Renjana terjaga di jam empat pagi seperti biasa, bibirnya mengulum senyum saat melirik ke sisi kiri di mana Sera terlihat begitu lelap.
Dia sempat khawatir wanita itu tidak bisa tidur nyenyak bersamanya, bahkan semalam Renjana pura-pura memejamkan mata seolah sudah tidur lebih dulu. Sengaja menunggu sampai dia mendengar deru napas halus yang teratur dari Sera, barulah saat itu dia perlahan bisa ikut lelap.
Renjana lalu beranjak menuju ke kamar mandi, mencuci muka dan sikat gigi lalu mengganti piyamanya dengan baju koko sambil menyampirkan sarung di bahunya.
Setelahnya, Renjana kembali beranjak naik ke ranjang, mendekat pada Sera dengan tatapan yang hangat.
“Dek … Bangun … Subuh.” Bisiknya lembut sambil mengusap ringan pipi Sera.
Sera mulai mengerjap-ngerjap, dan Renjana lagi-lagi menikmati setiap ekspresi istrinya.
Sera yang masih belum sadar sepenuhnya dengan wajah yang mengernyit-ngernyit itu terlihat lucu di mata Renjana.
Sera mengernyitkan kening saat alarmnya pagi ini terasa berbeda.
Kenapa terdengar begitu lembut? Dan dia justru terbuai dengan alarmnya pagi ini alih-alih mendumel kesal seperti biasanya.
Biasanya kan alarm-nya sangat memekakkan telinga? Dia mulai mengerjap-ngerjap sambil mengucek matanya.
Begitu sadar sempurna matanya langsung membelalak dengan jantung yang rasanya meloncat keluar, dia bahkan refleks menjauhkan tubuhnya sambil mendorong pria di depannya yang terlalu dekat.
Refleksnya itu membuat tubuhnya hampir terjungkal dari ranjang, beruntung Renjana sigap langsung menahan tubuhnya dengan cara memeluk pinggangnya.
“Dek … Hati-hati.”
Renjana kembali menarik tubuh mungil itu untuk lebih ke tengah ranjang, tanpa tau jika sepagi ini jantung Sera sudah diajak maraton atas kelakuan suaminya.
Sera kembali meringis saat mendengar ucapan suaminya, wajah Mas Renjana benar-benar ada di depan wajahnya, bahkan Sera bisa mencium wangi mint dari bau mulutnya.
Ah, pasti masnya itu sudah bangun dari tadi, kan? Sudah cuci muka, sikat gigi, dan saat pandangan Sera turun dia juga sudah mendapati masnya memakai baju koko.
“Lupa, ya, Dek, kalau sudah jadi istri? Sampai terkejut begitu.” Mas Renjana terkekeh ringan sambil menekan kening Sera yang terus mengerut.
Sera langsung menutup seluruh wajahnya dengan selimut hingga hanya menyisakan matanya saja. Dia malu, takut juga dengan bau mulutnya yang harus beradu dengan wangi mulut Mas Renjana yang sepagi ini sudah harum.
“Eumm … Bukan … Terkejut saja, Mas ada di depanku begini. Ya … sudah … Aku mau wudhu dulu, Mas.” Ucapnya yang membuat Mas Renjana kembali mengernyitkan keningnya.
“Kenapa wajahnya ditutupi? Malu dilihat bare face-nya oleh, Mas? Tetap cantik, kok, manis.” Renjana dengan sengaja menarik selimut yang masih dicengkeram oleh Sera.
Lalu dia beranjak menjauh sambil mengacak gemas rambut Sera.
“Ya sudah, siap-siap, Dek. Mas belum wudhu juga, masih lima belas menit lagi, kok, menjelang subuh.”
Kini Renjana beranjak dari ranjang, kembali masuk ke kamar mandi dan meninggalkan Sera dalam keterpakuan.
Perlahan Sera mengusap dadanya dan meraup oksigen sebanyak-banyaknya dengan rasa yang semakin membuatnya kelabakan atas kelakuan sang suami.
Begitu Sera keluar dari kamar mandi, alunan merdu suara masnya yang sedang mengaji membuat langkahnya terhenti.
Sera sampai menggigit bibirnya, irama masnya mengaji benar-benar menyentuh hati, tipe nada qiroah yang membuat orang langsung tersentuh dengan mengucap Masya Allah.
Tidak lantang namun penuh kelembutan, benar-benar lancar dan terdengar meresapi keindahan arti dari setiap ayat yang dibacakan.
Bukan hanya itu, Sera pun melihat jika sajadah untuknya sudah digelar, lengkap dengan mukena travel miliknya yang kemarin dia masukkan ke dalam paper bag.
Saat Mas Renjana menyudahi bacaan Al-Quran-nya, saat itulah Sera mendekat dengan senyum tipis.
“Indah sekali bacaannya, Mas.” Bisik Sera dengan pandangan takjub, masnya justru hanya terkekeh.
“Kamu mandi, Dek? Kok lama?”
“Oh, tidak, tadi sakit perut, jadi sekalian.” Sera meringis, sambil memakai mukenanya, dan Mas Renjana mengangguk lalu berdiri.
Masnya lalu melafalkan iqomah, Sera juga ikut berdiri dengan debar yang masih bersemi di dalam d**a.
Hingga takbir pertama digaungkan, hatinya serasa dipenuhi kesejukan dan ketenangan saat lantunan ayat Al-Quran yang kini terdengar lebih lantang namun tetap memiliki kelembutan itu memanjakan telinganya.
Tanpa sadar Sera meneteskan air mata, merasakan kenikmatan di solat berjamaahnya dengan sang suami.
Suami yang baru Sera kenal kemarin, yang kini menjadi pemimpin dunia akhiratnya, dan kini Mas Renjana seolah sedang menunjukkan jika dia adalah pemimpin yang bisa diandalkan untuk membimbingnya dalam urusan dunia, akhirat, agama dan rumah tangga.
“Assalamualaikum warahmatullah.”
“Assalamualaikum warahmatullah.”
Masnya langsung membalikkan badan dan duduk bersila, sedang Sera langsung mengulurkan tangan, dan puncak kepalanya kembali disentuh sambil kepala masnya condong untuk mendoakan kebaikan padanya.
Yang tidak disangka, setelah selesai mendoakannya, ubun-ubunnya juga dikecup, dan Sera tanpa sadar mengeratkan genggaman tangan pada masnya. Refleks yang terjadi begitu saja.
“Maaf … Kaget, ya? Ambil pahala sebagai suami istri subuh-subuh, Dek.” Ucapnya dengan senyum manis sambil mengusap punggung tangan Sera sebelum dia lepaskan.
“Eh, iya, tidak apa-apa, Mas. Mas berhak, kok, maaf, ya, aku masih belum terbiasa.” Ucap Sera kembali dengan tatapan bersalah.
“Tidak apa-apa, kan, ini kita sedang membiasakan pelan-pelan. Tidur lagi, yuk? Wajah kamu masih sayu kelelahan begitu. Kan, ini, hari Minggu.”
Renjana membantu Sera melepas mukenanya, lalu meraih tangan wanita itu untuk kembali naik ke ranjang.
Sera juga sebenarnya merasa badannya pegal luar biasa dan dia masih sangat mengantuk, tapi dia merasa tidak enak pada suaminya.
“Eum … Kan … Aku harus membuat sarapan, Mas.” Itu yang memberatkan hatinya untuk lanjut tidur meski badannya memang masih butuh istirahat.
Kini mereka sudah kembali berbaring saling berhadapan di ranjang.
“Nanti saja, gampang. Kan, kita bisa beli. Mas juga masih ngantuk, santai saja, Dek. Jangan merasa terbebani dengan hal-hal rumah tangga."
Sera yang mendengar itu dibuat speechless. Sungguh tidak menyangka dengan ucapan masnya.
"Lagian, ya, Dek, kalau kita belajar fiqih, kewajiban memberi nafkah itu mutlak di pundak suami. Kamu tidak akan berdosa jika tidak memasak. Justu Mas yang harus memastikan kamu dapat makanan enak, Mas yang harus menghadirkan makanan yang enak di meja makan, entah Mas masak sendiri, beli, atau sewa orang. Karena semua kebutuhan kamu itu mutlak tanggung jawab Mas."
Hati Sera jangan ditanya, berdetak menyenangkan di dalam sana mendengar kata demi kata dari pria yang dewasa dan matang secara pola pikir itu. Yang memahami dengan baik tugas dan tanggung jawabnya sebagai suami.
"Kamu masak itu ya karena kamu ingin berbakti, menunjukkan cinta kasih di rumah tangga kita dan ingin meraih pahala di sisi Allah, tapi sebenarnya itu bukan kewajiban kamu. Jadi kalau kamu tidak mau masak ya tidak apa-apa."
