas yang dia tak tahu namanya itu, sesaat mata mereka bersitatap. Aysha menyunggingkan sedikit senyum dibibirnya sebagai sopan santun, namun tak mendapat balasan. 'Sombong banget, timbang senyum doang!' dumelnya dalam hati.
Aysha segera menoleh ke arah dada mencari name tag sang kakak kelas, namun tak menemukannya.
Aysha sudah berada di depan Radhitya, menyerahkan bukunya untuk di tanda tangani. Namun matanya tak bisa diajak kerja sama, selalu melirik ke arah kakelnya yang jutek itu, dan yang membuatnya bertambah kesal, lirikkannya selalu ketahuan, karena sang kakak kelas juga berkali-kali mencuri pandang pada saat yang bersamaan.