Sejak semalam pikirannya buntu, namun di ruang kerjanya pagi ini, Sebastian mulai bisa mengingat bayangan seseorang yang memapahnya malam itu. Ketika wajah Yanto terlintas, ia mendadak ragu. Untuk apa dia membawaku ke kamar Valen? Bagaimanapun, Valen adalah darah dagingnya sendiri. Masa dia tega merusak anaknya sendiri? pikir Sebastian sambil mengepalkan tangan, rasa curiga dan bingung bercampur di dadanya. "Tuan," suara Ardian memecah lamunannya. Sebastian mengangkat wajah. "Apa yang Anda rencanakan sudah berhasil. Nona Valen hanya mengajukan beberapa syarat yang tidak memberatkan pembeli. Jadi saat itu juga, orang kita langsung setuju dan menandatangani pembelian," lapor Ardian. Kening Sebastian berkerut. "Syarat apa saja?" "Dia hanya meminta perusahaan tetap dijaga, mencari pemim

