4

1390 Kata
Pemindahan Bragy ke singapura menimbulkan kekisruhan dibeberapa media. Banyak yang menyayangkan keputusan tersebut. Karena kondisi Bragy yang dinilai masih sangat mengkhawatirkan. Namun karena rekomendasi dokter dari pihak rumah sakit. Akhirnya tubuh pembalap tersebut dipindahkan dengan menggunakan helikopter dan pesawat. Selama perjalanan Sidney terus mendampingi. Selain karena ia seorang dokter juga sebagai seorang istri. Celia yang awalnya cemas karena hubungan mereka yang buruk. Akhirnya tersenyum lega melihat Sidney yang dengan rela melepaskan kariernya. Namun tetap saja ada yang mengganjal dalam hati Celia. Yakni kehadiran Delia. Entah kenapa perasaan Celia mengatakan bahwa perempuan itu akan menjadi duri dalam hubungan putra dan menantunya nanti. Karena itu sesampai di singapura ia berencana membicarakan dengan Saras iparnya. Sementara Sidney masih belum bertanya apapun pada suaminya. Selain karena kondisi Bragy yang belum memungkinkan. Juga karena masih menunggu kepastian mengenai hubungan suaminya dengan perempuan itu. Namun ia berpegang pada kalimat Senja. Bahwa Bragy masih mencintainya. Sidney juga berusaha untuk percaya karena dilihatnya dalam dompet suaminya masih ada foto pernikahan mereka. *** Sidney pov Hari hariku terasa lambat. Pekerjaanku hanya berada disekitaran Gy setiap hari. Menemaninya melakukan kegiatan harian yang masih terus harus dibantu. Sementara ibu mertuaku sudah kembali ke Indonesia. Beruntung ada om Dave sekeluarga disini. Sehingga aku tidak terlalu kesepian. Kadang juga mama kemari bersama Ceci kembaranku. Kalau sudah begitu rasanya lelahku sedikit terobati. Setelah empat bulan berlalu, kondisi mas Gy semakin membaik. Penyangga leher sudah di lepas. Dan ia sudah mulai menjalani terapi. Walau tidak tega melihat wajahnya yang selalu kesakitan namun aku mencoba untuk tetap bertahan. Kadang ia menangis putus asa dibahuku setelah selesai terapi. Dan berkali kali mengatakan kalau ia tidak kuat. Namun aku selalu berusaha memberinya semangat. Agar ia bisa kuat dan tetap bertahan. Malam ini aku memutuskan untuk membaca novel yang dibelikan Senja tadi sore. Namun tiba tiba Ceci menghubungiku. Tumben anak ini pikirku dalam hati. Karena Ceci adalah foto kopi papa. Tidak suka basa basi. Dan menelepon hanya untuk sesuatu yang tidak penting. "Apaan Ci" sahutku "Lo ada medsos? Ig?" "Ada tapi udah lama nggak buka, kenapa?" Aku memang menonaktifkan seluruh medsosku semenjak menjaga mas Gy. Kecuali WA grup untuk keluarga" "Lo tahu perempuan bernama Delia?" Aku terkejut namun tetap mencoba menenangkan diri. Jelas aku ingat nama itu "Kenapa memangnya? Gue tahu tapi gak kenal" "Barusan dia kasih bukti ke akun gosip kalau sudah menikah dengan Bragy. Nikah siri katanya" Seketika aku merasa sesak, karena yang kutakutkan benar terjadi. Ya Tuhan, apalagi ini? Lututku terasa goyah. "Dia bilang apa lagi Ci?" Tanyaku berusaha tegar "Dia udah hamil enam bulan. Dan keluarga Gy melarang dia menemui suaminya. Bahkan menutup semua akses dia untuk ketemu. Dia nggak tahu Gy dimana sekarang. Dan dia sedang berusaha mencari simpati publik dengan kondisi dia yang lagi hamil besar. Hati hati lo disana. Gue akan kesitu besok pagi" Aku hanya