Sera rasanya mau menangis, tapi dia malu. Dia mudah tersentuh dengan hal-hal kecil, termasuk bagaimana pemikiran masnya yang terlihat sangat paham bagaimana cara memuliakan seorang wanita.
"Sebagian masyrakat kita itu lebih mudah tergerus adat dan budaya di jaman sekarang, sampai tidak sadar kalo adat itu kadang bertentangan dengan nilai agama. Banyak, kan, jaman sekarang, laki-laki yang tidak bisa membedakan mana kewajiban dan tanggung jawabnya, akhirnya muncul lah budaya patriarki. Suami harus wajib melayani istri, katanya suami itu seperti seorang raja, padahal dalam islam suami lah yang harus memuliakan dan meratukan istri, memenuhi semua kebutuhan dan keinginannya setelah mengambil alih tanggung jawab dari orang tuanya."
Ah, ini adalah obrolan panjang mereka yang menyenangkan hatinya, dan Sera jadi excited sendiri, obrolan seperti apa lagi yang akan mereka miliki di hari pertama sebagai suami istri nantinya.
"Dan kamu tau jahatnya stereotipe sebagian besar masyarakat kita terhadap wanita, Dek?"
Sera langsung menggeleng, namun tatapannya penuh penasaran.
"Semua hal rumah tangga yang tidak terurus, mulai dari anak, suami, sampai rumah yang tidak terurus pasti salah istri. Dan jika dirinya sendiri tidak terurus karena kesibukan mengurus semua perkara rumah tangga hingga membuat suaminya berpaling, itu pun masih salah istri juga yang katanya tidak pandai merawat diri."
Sera yang mendengar itu langsung meringis dan mengangguk setuju.
"Makanya, Mas ingin menegaskan pada kamu, jangan pernah terbebani dengan urusan rumah tangga, ya?"
"I...ya ... Mas." Bisiknya dengan mata yang memanas.
Suara masnya sopan sekali masuk ke telinga, merdu dan lembut, terdengar maskulin, lebih dari itu, semua yang diucapkan masnya sangat menyentuh hati. Membuat Sera merasa beruntung menikah dengan pria seperti Mas Renjana.
Lagi-lagi hatinya dibuat kalang kabut dengan tingkat kekaguman yang naik drastis pada sosok suaminya itu.
"Yasudah, yuk, sekarang tidur lagi."
Renjana menarik selimut untuk mereka berdua, dan langsung memejamkan matanya, membuat Sera juga akhirnya ikut terlelap dan tidak membutuhkan waktu lama untuknya kembali terbang ke alam mimpi.
Melihat istrinya sudah kembali lelap, Renjana langsung membuka matanya, tangannya kembali terulur untuk merapikan anak rambut Sera yang sebagian menutupi wajahnya.
Dia sebenarnya tidak mengantuk, dan rutinitasnya sehari-hari memang setelah subuh biasanya olahraga di ruang gym. Lalu membuat kopi dan sarapan untuk dirinya sendiri.
Namun, tadi melihat Sera yang wajahnya masih terlihat lelah dan mengantuk berat, jadi Renjana mengajaknya untuk kembali tidur, karena dia paham Sera butuh istirahat lebih panjang dibanding dirinya.
Apalagi seharian kemarin wanita itu benar-benar kelelahan secara emosional atas tragedi yang hampir menjungkir balikkan dunianya, tangisnya di bridal room kemarin saja masih basah di ingatan Renjana.
Dan bagaimana wanita itu menahan tangis juga emosi yang masih mengguncang hatinya selama di pelaminan membuat Renjana salut dengan kemampuan Sera menahan diri sepanjang resepsi.
Meski pada akhirnya, semua emosi yang ditahannya tumpah begitu dia masuk ke kamar hotel, dengan tangis yang menyayat hati.
Dengan lancang bibir Renjana kembali maju untuk mengecup puncak kepala Sera, lalu dia beranjak dari sana dengan hati-hati.
***
Sera terjaga dari tidurnya saat merasakan cahaya matahari masuk melalui celah tirai yang tidak tertutup sempurna.
Dia mengerang dan kembali menutup seluruh tubuhnya dengan selimut, masih mengantuk dan dia ingin tidur seharian.
Namun, kesadarannya langsung mengambil alih dan membuatnya membelalak seketika sampai dia beranjak duduk.
Teringat dengan statusnya dan bagaimana dia berakhir tidur di kamar yang masih asing itu, jantungnya kembali maraton saat tidak mendapati suaminya di kamar.
