Pagi itu udara Melbourne terasa segar setelah hujan semalam. Embun masih menempel di daun-daun mawar yang tumbuh di halaman kecil depan rumah. Dari kejauhan, suara langkah sepatu terdengar mendekat, langkah Sebastian. Di tangannya, ia membawa seikat bunga mawar segar yang masih berembun, sebuah kartu kecil dengan pita biru, dan sebuah kotak beludru hitam yang menggenggam makna lebih dalam dari apa pun yang pernah ia bawa sebelumnya. Hari ini, Sebastian datang bukan hanya untuk meminta maaf, tapi untuk memperjuangkan sesuatu yang selama ini nyaris ia kehilangan, Valenia. Celine yang membuka pintu, menatap Sebastian dengan ragu sejenak sebelum akhirnya tersenyum kecil. “Sepertinya Tuan Sebastian belum menyerah, ya?” godanya pelan. Sebastian hanya mengangguk dengan senyum canggung. “Tid