mengangguk lemah. Memejamkan mataku sesaat sambil berusaha menahan tangis. Rasanya sia sia sudah pengorbananku selama ini. Aku begitu setia ditengah perpisahan kami. Aku bersedia meninggalkan pekerjaanku demi merawatnya. Dan sekarang tiba tiba ada perempuan yang mengaku sudah dinikahi suamiku walau tidak secara sah. Bahkan yang lebih menyakitkan perempuan itu sedang mengandung anaknya. Apa yang akan dilakukan keluarga mertuaku? Apakah mereka akan menerima perempuan itu dan melepaskan aku? Aku tidak tahu harus berbuat apa saat ini. Aku ingin marah, ingin membanting sesuatu untuk melepaskan emosiku. Tapi ini rumah sakit, bagaimana dengan kondisi Gy? Bagaimana kalau ia tahu? Apakah aku akan ditinggalkannya? Lalu suamiku akan meresmikan hubungan mereka? Tapi setahuku Gy masih seiman denganku. Saat kulihat dia selalu berdoa sebelum makan dan saat memulai segala aktifitasnya. Apakah mungkin? Pikirku. Aku tahu suamiku memang tidak sereligius keluarganya. Dari dulu palingan dia ke gereja kalau Natal atau Paskah. Tapi aku juga tidak bisa menilai keimanan seseorang hanya dari luar kan? Membayangkan ia telah menikah dan akan memiliki anak dari perempuan lain membuatku mual. Rasanya aku ingin muntah. Ini selalu terjadi kalau aku stress. Akhirnya aku lari ke kamar mandi. Mengabaikan ponselku yang terus berdering sedari tadi. *** Bragy pov Aku terbangun mendengar suara muntah yang tak berhenti dari kamar mandi. Pasti Sidney! Ada apa? Setahuku ia tidak sakit. Dan ia hanya akan seperti itu kalau sedang stress. Kulihat ponselnya terus berkedip tanda ada panggilan masuk. Sudah dari tadi. Akhirnya aku berusaha beranjak dari tempat tidur dan meraih ponselnya. Dari mama! "Ya ada apa ma?" Tanyaku "Mas, Idne mana?" Nada suara mama terdengar khawatir. "Lagi di kamar mandi. Muntah muntah. Ada apa ma?" "Senja sama tantemu sudah sampai sana?" "Belum" jawabku. Namun baru saja selesai bicara Tante Saras sudah masuk tanpa mengetuk pintu. Wajahnya terlihat tegang "Mana Idne?" Tanyanya. "Dikamar mandi tante" jawabku bingung. Segera tante dan Senja membuka pintu kamar mandi. Aku hanya diam karena menyusul mereka juga tidak berguna. Jalanku sangat lambat. Kudengar tangis Idne dari dalam. Aku ingin bertanya pada  mama tapi ponsel Idne sudah mati. Istriku keluar dari kamar mandi dengan wajah berantakan. Tidak pernah kulihat Idne seperti ini. Ia selalu menjaga penampilannya. Sama seperti ibu mertuaku. Tante Saras membantunya duduk sementara Senja mengambilkan air hangat untuk diminum Sidney. Aku berusaha duduk di sofa walau terasa sangat nyeri dilututku. Kupeluk Sidney dan kuletakkan kepalanya dibahuku "Kamu kenapa?" Tanyaku Ia menangis semakin keras. Tante Saras memberi kode agar aku diam. Aku segera mengerti dan hanya mengelus bahunya. Pakaiannya masih basah membuatku harus mengingatkan "Ne, ganti baju ya. Nanti kamu sakit" bujukku. Tapi ia masih diam dan terus menangis. Sementara aku bingung dan penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi. *** Suasana sudah sedikit tenang. Sidney masih menangis namun tidak sehisteris tadi. Malam ini juga rencana papa dan mama mertuanya akan terbang ke Singapura untuk membicarakan masalah ini. Senja lah yang menunggui Bragy di rumah