Lamaran Tak Terduga

904 Kata
"Gia," suara Farid terdengar pelan, tapi tegas. "Ayah sudah makin tua. Ayah nggak tahu sampai kapan bisa terus ada di sampingmu. Ayah ingin melihat kamu... menikah, sebelum waktunya ayah habis." Ruang tamu itu terasa hangat dengan lampu temaram berwarna kuning keemasan. Sofa abu-abu lembut berpadu dengan meja kayu jati yang tampak elegan—semua hasil rancangan tangan Gia sendiri. Tak ada yang lebih membanggakan bagi seorang desainer interior selain bisa membuat rumahnya menjadi cermin dari kerja keras dan cita rasanya. Gia, dengan kerudung pastel sederhana dan blus putih rapi. Usianya hampir menginjak tiga puluh delapan, wajahnya cantik dengan garis-garis lembut yang semakin matang, tubuhnya proporsional—sosok perempuan yang seolah punya segalanya. Kecuali satu hal: seorang pendamping hidup. Ayahnya, Farid, menatapnya dari kursi sebelah. Rambutnya sudah memutih hampir seluruhnya, wajahnya berkerut tapi masih menyimpan wibawa seorang pensiunan dosen. Matanya tampak sayu malam itu. Gia tersenyum tipis, lalu menggenggam tangan ayahnya. Hangat dan penuh kasih. "Ayah, jangan khawatir begitu," ujarnya lembut. "Aku yakin Allah sudah menyiapkan jodohku. Mungkin memang belum saatnya. Aku percaya, waktunya akan datang sendiri. Ayah cukup tenangkan hati, ya?" Farid menarik napas panjang. Ada kerinduan sekaligus kekhawatiran di matanya. "Tapi usiamu, Nak... tiga puluh delapan. Ayah cuma takut kamu terlalu sibuk mengejar karir sampai lupa sama hal yang paling penting dalam hidup: berkeluarga." Gia terdiam sejenak. Kata-kata ayahnya selalu menembus pertahanannya. Dia tahu, semua pencapaiannya—rumah mewah, klien prestisius, penghargaan yang ia kumpulkan—tak bisa menghapus kegelisahan ayahnya soal masa depan anak tunggalnya. "Ayah tahu aku sibuk," katanya akhirnya, "tapi aku nggak pernah lupa. Aku juga ingin, suatu hari nanti, ada seseorang yang bisa nemenin aku. Tapi aku nggak mau terburu-buru hanya karena umur. Aku ingin menikah dengan orang yang tepat." Farid tersenyum getir. "Ayah hanya berharap bisa melihatmu bahagia sebelum... ayah pergi." Gia meremas tangan ayahnya lebih erat. "Jangan ngomong gitu. Ayah sehat, insya Allah panjang umur. Lagipula, aku ini masih Gia yang sama. Aku nggak pernah sendirian. Selama ada ayah, aku nggak merasa kekurangan apa pun." Suasana hening sejenak, hanya suara detak jam dinding yang terdengar. Gia menatap ruang tamunya—ruang yang ia bangun dari nol, hasil lembur, kerja keras, dan doa. Dan disanalah ia duduk bersama ayahnya, satu-satunya keluarga yang tersisa setelah ibunya meninggal sepuluh tahun lalu. Gia tersenyum, meski hatinya menghangat dengan sedikit perih. "Kalau jodoh itu rezeki, ya, Yah... berarti dia akan datang pada waktunya. Dan aku yakin, Allah nggak akan lupa sama aku." Farid menatap putrinya lama, lalu mengangguk pelan. "Semoga doa itu segera terkabul, Nak." Keesokan harinya. Siang itu, Gia duduk manis di sebuah restoran bergaya modern minimalis. Kliennya—pasangan muda yang baru membeli rumah di kawasan elit—sedang menjelaskan konsep rumah impian mereka. Gia menyimak serius, sesekali menuliskan catatan kecil di tablet. “Jadi, Mbak Gia, kami pengin ruang tamunya hangat, banyak cahaya alami. Tapi tetap elegan, ya,” kata sang istri. Gia tersenyum profesional. “Tentu. Saya bisa kombinasikan warna-warna netral dengan aksen kayu, supaya hangat tapi tetap modern. Nanti saya buatkan moodboard-nya, biar kalian bisa bayangin lebih jelas.” Sang suami terlihat puas. “Wah, makanya saya nggak salah pilih. Semua teman kantor saya bilang, kalau soal desain rumah, harus ke Mbak Gia.” Obrolan berlanjut hingga makanan datang. Bagi Gia, pertemuan dengan klien bukan sekadar kerja, tapi bagian dari passion yang membuatnya hidup. Ia menikmati setiap detiknya. Setelah urusan selesai, Gia pamit dengan senyum profesional. Ia keluar restoran, membawa tas kerja dan langkah mantap. Siang terik, trotoar ramai, dan udara bercampur bau aspal panas. Gia melangkah santai, menikmati kebebasan setelah pertemuan panjang. Hingga tiba-tiba sebuah suara familiar terdengar dari arah seberang. “Gia? Gia beneran?” Gia menoleh cepat. Seorang pria dengan kaos polo sederhana dan celana jeans berdiri sambil mendorong gerobak kecil bertuliskan Romy’s Fried Chicken. Wajahnya penuh keringat, tapi matanya berbinar cerah. Gia terperanjat. “Romy?” Romy tertawa lebar, suaranya khas seperti dulu. “Ya ampun! Ini beneran kamu? Nggak nyangka bisa ketemu di sini.” Gia mendekat, menatap gerobak sederhana itu. “Kamu... jualan fried chicken?” tanyanya dengan nada kaget sekaligus kagum. “Yap. Aku di-PHK tahun lalu. Ya udahlah, aku putar otak, buka usaha sendiri. Alhamdulillah, mulai jalan pelan-pelan,” jawab Romy ringan. “Kamu sendiri gimana? Masih kerja di bidang desain interior?” Gia mengangguk. “Iya. Malah makin sibuk.” Mereka tertawa kecil, mengingat masa lalu. Romy dulu teman kuliah Gia, sosok yang selalu ceria dan penuh ide. Setelah beberapa menit ngobrol ringan, Romy tiba-tiba menatap Gia lebih serius. “Gia, aku boleh tanya sesuatu?” Gia mengernyit. “Apa?” “Di usiamu sekarang... kamu sudah berkeluarga?” Pertanyaan itu membuat Gia sedikit tercekat. Tapi ia menghela napas dan menjawab jujur. “Belum.” Romy menatapnya dalam, lalu tanpa basa-basi berkata, “Kalau gitu... kamu mau nikah nggak sama aku?” Gia sontak terbelalak. “Romy!” serunya setengah menahan tawa sekaligus shock. “Aku serius.” Wajah Romy tetap tenang, matanya lurus menatap Gia. “Aku tahu hidupku nggak sekeren kamu. Tapi aku janji, aku bisa bahagiain kamu. Jadi... gimana?” Gia terdiam. Hatinya bergetar aneh. Bagaimana mungkin, setelah bertahun-tahun, pertanyaan sebesar itu dilontarkan begitu saja di trotoar panas dengan gerobak fried chicken di belakang mereka? “Aku... butuh waktu,” ucap Gia akhirnya, suaranya pelan tapi tegas. Romy mengangguk, senyum tipis terukir di wajahnya. “Aku tunggu.” Dan siang itu, di tengah hiruk pikuk kota, Gia melangkah pergi dengan hati yang penuh tanda tanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN