“Kalau bukan istri, nggak mungkin sampai berani ciuman. Ciee, yang semalam ketemu istri.” Mazida kembali menggoda, seolah-olah hatinya baik-baik saja. “Zi, dia itu bukan–“ “Semalam Mas Altha bilang ada hal serius yang mau dikatakan sama saya. Pasti mau mengenalkan saya ke istri Mas itu. Iya, kan?” Mazida tertawa. Ah, padahal ia mati-matian menahan sesak dan air mata. “Bukan. Untuk apa mengenalkannya sama kamu?” “Kali aja biar kami temenan. Kalau perlu, mungkin saya bisa jadi CCTV hidup buat memantau Mas di sini, lalu melaporkan ke dia.” Altha berdecak, Mazida tergelak. Bagi Mazida, pura-pura bahagia ternyata lebih sulit daripada berlagak menderita. Mazida menunjukkan sikap biasa saja agar rasa sakit hatinya tidak terbaca oleh Altha. Jika ia langsung meminta Altha menjauhinya, pasti