sakit. Sementara Sidney dibawa ke kediaman Dave. Walau bukan pertama kali kemari, Sidney tetap merasa tidak enak. Saras mempersilahkannya beristirahat di kamar Senja. Kali ini Sidney menurut. Ia sudah sangat lelah dengan kejadian malam ini. Selama empat bulan ini ia memang mematikan sosmednya. Karena malas membaca berita berita spekulasi tentang kondisi Bragy. Sementara ia tidak diijinkan memberi klarifikasi apapun. Mengingat keluarga mertuanya sangat anti media. Karena lelah akhirnya Sidney langsung tertidur *** Ruang kerja Dave Wiratama "Jadi gimana?" Tanya Celia dengan mata membengkak. "Mbak berani nanya Bragy?" Tanya Saras Celia menggeleng "Ya udah, kalau gitu besok aku yang nanya. Tapi gimana kalau Dave mengakui" "Mbak nggak tahu sar. Menurut kamu?" "Maksud aku, mau tanggung jawabnya sampai mana? Dinikahin secara resmi atau mau anaknya aja kita biayain" ujar Saras "Kalau menurutku mereka tidak mungkin menikah. Bragy masih terikat perkawinan dengan Sidney. Lagi pula sekarang Sidney sudah kembali. Nggak mungkin kami menyakiti dia karena kami dekat dengan keluarga mereka" jawab Azka. "Tapi harus dipikirkan juga. Bagaimana perasaan Bragy mas. Apa dia bener bener cinta sama perempuan itu. Atau hanya sekadar mencari teman tidur" kali ini Dave yang memberi pendapat. "Aku beberapa kali bertemu dengan mereka kalau Gy sedang bertanding mas" sela Celia. "Mas jadi bingung. Kok bisa Gy berbuat seperti itu tanpa berpikir matang dan melibatkan kita. Memgambil keputusan sepenting itu demi kenikmatan sesaat" jawab Azka sambil meremas rambutnya. Kejadian ini cukup menguras emosinya. Karena tidak tahu harus bagaimana. *** Pagi itu Sidney kembali ke rumah sakit. Di luar banyak wartawan sudah menunggu. Sidney sedikit cemas, ia takut kalau mereka akan bertindak diluar batas. Sementara ia hanya sendirian kemari. Awalnya ia merasa beruntung karena peraturan rumah sakit membuat para awak media tersebut tidak bisa memasuki lobby. Juga tidak ada yang mengenalnya sebagai istri Bragy. Tapi ternyata ia salah besar. Karena begitu keluar dari taksi beberapa orang dari mereka segera mengejarnya. Begitu turun dari taksi ia berlari tanpa mempedulikan mereka. Sampai di lobby beberapa orang pria berseragam segera melindunginya. Namun langkah mereka tertahan karena ada juga beberapa orang mecoba menghalangi langkah Sidney. Muncullah Delia dari kerumunan orang orang tersebut. "Mbak, dimana Bragy" teriak gadis itu Sidney hanya diam dan tidak menjawab apapun. Beruntung ketika Delia mendekatinya segera beberapa orang menghalau dan sisanya menarik Sidney menjauhi Delia menuju lift. Sidney hanya mampu diam. Ketika para body guard menekan tombol angka tiga. Sampai dilantai tersebut segera mereka pindah lift. Segera Sidney tahu kalau itu untuk mengelabui para pengacara yang disewa Delia. Kembali Sidney merasa pusing. Sesampai di kamar mamanya sudah ada disana. Sementara Bragy hanya terdiam menatap jendela diluar. Melihat kedatangan Sidney seluruh keluarganya memilih keluar dari ruangan. Pelan Sidney mendekati suaminya. "Mas Gy" Bragy terdiam namun akhirnya berkata "Maafkan aku Ne, aku salah" "Mas menikahinya?" Tanya Sidney dengan nada cemas
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN