“Ambil cuti berapa hari, Dek?” tanya Renjana begitu mobilnya melaju meninggalkan kediaman sang mertua.
“Sehari saja, Mas.”
Renjana langsung menoleh sekilas dengan pandangan bingung, dan Sera mengulum senyum.
“Waktu itu aku dan Mas Galih sepakat untuk tidak langsung honeymoon, jadi aku hanya mengambil cuti sehari, karena memang menjelang akhir tahun kantor sedang sibuk-sibuknya, jadi kami berencana honeymoon di libur natal dan tahun baru. Cuti sehari juga karena takut masih kelelahan setelah wedding hari Sabtu kemarin.”
Sera menahan napas juga sesak, namun ada rasa muak karena harus kembali membahas mantan calon suami pecundangnya itu, dia melirik penuh rasa bersalah pada Mas Renjana yang mengangguk dengan raut wajah tenang.
“Maaf jika Mas tidak nyaman.” Cicit Sera yang membuat Renjana langsung kembali menoleh, lalu tersenyum sambil menggeleng.
“Tidak, tidak sama sekali. Memang kalian rencana honeymoon ke mana? Mau dilanjut honeymoon ke sana dengan Mas atau kamu ingin ke tempat lain, Dek?”
Masnya justru lanjut membahas tentang honeymoon itu tanpa berniat menghindarinya sama sekali.
“Ke Lapland… Karena itu akhir tahun … Aku ingin melihat aurora dan menginap di hotel yang bisa melihat aurora dari kamar langsung, lalu naik kereta husky … tapi … tidak jadi saja, Mas. Aku tidak menginginkannya lagi, tapi supaya tiketnya tidak mubazir, aku berikan pada Ayah dan Ibu saja, biar mereka saja yang berkencan.”
Renjana kontan terkekeh dan menatap istrinya dengan pandangan geli alih-alih merasa prihatin.
“Ada yang lucu, Mas?”
“Kamu," ucap Renjana ringan.
Sera mengernyit bingung, bahkan sampai mendengus karena Mas Renjana tidak menyertakan di mana letak lucu yang ada pada dirinya.
“Sedang patah hati masih sempat-sempatnya memikirkan mubazir dan sayang uang, Dek... Dek...”
Mendengar itu Sera sontak menggigit bibir bawahnya dengan pipi yang memanas. Kini yang menjadi fokus bukan lagi patah hatinya, namun image-nya di mata pria yang telah menjadi suaminya.
Apakah dia jadi terlihat seperti wanita yang pelit?
Renjana yang melihat Sera diam langsung menoleh, dan dia tidak bisa menahan senyum geli melihat istrinya itu lagi-lagi salah tingkah.
Tangannya terulur untuk menggenggam tangan Sera.
“Tapi bagus … Artinya kamu orang yang sangat menghargai uang dan tidak suka membuang-buang sesuatu jika tidak bermanfaat. Mas betul, kan?”
Sera langsung mengangguk dan kembali berkontak mata dengan masnya.
"Eum ... Mungkin karena sejak kecil aku melihat Ibu selalu hidup sederhana dan tidak pernah belanja hal-hal yang mubazir apalagi hanya karena lapar mata, dan secara tidak langsung aku dan Naira juga ikut mencontohnya."
Sera tersenyum saat kembali mengingat betapa banyak nilai-nilai kehidupan yang baik yang telah diajarkan oleh ibunya secara tidak langsung.
Kadang, ibunya bahkan tidak perlu mendikte, hanya menunjukkan melalui kebiasaan yang akhirnya pelan-pelan juga tertanam menjadi sifat dalam diri Sera.
"Padahal juga kalau dipikir-pikir, uang ayah sepertinya tidak berseri, tapi aku tidak pernah melihat ibu shopping sampai tangannya penuh dengan barang-barang branded. Saat aku kecil, yang dibeli ibu pasti selalu baju untukku, Naira, atau Ayah. Itu juga masih dalam batas yang wajar."
Renjana mengangguk dan diam-diam merasa semakin kagum saat mendengar satu lagi nilai indah yang dia tau di keluarga istrinya itu.
“Ya sudah … Tapi jika kamu masih ingin melihat aurora, kita bisa merencanakannya, tidak harus tahun ini, karena mungkin jika kita berangkat tahun ini kamu masih belum merasa nyaman sebab tanggalnya sama seperti rencana kamu sebelumnya. Bagaimana jika tahun depan? Tidak di Lapland juga. Kita bisa ke Tromso, Norwegia atau Murmansk di Rusia. Dua kota itu juga terbaik untuk melihat aurora.”
