Bab 8. Hilang Kendali

1222 Kata
“Ternyata bajunya pas,” ucap Nina ketika keluar dari kamar mandi. Ryan menoleh, seketika dirinya terpaku. Piyama milik mendiang istrinya itu ternyata sangat pas di tubuh Nina. Ia berdehem keras, memalingkan muka, memperbaiki kacamata lantas mencoba kembali fokus membaca buku. “Ini baju istri kamu? Eh, mantan istri? Ah, nggak tahu deh. Pokoknya gitu.” Nina berceloteh sembari naik ke atas kasur. Ryan tak menjawab, ia masih membaca buku di sofa. “Riry belum pulang, ya?” Nina kembali membuka obrolan. Ia tak suka suasana kamar yang hening. Itu membuatnya gugup ketika ia menyadari bahwa hanya ada dirinya dan Ryan di kamar. “Dia nginap di rumah neneknya,” sahut Ryan pendek. Nenek yang dimaksud adalah nenek dari pihak ibu Riry alias mertua Ryan dari istri pertamanya. “Oh iya tadi pulang sekolah langsung ke rumah neneknya, ya?” Kamar itu kembali hening. Ryan tetap sibuk membaca buku, tak merasa perlu menjawab pertanyaan istrinya. Melihat suaminya tak menggubris dirinya, Nina jadi kesal. Ia pun beranjak dari kasur, duduk di sebelah Ryan. Suaminya itu hanya menoleh sekilas, lalu kembali tenggelam dalam buku tebal yang ia baca. “Baca apa sih?” tanya Nina penasaran. Ryan menunjukkan sampul bukunya, lalu kembali membaca. “Ck, buku kedokteran, ya? Emang seru sampe nggak nyahutin aku?” cibir Nina kesal. Tak ada jawaban, Ryan seolah tak terusik dengan celotehan Nina yang cempreng. Hati Nina semakin gondok melihat suaminya benar-benar tak peduli padanya. Ia mendengus kesal. Mengulurkan tangan, sengaja menutupi wajah Ryan agar tak bisa membaca buku. “Jawab dulu, Om! Orang nanya tuh biar dijawab bukan didiemin,” gerutu Nina sebal. Ryan menyingkirkan tangan Nina. “Pertanyaanmu nggak perlu dijawab,” sahutnya santai. Ia kembali fokus membaca. “Mana ada?” Suara Nina mulai meninggi. “Semua pertanyaan itu perlu dijawab, Om. Apalagi kalau istri nanya tuh harus dijawab!” Nina menggembungkan pipinya, kesal bukan main. Namun, Ryan tetap saja diam. Seolah ocehannya hanyalah angin lalu. Melihat itu, amarah Nina naik ke ubun-ubun, ia merebut buku di tangan suaminya. “Jawab aku, Om!” “Nina!” Ryan menghardik keras. “Kembalikan bukuku!” “Nggak mau!” Nina bersikeras, menyembunyikan buku tebal Ryan di belakang punggungnya.. “Kembalikan, Nina!” “Nggak mau! Kenapa sih Om nggak mau jawab pertanyaanku? Aku tuh nanya, harus dijawab dong! Apalagi aku cuma sendirian di sini, kalau Om baca buku aku ngobrol sama siapa coba?” Ryan menghunus tatapan tajam. “Bilang sekali lagi,” desisnya. “Apa?” “Kamu panggil aku apa?” Nina mendelik, menyadari kesalahannya. Sayangnya semua sudah terlanjur terjadi. Ryan sudah kesal pada tingkah istrinya. Nina seperti membangunkan singa yang sedang tidur. “Om, maaf.” Gadis itu meringis sembari menutupi mulutnya dengan tangan. Tanpa sadar ia justru kembali menggunakan panggilan yang amat dibenci Ryan itu. Ryan berdiri dengan cepat, lantas sebelum Nina sempat menyadari apa yang terjadi, tubuh mungilnya sudah berpindah ke gendongan Ryan. “Om, apa-apaan ini?!” pekiknya nyaring. Ryan tak menjawab. Wajahnya mengeras, garis rahangnya terlihat mengetat. “Om, turunin!” Nina merengek, meronta-ronta di gendongan Ryan. Namun jelas kekuatan Ryan jauh di atasnya. Tubuh mungilnya tetap anteng berada di gendongan sang suami. Nina menelan ludah takut ketika melihat sorot mata Ryan yang berubah dingin dan tajam. “Duh, mampus deh aku!” keluhnya dalam hati. Ryan telah tiba di tepi ranjang, ia menjatuhkan Nina ke atas kasur layaknya tubuh istrinya hanyalah sekarung beras. Kemudian, ia ikut naik ke sana, segera mengurung tubuh Nina di bawahnya. Nina menciut takut. “Om, maaf,” cicitnya. “Aku bilang apa, Nina? Jangan panggil aku ‘om’. Aku memang teman om kamu, tapi aku suamimu.” Suara berat Ryan menusuk pendengaran Nina, membuat gadis itu hampir menangis ketakutan. “Iya, maaf. Aku janji nggak ngulangin lagi.” Nina masih berusaha membujuk. Jantungnya sudah hampir melompat dari rongga dadanya, saking takutnya. “Kamu