Sera mengambil ponselnya dan ternyata sudah jam setengah tujuh.
Dia menepuk-nepuk pipinya yang kembali memanas. Bagaimana bisa di hari pertamanya menjadi seorang istri dia justru bangun terlambat?
Benar-benar memalukan! Batinnya mendesah kesal.
Mengingat obrolan mereka setelah subuh tadi, jangan-jangan Mas Renjana sudah sibuk berkutat di dapur lagi?
Sera meringis lagi dan merasa gugup luar biasa. Ini sudah pasti nilainya sebagai seorang istri minus.
Sera buru-buru beranjak untuk membuktikan pemikirannya, namun begitu dia tiba di lantai bawah, langkahnya terhenti begitu saja dengan tangan yang refleks menutup wajahnya sambil mencicit kecil.
“Mas ….” Sera memekik kecil saat dia melihat masnya shirtless dan baru keluar dari salah satu ruangan.
Dia justru mendengar tawa Mas Renjana yang semakin terdengar jelas, tanda pria itu mendekat ke arahnya, tidak lama kemudian tangannya yang masih menutup wajah ditarik, dan Sera refleks memejamkan matanya erat-erat.
Eh, tawa Mas Renjana semakin mengudara dan menggelitik di telinga juga membuat dadanya berdesir menyenangkan.
“Mau sarapan apa, Dek? Suka ngopi tidak?” Tanyanya yang membuat Sera refleks membuka matanya.
Dia mendongak untuk melihat wajah masnya, dan refleks menahan napas saat melihat penampilan Mas Renjana.
Keringat masnya masih menetes di pelipis, rambutnya sedikit berantakan, dadanya naik turun cepat, dengan perut kotak-kotak enamnya.
Ya Allah … Selain wajahnya yang tampan, tubuhnya ternyata juga menawan, apalagi kini masnya shirtless, hanya mengenakan celana training hitam yang menggantung rendah di pinggulnya.
Sedang pamer body, ya? Sera mengaduh dalam hati saat jantungnya memukul lebih keras daripada biasanya. Sayangnya otaknya dengan liar mengakui body masnya itu memang hot and sexy.
Ada semburat panas yang kembali merayap naik ke pipi. Matanya refleks ingin menghindar, tapi seperti ada magnet yang memaksa untuk menatap lebih lama pada ciptaan Tuhan yang begitu indah.
“Dek? Kok, melamun? Mau sentuh? Yang mana? Otot lengan, perut, d**a?” Tanya Renjana menahan senyum geli, ada nada menggoda dalam suaranya, dan Sera refleks mundur dengan wajah yang merengut.
“Mas, ih! Ngeledek terus!” Ucap Sera menghentak kakinya kesal, dan itu membuat Renjana kembali tertawa.
“Mas mandi sebentar, ya? Tunggu. Kita buat sarapan sama-sama. Kamu juga mandi saja apa? Biar Mas pakai kamar mandi luar?”
Sera tampak menimbang, namun pada akhirnya mengangguk karena dia berharap bisa berendam sejenak supaya tubuhnya lebih rileks.
Melihat itu Renjana kembali mengulum senyum lebar lalu mengacak-acak rambut Sera sebelum akhirnya menggenggam lengan wanita itu untuk kembali ke kamar mereka.
Sera sendiri menatap pada tautan tangan mereka. Kenapa kehidupan pernikahannya yang belum menyentuh dua puluh empat jam persis seperti bayangannya selama ini?
Bayangannya saat menikah dengan Mas Galih ya seperti yang terjadi dengan Mas Renjana sekarang.
Pagi yang manis, dengan obrolan yang penuh kehangatan, juga canda tawa yang membuatnya salah tingkah namun bahagia.
Padahal, Mas Renjana bukanlah calon suami sesungguhnya apalagi pria pilihannya, tapi kenapa pria itu bisa memenuhi semua ekspektasi tentang indahnya kehidupan pernikahan seperti yang dia lihat dalam kehidupan pernikahan Ayah dan ibunya?
Dan karena Mas Renjana juga, Sera justru tidak terpaku pada rasa sakit karena ditinggalkan Mas Galih.
Suaminya itu seolah bukan hanya mengalihkan rasa sakitnya, namun lebih dari itu, Mas Renjana berhasil mengobati luka hatinya dengan segala bentuk kasih yang sampai ke hatinya.
Ah, bagaimana bisa sosok Mas Renjana terlihat semakin sempurna di matanya?