Tatapan Sera kini kembali berbinar, dan kepalanya langsung mengangguk semangat yang membuat Renjana kembali tertawa kecil.
“Aku … Mau, Mas … Itu cita-citaku dari kuliah, tapi sampai detik ini masih belum terwujud.”
Matanya bahkan berkaca-kaca saking senangnya, dan Renjana sesaat merasa tersesat dengan pancaran bahagia yang terlihat begitu indah dari mata sang istri.
“Insya Allah … Kita akan ke sana tahun depan, ya? Kita cari-cari referensi, mana yang terbaik di antara dua kota itu. Nanti kita atur keberangkatan dan semuanya?”
Sera kembali mengangguk, dan sekali lagi menatap suaminya itu dengan tatapan yang penuh kekaguman atas bagaimana pria itu memberikan solusi atas kekecewaan di hati.
Alih-alih merasa malas membahas tentang rencana Sera bersama mantan calon suaminya, pria itu justru lebih memikirkan bagaimana mengobati kecewa di hati Sera.
Aduh, Sera merasa berada di jurang bahaya perihal hatinya. Atas segala perlakuan manis masnya, bagaimana mungkin dia tidak jatuh cinta? Berapa lama dia akan bertahan jika begini?
“Di kantor posisi apa, Dek? Kerja di mana?”
Masnya kembali mengalihkan topik, seolah tidak ingin membuat mereka bertahan lama dalam obrolan honeymoon yang gagal itu supaya tidak membebani Sera.
“Aku di bagian risk management, Mas. Sejak lulus kuliah sudah diminta Ayah bergabung di perusahaan. Tapi aku benar-benar memulai dari bawah, ya! Ayah benar-benar profesional dan tidak memberikan sedikit pun bantuan apalagi nepotisme untuk karirku.”
Renjana mengangguk sambil membasahi bibir, kembali mendengar nada menggebu-gebu Sera saat menceritakan tentang dirinya.
“Bahkan saat interview di perusahaan aku sempat dibuat ingin menyerah karena prosesnya yang panjang dan melelahkan, juga sangat menguji mental. Rasanya ingin mencari perusahaan baru saja, tapi gengsi sama Ayah kalau aku menyerah, Mas”
Mobil yang berhenti karena lampu merah membuat Renjana jadi leluasa memandangi wajah istrinya, selain nada suaranya yang bersemangat saat cerita, Sera juga terlihat sangat ekspresif.
“Aku mulai dari entry level sebagai junior staff, dua tahun kemudian naik sebagai risk specialist, di tahun ke lima menjadi assistant risk division head, dan tahun ini baru naik menjadi head of risk management.”
Renjana mengangguk dengan senyum kagum. “Hebat … Keren sekali, Dek. Kamu memang membuktikan diri kamu mampu berdiri di atas kaki sendiri.”
Sera kembali tersipu, namun kepalanya menggeleng samar. “Dari awal, Ayah bahkan mewanti-wanti semua orang-orang kantor untuk memperlakukanku sama seperti karyawan lainnya, boleh ditegur, dimarahi jika memang tidak becus dan melakukan kesalahan, tapi untunglah aku bisa mengikuti semua training dengan baik..”
Renjana terlihat menatapnya dengan raut wajah bangga, sedang Sera justru menatap masnya dengan tatapan memicing, membuat Renjana langsung menautkan kedua alisnya.
“Kenapa, Dek?”
“Sekarang coba ceritakan tentang Mas. Dari tadi pagi aku terus yang bercerita.”
Renjana terkekeh dan mengangguk.
“Mas kerjanya pindah-pindah, Dek. Kadang di bengkel, kadang ke kafe, kadang juga ke kantor.” Sera mengernyitkan keningnya bingung sebab masnya itu menjelaskan setengah-setengah.
“Di bengkel? Mas montir?” Celetuk Sera namun detik berikutnya dia menggeleng. “Tidak …Bukan … Bukan … Memang ada montir yang kaya raya dengan rumah dua tingkat dan dua mobil juga tiga moge di garasi?”
Renjana yang mendengar itu kembali tertawa, rasanya dia selalu dibuat tertawa dalam setiap obrolan dengan sang istri.
Tatapan Sera justru semakin memicing, pasalnya tadi saat masnya mengeluarkan mobil dari garasi, Sera melihat ada dua mobil yang terparkir sempurna di sana.
Satu mobil Audi A4 yang kini dikendarai oleh masnya, dan satu Toyota Land Cruiser untuk off road, sedangkan mogenya, Sera kurang paham jenisnya, namun mirip-mirip seperti Harley Davidson, karena hanya nama itu itu yang Sera tau untuk jenis moge. Dan moge itu ada tiga di garasi!
“Iya, bisa dibilang begitu.” Ucap Renjana sambil terkekeh dan mengangguk, mobilnya sudah memasuki area basement mall.
“Bohong, ah, Mas. Memang montir jaman sekarang gajinya ratusan juta ya? Aku mau jadi montir juga kalau begitu.”
Renjana langsung tertawa lebih renyah mendengar celetukan sang istri.
Melihat mobil sudah memasuki area basement sedang masnya masih sibuk mencari parkir kosong, tangan Sera refleks ingin melepas sabuk pengamannya, namun saat itu juga tangan Renjana menahan tangan Sera yang ingin membuka sabuk pengaman.
“Mas belum parkir, Dek. Jangan dibiasakan membuka sabuk pengaman saat mobil belum parkir dengan sempurna.”
Sera langsung meringis dan mengangguk, masnya tetap terlihat sibuk mencari lahan kosong, dan melihat bagaimana satu tangan masnya di setir kemudi terlihat begitu lihai melakukan parkir mundur di antara dua mobil, Sera kembali merasa kagum.
Bukan karena kemampuannya, namun posisi masnya dengan satu tangan yang masih menahan tangan Sera, sedang satu tangannya sibuk memutar ke kiri dan ke kanan untuk mendapat posisi sempurna membuat pria itu terlihat sangat manly, terlihat jauh lebih tampan.
“Kita tidak tau bahaya seperti apa di menit-menit selanjutnya, bahkan di tempat parkir tetap ada kemungkinan celaka. Seatbelt boleh dilepas saat mobilnya sudah parkir dan mesin dalam keadaan mati. Jangan diulangi, ya, Dek? Sangat berbahaya.”
Dan masnya kembali melanjutkan, tepat saat akhirnya mobil terpakir sempurna, dia menoleh langsung ke arah Sera dengan senyum yang manis.
“I-iya, Mas …” Sera mengangguk sambil menelan ludahnya kelu saat masnya mencondongkan tubuh lalu membantu Sera melepas seatbelt.
Apakah sifat asli pria itu memang selalu hangat, super peka, dan penuh perhatian?
Kenapa terasa sempurna sekali untuk membuat setiap wanita terpikat oleh tingkah lakunya? Namun Mas Renjana terlihat bukan seperti perayu ulung.
Tindak-tanduknya saat membantu dan memberi perhatian terlihat natural dan bukan dibuat-buat apalagi sampai terkesan berlebihan.
Kenapa sulit sekali memahami pria itu?
‘Wajar, Sera. Kamu belum sampai empat puluh delapan jam mengenalnya.’ Batinnya berbisik menenangkan, dan tubuhnya kembali tersentak kecil saat tangannya tiba-tiba digenggam oleh masnya sepanjang jalan memasuki mall itu.
Dan sialnya, obrolan tentang pekerjaan masnya terjeda begitu saja di saat Sera masih penasaran setengah mati.
“Mau hadiah pernikahan apa dari Mas, Dek?”
“Hadiah? Eh? Kita mau cari cincin pernikahan saja, kan, Mas?”
Masnya menggeleng dengan senyum yang membuat Sera kembali pening dan jantung yang kebat-kebit.
“Beda, Dek. Mas ingin memberi hadiah pernikahan untuk kamu, jika dipikir-pikir, kemarin Mas datang hanya membawa diri, tanpa mahar, tanpa seserahan, apalagi mas kawin. Semua yang mas sebut sebagai mas kawin di akad kemarin itu bukan berasal dari harta benda Mas. Mas ingin memberi kamu hadiah. Kamu boleh meminta seserahan itu sekarang, pilih saja, ya? Mas siap menemani sampai mall tutup.”
Sera tertawa sambil memukul ringan lengan atas masnya yang ternyata keras, pasti hasil dari gym setiap paginya. “Sampai mall tutup? Mas bisa saja … Aduh, aku tidak tau mau apa, Mas ... Hadiahnya tahun depan kita berburu aurora, kan?”
“Beda, Dek. Yang itu akan menjadi hadiah anniversary pertama. Ya sudah, Mas bantu mengurai apa yang sebenarnya kamu inginkan.”
Mereka terus bercerita sepanjang mengitari mall itu. Dan tujuan pertama mereka adalah toko perhiasan dari rumah mode kenamaan di dunia.
Masnya terlihat masuk dengan percaya diri sambil terus menggenggam tangannya, salah satu Client Advisor wanita menghampiri mereka dengan senyum ramah.
“Kami mencari cincin pernikahan. Bisa tolong tunjukkan koleksi terbaik kalian?”
“Baik, Pak, Bu … Mari di sebelah sini.”
Karyawan itu lalu menunjuk cincin emas putih dengan desain simpel namun anggun.
“Ini salah satu koleksi terbaik kami, dengan desain klasik yang abadi. Emas putih 18 karat, dipoles dengan rhodium untuk kilau yang bersih dan modern, cocok bagi pasangan yang menyukai keanggunan yang tak lekang oleh waktu.”
Kemudian pegawai itu kembali menggeser cincin lain dengan aksen berlian kecil di sekeliling lingkarannya.
Bukannya memperhatikan penjelasan pegawai itu, fokus Renjana justru tertuju pada Sera yang terlihat sangat serius memilih cincin pernikahan mereka, dan sungguh, Renjana menikmati momen ini.
Sera terlihat memperhatikan desain-desain itu. Lalu, pandangannya jatuh pada cincin dengan warna rose gold.
“Untuk cincin yang ini memberikan kesan lebih hangat dan lebih romantis. Rose gold memiliki nuansa lembut yang melambangkan kehangatan dan kasih sayang. Banyak pasangan memilih ini karena kesannya yang intimate dan personal.”
Dan terakhir, pegawai itu mengambil sepasang cincin dengan tekstur satin, lembut namun tidak memantul terang. Terbuat dari emas putih 20 karat yang langsung mencuri perhatian Sera.
“Mas suka yang mana?” tanya Sera kembali mengalihkan perhatiannya pada sang suami.
“Mas suka dengan apapun yang kamu pilih, Dek.”
Sera menggigit pipi bagian dalamnya dan mengangguk dengan wajah yang kembali memanas.
“Saya ingin yang terakhir, ya, Kak.”
Karyawan itu langsung tersenyum sumringah dan mengangguk.
“Saya ingin melihat koleksi set perhiasan kalian. Yang terbaik dan terbaru,” ucap Renjana membuat Sera langsung menoleh pada masnya, sedang client advisor itu tampak semakin sumringah, sebab dia mendapat client fantastis hari ini.
“Ada, Pak … Di sini, ruangannya di sebelah sini, silahkan ikuti saya.” Ucapnya terlihat menahan kegembiraan.
“Mas?”
“Hadiah pernikahan dari Mas, Dek. Sebagai bagian dari mahar maupun seserahan, mau, ya? Kamu tidak bisa menentukan, jadi Mas bantu pilihkan, jika ada hal lain yang kamu inginkan, langsung kasih tau Mas, ya?” Renjana mengerling manis, lalu meraih tangan Sera untuk mengikuti pegawai tersebut.
Sera kembali menggigit pipinya dalam, merasa semakin kelimpungan untuk menghadapi sikap manis masnya yang ugal-ugalan.
Sang pegawai menunjukkan salah satu edisi terbatas dan terbaru juga yang paling mewah dari beberapa set perhiasan yang ada.
Itu adalah set perhiasan mewah bergaya Eropa klasik, yang dibuat dari perpaduan rose gold and white gold, dengan ukiran filigree yang halus.
Material utamanya menonjolkan safir biru tua sebagai pusat perhatian, dikelilingi kilau berlian vintage cut dan mutiara air laut berkualitas tinggi.
Masnya memilih set perhiasan tersebut, yang harganya menyentuh angka lima ratus juta, belum dengan cincin pernikahan mereka yang juga berharga ratusan juta.
Mereka sempat berdebat alot sebelum Sera akhirnya setuju. Dia yang mengalah, membiarkan Mas Renjana membeli set perhiasan itu sebagai bentuk hadiah pernikahan karena nada memohon masnya.
Meski pun ayahnya kaya raya, namun seumur hidupnya, Sera selalu hidup sederhana dan tidak pernah berlebih-lebihan. Rasanya membelanjakan uang lebih dari setengah milyar dalam sehari benar-benar tidak bisa dia terima.
Namun, dia tidak bisa menolak saat Mas Renjana memohon supaya Sera menerimanya.
Bukan hanya merasa transaksi kali ini terlalu berlebihan, dia juga kembali menyimpan tanya apa pekerjaan suaminya itu hingga membeli sesuatu tanpa melihat harga sama sekali.
Kini, dia menunggu di salah satu kursi tunggu sedang masnya menyelesaikan pembayaran, Sera melihat suaminya itu mengeluarkan kartu debit prioritas dari salah satu bank swasta yang membuatnya menganga seketika.
Fix, suaminya memang kaya raya, meski mengatakan kerjanya di bengkel. Bengkel uang mungkin?