7. BIMBANG

1392 Kata
“A-aku ....” Tok tok tok. Reza menghela nafas panjang ketika kalimatnya diinterupsi oleh suara ketukan pintu. “Masuk,” perintahnya dengan suara keras. Pintu ruangan Reza terbuka dan menampilkan sosok Pak Irfan yang berjalan memasuki ruangan sambil membawa beberapa map di tangannya. Pak Irfan cukup terkejut melihat keberadaan Rani di ruangan bos besar mereka. “Kamu masih di sini, Ran?” sapanya menatap Rani. “Iya, Pak,” sahut Rani, menoleh menatap atasannya yang kini berdiri di sebelahnya. “Kamu boleh pergi sekarang, Ran,” perintah Reza kepada Rani. Reza tak bisa melanjutkan pembicaraan mereka sekarang. Banyak laporan perusahaan yang harus ia pelajari. Reza juga akan mengadakan meeting dengan para manajer perusahaan untuk membahas perkembangan perusahaan di sini. “Tolong buatkan saya kopi hitam, gulanya jangan terlalu banyak,” pinta Reza, kemudian. “Baik, Pak,” sahut Rani, terdengar menghela napas lega. Dia menganggukkan kepala kepada Pak Irfan sebelum melangkah keluar ruangan. “Ini laporan keuangan perusahaan selama dua tahun terakhir yang Bapak minta,” ujar Pak Irfan, menyerahkan stopmap yang ia bawa kepada Reza. Reza menerima stopmap itu, lalu memeriksa isinya. oOo “Kamu dipanggil ke ruangan Pak Reza untuk apa, Ran?” tanya Bagas ketika dia dan Rani sedang makan siang di kantin perusahaan. “Pak Reza memintaku membersihkan ruangannya dan membuatkan minuman untuknya setiap pagi, Gas,” jawab Rani, setelah mengunyah makanan di mulutnya. Saat Rani kembali ke ruangan Reza untuk mengantarkan kopi pesanannya, Reza meminta Rani untuk membersihkan ruangannya dan menyiapkan kopi di atas meja kerjanya setiap pagi. Rani menyanggupi hal itu walau dalam hati dia ingin menolak. Jika boleh memilih, Rani ingin menghindar dari Reza. Berada di dekat Reza membuat ia mengingat kenangan masa lalu mereka. Rani tahu Reza belum selesai berbicara dengannya. Tapi kedatangan Pak Irfan membuat Reza mengurungkan niatnya untuk melanjutkan pembicaraan mereka. “Kelihatannya kamu nggak senang mendapat tugas itu, Ran. Kenapa?” tanya Bagas, mengamati raut wajah Rani yang tampak murung. Rani menggeleng. “Enggak apa-apa, Gas,” sahutnya tak mau menjelaskan lebih panjang. Rani tak ingin membagi kisah masa lalunya dengan orang lain. Bagas mendesah pasrah. Jika Rani sudah bicara seperti itu maka dia tak akan memaksanya lagi. Rani termasuk orang yang tertutup. Selama mengenalnya, Bagas tak pernah mendengar Rani mengeluh tentang pekerjaan maupun kehidupannya. Walau mereka berteman cukup dekat, tapi tak banyak yang Bagas tahu tentang kehidupan pribadi Rani. Selama ini Bagas berusaha mendekatkan diri kepada Rani, tapi Rani memberi jarak tak kasat mata kepadanya. Bagas hanya tahu Rani merupakan single parents yang memiliki seorang anak laki-laki berusia empat tahun. oOo Rani berjalan menyusuri jalan kecil yang ada di daerah tempat tinggalnya. Pada sore hari seperti ini, banyak anak-anak yang bermain di depan rumah ataupun pinggir jalan bersama Ibu mereka. Beberapa kali Rani menyapa Ibu-ibu yang berpapasan dengannnya. Sepulang bekerja, Rani tidak langsung pulang ke rumah. Dia menuju ke rumah Bi Tuti untuk menjemput anaknya. Selama bekerja, Rani menitipkan anaknya di rumah Bi Tuti yang tinggal tak jauh dari kediamannya. “Mama,” suara anak kecil menyapa pendengaran Rani begitu ia menginjakkan kaki di halaman rumah Bi Tuti. “Rafa.” Rani tersenyum menyambut anaknya ke dalam pelukan. Dia kemudian mencium pipi dan kening Rafa dengan sayang. “Tangan kamu kenapa, sayang?” tanya Rani, setelah melepaskan pelukan mereka. Dia mengamati kedua tangan Rafa yang lecet. Rani ingat tadi pagi Rafa belum memiliki luka di tangannya itu. “Aku jatuh, Ma. Di jalan, ada mobil,” ucap Rafa menceritakan kejadian yang dialaminya tadi siang. “Jatuh?” Rani mengernyitkan dahi mendengar cerita Rafa yang sepotong-sepotong. Dia mencoba merangkai kata-kata anaknya agar bisa dipahami. Rafa mengangguk. “Iya, di jalan sana,” tunjuk Rafa pada jalan raya yang berjarak beberapa meter dari rumah Bi Tuti. Rani membulatkan mata saat menyadari cerita dari anaknya. “Rafa nyebrang jalan raya?” tanyanya menatap Rafa. “Iya, Ma,” jawab Rafa dengan suara pelan. “Astaghfirullah .... Mama kan udah bilang Rafa nggak boleh ke jalan raya sendirian,” kata Rani dengan tegas. Jarak rumah Bi Tuti yang cukup dekat dengan jalan raya selalu membuat Rani was-was. Dia selalu memperingatkan Rafa untuk tidak bermain ke arah jalan raya. Tapi tetap saja Rafa hanya anak kecil yang terkadang tidak mengindahkan peringatan darinya. “Maap, Ma,” ucap Rafa, menundukkan kepala terlihat bersalah karena telah membuat sang Mama marah. “Maafin Bibi, Neng. Tadi siang Bibi meninggalkan Rafa bermain sendirian di halaman buat mengambil makan siangnya. Ternyata Rafa berlari ke jalan raya. Beruntung Rafa nggak tertabrak mobil saat menyebrang jalan,” jelas Bi Tuti yang telah bergabung bersama Rani dan Rafa. Dia merasa bersalah karena telah lalai menjaga Rafa. Rani menghela nafas panjang. “Ya sudah nggak apa-apa, Bi, yang penting Rafa baik-baik saja. Tapi lain kali lebih hati-hati lagi ya, Bi. Saya nggak mau Rafa kenapa-napa,” ujar Rani, menatap Bi Tuti. “Iya, Neng,” sahut Bi Tuti, menganggukkan kepala. “Ayo kita pulang, Nak,” ajak Rani, mengulurkan tangan yang langsung disambut oleh Rafa. “Kami pulang dulu ya, Bi,” pamitnya pada Bi Tuti. “Iya, Neng. Hati-hati di jalan,” pesan Bi Tuti yang diangguki oleh Rani. “Dadah, Bibi...” Rafa melambaikan tangan pada Bi Tuti ketika melangkah meninggalkan rumahnya. Bi Tuti tersenyum dan membalas lambaian tangan Rafa. oOo Rani memandang Rafa yang sudah terlelap dalam tidurnya. Tangan Rani terulur mengusap rambut anaknya dengan lembut. Wajah Rafa selalu mengingatkan Rani pada Reza, sosok pria yang telah menolong sekaligus merusaknya. Rani tidak menyesali perbuatannya di masa lalu karena hal itu mampu menyelamatkan nyawa Ibunya. Sang Ibu mampu bertahan melawan penyakit yang diderita selama tiga tahun. Rani sangat sedih saat kehilangan satu-satunya orang tua yang ia miliki. Rani merasa belum bisa membahagiakan sang Ibu di sisa akhir hidupnya. Kehadiran Rafa mampu mengurangi kesedihan Rani. Walau mereka hidup pas-pasan, tapi Rani berusaha keras untuk membahagiakan anaknya. Dia memastikan Rafa tidak kekurangan kasih sayang walau tidak memiliki Ayah seperti anak-anak yang lainnya. Selama ini Rani merasa tak perlu mencari seorang pria untuk dijadikan sebagai Ayah bagi anaknya. Hidup berdua dengan Rafa dirasa sudah cukup bagi Rani. Tapi kedatangan Reza di hidupnya kembali membuat Rani berpikir ulang akan hal itu. Haruskah dia memberi tahu Reza bahwa perbuatan mereka di masa lalu telah melahirkan seorang anak? Saat ini Rafa mungkin belum mengerti arti kehadiran seorang Ayah di hidupnya. Tapi nanti setelah Rafa sekolah dan bergaul bersama teman-temannya, dia pasti akan mulai mempertanyakan hal itu. “Apa yang harus Mama lakukan, Nak?” gumam Rani pada dirinya sendiri. Saat ini Rani sedang dilanda kebimbangan. Dia tidak tahu apa yang akan dibicarakan Reza dengannya tadi siang. Tapi, Rani menduga hal itu berkaitan dengan masa lalu mereka. Rani yakin Reza belum mengetahui kehadiran Rafa di antara mereka. Namun, jika Reza mempertanyakan hal itu, apa yang harus Rani jawab nanti? oOo Ini hari ketiga Reza berada di Kota Bandung, tapi hingga saat ini dia belum berbicara lagi dengan Rani. Reza ingin segera menuntaskan kecurigaannya di masa lalu. Namun, sampai saat ini dia belum memiliki kesempatan itu. Setiap pagi ketika Reza tiba di kantor, Rani sudah selesai membersihkan ruangannya dan sedang melakukan pekerjaan yang lain. Reza menghela nafas lelah. Seharian ini dia terus berkutat dengan laporan-laporan perusahaan yang sangat menguras pikirannya. Reza berencana menyelesaikan pekerjaan secepat mungkin supaya dia bisa berlibur sebelum kembali ke Jakarta. Jarum jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Reza membereskan semua berkas-berkas yang berserakan di atas meja kerjanya dan menumpuk berkas-berkas itu menjadi satu. Reza mengambil beberapa map kemudian memasukkannya ke dalam tas kerja miliknya. Dia memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya di hotel. Sebagian besar karyawan perusahaan sudah pulang. Di kantor hanya tinggal beberapa orang yang lembur untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Reza terus berjalan keluar gedung kantor menuju ke tempat mobilnya terparkir. Reza mengendarai mobilnya membelah keramaian sore Kota Bandung. Dia kemudian membelokkan mobilnya ke arah mal yang berada di dekat hotel. Reza ingin makan malam terlebih dahulu sebelum kembali ke hotel dan melanjutkan pekerjaannya. Reza berjalan menyusuri mal mencari tempat makan yang menggugah selera. Matanya menoleh ke kanan dan kiri melihat jejeran toko-toko yang berada di dalam mal ini. Tiba-tiba, pandangan mata Reza berhenti pada sepasang Ibu dan anak yang sedang berada di depan toko mainan. Dia terus mengamati interaksi keduanya hingga tanpa sadar Reza melangkahkan kaki mendekati mereka. Reza menatap tak percaya dua orang yang ada di depannya. Dia mengamati wajah keduanya bergantian sebelum memanggil nama salah satu di antara mereka. “Rani.” oOo
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN