Begitu langkah kaki Yanto dan ibunya menghilang di balik lorong panjang mansion, Amelia masih berdiri di tempat. Suasana ruang tamu kini sunyi. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar-samar, seolah mengejek keheningan yang tiba-tiba terasa sesak. Perlahan, genggaman tangannya yang tadi mengepal kuat mulai melemah. Amelia menatap lantai marmer di bawah kakinya, matanya berkaca-kaca tapi dengan cepat ia mengedip untuk menahannya. “Kenapa sih semua orang selalu menyalahkan aku…, kenapa nasib Valenia selalu lebih beruntung dari aku? Apa kurangnya aku?” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar. Namun dalam hatinya, perasaan bersalah mulai menggerogoti. Ia ingat wajah Bi Anik yang memohon agar ponselnya jangan dibanting. Ia juga ingat suara kakaknya yang terdengar tenang di seberang te