tahu apa hukumanmu kalau memanggilku dengan sebutan ‘om’?” Nina menelan salivanya, lidahnya kelu, tapi ia harus memaksakan diri menjawab. Karena jika tidak, Ryan mungkin akan semakin marah. “Ci-cium?” Tepat ketika kata itu meluncur dari bibir tipis Nina, Ryan segera melumat bibirnya dengan sedikit kasar. Seolah ia menyalurkan kekesalannya pada bibir sang istri. Nina gelagapan, ia tak menyangka Ryan akan menciumnya dengan sangat beringas begini. “Mas…hmph.” Nina mencoba menghentikan Ryan, namun kata-kata yang keluar dari bibirnya justru disertai lenguhan. Mulutnya kembali dibungkam oleh bibir suaminya. Rasa manis bibir Nina, suara desahannya barusan, ditambah aroma khas dari piyama yang dipakai Nina, membuat Ryan kehilangan akal sehatnya. Ciumannya semakin dalam dan menuntut. Ia tak lagi mengurung tubuh mungil istrinya, melainkan menindihnya. Nina yang tak punya pengalaman soal ini, tak bisa mengimbangi perlakuan Ryan padanya. Namun satu hal yang ia rasakan, perlahan-lahan dirinya justru menikmati ciuman Ryan yang terasa begitu mendamba dirinya. Kini, bibir Ryan mulai turun, menyusuri leher jenjang Nina, membuat sang istri menggelinjang keenakan. Nina tak mengerti apa yang ia rasakan, namun kewanitaannya mulai terasa basah dan berkedut. “Mas… rasanya aneh,” desah Nina sembari memejamkan mata. Sensasi dari rangsangan yang dilancarkan Ryan benar-benar membuatnya merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Nikmat dan menginginkan lebih. Mendengar itu, Ryan pun semakin bersemangat. Kini tak hanya bibirnya yang sibuk, namun juga kedua tangannya. Ia mulai membuka kancing piyama Nina, membelai kulit permukaan istrinya yang begitu lembut. “Ah!” Nina melenguh, menggigit bibirnya, tubuhnya meremang. Ryan menyeringai, ia menciumi perut Nina yang polos. Terus naik hingga ke depan dua buah benda kenyal milik istrinya. Bulat dan sintal. Kewarasan Ryan benar-benar nyaris tak bersisa sekarang, tangan kanannya mulai meremas salah satu benda kenyal itu. Membuat Nina mendesah nikmat. “Ah… Om!” Ryan membeku seketika. Panggilan ‘om’ itu seolah menyeretnya kembali pada kenyataan, membenturkannya pada kesadaran yang hampir saja menguap seluruhnya. “Nina?!” Ryan berseru tak percaya. Ia telah menindih tubuh Nina yang nyaris telanjang. Bahkan kejantanannya yang mengeras menekan kuat ke kewanitaan istrinya yang berkedut. Ryan menelan ludah. “Apa yang aku lakukan?” batinnya penuh sesal. Nina membuka mata, wajahnya memerah, nafasnya terengah oleh gairah. “Kenapa berhenti?” tanyanya bingung. “Nina, maaf. Aku lepas kendali….” Ryan buru-buru bangkit, sekali lagi menelan ludah saat melihat tubuh setengah telanjang istrinya yang begitu menggoda. Jika saja Nina tak keceplosan memanggilnya ‘om’, mungkin malam ini keperawanan gadis itu akan direnggut olehnya. Ryan merutuki dirinya dalam hati. Ia mengambil selimut, menutupkannya ke tubuh Nina. Nina mengernyit bingung. “Ada apa, Mas?” “Maaf, Nina. Nggak seharusnya aku melakukan ini ke kamu,” ucapnya tanpa menoleh sedikit pun pada sang istri. “Aku keluar dulu.” “Mas Ryan?” Nina menatap suaminya bingung. Namun Ryan bergeming, ia tetap melangkah pergi. “Mas Ryan mau ninggalin aku setelah apa yang kamu lakukan?” Ia berseru, berharap menghentikan langkah suaminya. Namun Ryan benar-benar meninggalkan dirinya, keluar kamar tanpa menoleh sama sekali padanya. Nina ternganga, tak percaya dengan apa yang telah terjadi. Padahal tadi ia sempat berpikir untuk menyerahkan keperawanannya pada sang suami. Bahkan, ia merasa lubang kewanitaannya telah siap menerima kejantanan Ryan yang terasa begitu panas dan keras saat menyentuhnya tadi. “Dasar pengecut!” Nina mengumpat kesal. Memukul selimut sekuat tenaga. Sejak malam ini, kebencian Nina pada Ryan perlahan-lahan tumbuh subur di hatinya. Namun di sisi lain, sentuhan, belaian, dan ciuman Ryan justru terus membekas di ingatannya. Membuatnya sesekali ingin mengulangi perasaan menyenangkan itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN