Bab 10. Rencana Cadangan

1428 Kata
“Sayang, kayaknya kita harus pakai rencana cadangan deh,” bisik Evan sembari menempelkan ponsel ke telinganya. Sesekali ia melirik pintu kamarnya, gelisah. Ini sudah tengah malam, harusnya takkan ada orang yang masuk ke kamarnya, tapi tetap saja ia gelisah. “Kenapa secepat itu kamu menyerah?” Sherly bertanya sedikit ketus di ujung telepon. “Aku babak belur, Sayang. Aku dipukuli sama Nina. Dia marah besar. Aku nggak yakin nyawaku masih selamat kalau aku memaksanya untuk bercerai dari kakakku dan memintanya menikah denganku.” Evan meringis, pipinya masih terasa nyeri meski sudah diobati. “Ck, masa kamu babak belur cuma karena dipukul sama perempuan?” “Kamu nggak tahu aku juga ditampar dua kali sama papaku, Sayang.” Evan merengek, seperti anak kecil. “Coba sekali lagi, deh. Masa nggak bisa?” Evan mendesah resah. “Enggak, Sayang. Aku nyerah. Ini baru Nina yang marah, kalau sampai aku ketemu sama om Donny, bisa-bisa nyawaku yang melayang.” “Cuma segitu nyali kamu?” ejek Sherly kesal. Sejujurnya ia tak ingin menggunakan rencana cadangannya. Ia sudah terlanjur nyaman tinggal di New York. “Ayolah, Sayang. Lagi pula ini kan usul dari kamu. Aku loh nggak mau nikah sama Nina, tapi kamu maksa.” “Oh, jadi kamu nggak mau uang di brankas Donny Adrian itu?” “Eh, bukan gitu….” Evan serba salah. “Tapi aku beneran nggak mau bujuk dia lagi. Ayo kita pake rencana cadangan kamu itu aja. Aku bersedia bantu apapun, asal jangan suruh aku membujuk Nina menceraikan kakakku.” Terdengar helaan nafas berat dari ujung telepon. “Ya sudah, nanti aku telepon lagi. Aku mau balik kerja dulu.” “Oke, Sayang. Semangat kerjanya. Muah!” Evan mencium ponselnya sumringah, seolah ponsel itu benar-benar bibir Sherly. Sambungan telepon itu terputus. Sherly menghela nafas berat, meletakkan kopinya di atas meja. “Masa aku harus pulang sih?” gumamnya. Sherly mengeluarkan sebuah berkas dari laci paling bawah mejanya. Laci yang selalu ia kunci. Ada banyak baris tulisan di atas kertas yang dikelompokkan dalam tiga buah tabel. Itu adalah daftar nama nasabah VIP sekaligus penyewa brankas di bank tempatnya bekerja. Sherly mengatupkan rahangnya rapat-rapat. Tatapannya tertuju pada sebuah nama yang menarik perhatiannya sejak ia memperoleh daftar itu. Donny Adrian. Nama yang hampir sepuluh tahun terakhir ini sering memenuhi kepalanya. “Coba telepon dulu deh, siapa tahu nggak perlu pulang,” gumam Sherly sembari meraih ponselnya. Ia hampir menelpon sebuah nomor yang sudah lama tidak ia hubungi, namun urung karena ia baru sadar perbedaan jam antara New York dan Indonesia yang berbeda dua belas jam. Sherly memutuskan untuk menelpon nomor itu sepulang kerja, ketika di Indonesia sudah pagi. “Halo?” sapanya begitu telepon tersambung. “Astaga, ini Sherly? Betul Sherly?” Suara di seberang terdengar sangat terkejut. Sherly meringis. “Iya, betul.” “Sherly anaknya mbak Laras?” Orang yang ia telepon sepertinya terlalu tak percaya dengan telepon yang ia terima hari ini. “Iya, sekali lagi betul. Apa kabar, Tante?” Namun bukannya jawaban yang Sherly dengar, justru isak tangis yang membelai pendengarannya. Wanita di seberang telepon yang ia panggil ‘tante’ terisak-isak hingga beberapa menit kemudian. “Apa kabarmu, Nduk?” Suara si tante bergetar, ia berusaha menghentikan isak tangisnya. “Baik. Tante dan keluarga apa kabar? Sehat semua?” Sherly duduk di sebuah kafe di depan kantornya, memesan minuman dan kudapan, mengobrol sejenak dengan salah satu orang yang paling berjasa dalam hidupnya. “Kenapa telepon, Nduk?” Sherly memperbaiki duduknya, menelan ludah. Inilah poin yang membuatnya gugup. “Tante, apa barang-barang ibu masih ada yang Tante simpan?” tanyanya agak ragu. “Oh, ada ada. Waktu itu sempat Tante selamatkan sebelum rumah ibu kamu dijual.” Sherly melipat bibir sejenak. “Apa ada kotak kayu warna merah? Dulu tempatnya di lemari di kamar ibu.” “Oh, yang ada gembok kecilnya?” “Iya iya, yang itu.” “Ada. Tante taruh di gudang semua sama barang-barang lain.” Jantung Sherly mencelos seketika. Ia bahkan menutup mulutnya dengan tangan, tak percaya bahwa kotak itu masih disimpan oleh tantenya. Maka ketika telepon itu berakhir, Sherly segera kembali ke apartemennya. Mencari kunci dari gembok kecil yang menyegel kotak kayu merah itu. Dan betapa leganya Sherly, ketika ia berhasil menemukan kunci gembok itu di tumpukan surat yang pernah akan ia kirimkan pada Donny Adrian. Sherly, gadis berkulit sawo matang itu terduduk di lantai apartemennya. Memegangi kunci berukuran kecil dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menelepon Evan. “Halo, Van, kita pakai rencana cadangan. Aku akan pulang ke Indonesia setelah mengurus pengunduran diriku di sini,” pungkasnya dengan tekad bulat di dalam dirinya. *** Keesokan harinya giliran Ryan, Nina, dan Riry berkunjung ke kediaman orang tua Nina. Donny dan Larissa menyambut begitu hangat. Larissa menyuruh koki di rumahnya untuk memasakkan makanan kesukaan Ryan dan Riry. “Enak, Ryan?” tanya Larissa saat Ryan menikmati kepiting asam manis. Ryan mendongak, tersenyum. “Enak banget, Ma.” Nina berdecih di sebelahnya, melengos. Ya, sepasang suami istri itu resmi mengibarkan bendera perang sejak kemarin. Ryan pun tak peduli dengan sikap dingin dan ketus Nina padanya. Pria itu hanya berpesan satu hal sebelum berangkat tadi. “Kamu sudah cukup dewasa untuk tidak bertindak bodoh meski di rumah orang tuamu sendiri.” Mengingat kalimat itu, Nina jadi semakin kesal. Ia mengambil udang balado banyak-banyak, makanan favoritnya. “Riry suka sup ayamnya?” Larissa beralih menatap gadis mungil yang sejak tadi sibuk makan. Gadis berpipi tembam itu tersenyum dengan mulut penuh makanan. “Suka! Enak banget!” serunya senang. “Kalau gitu sering-sering main ke sini, ya? Nanti Eyang buatin sup ayam yang enak terus.” Larissa tersenyum. Riry menyambut undangan itu dengan anggukan kuat. Siapa yang tidak mau dibuatkan makanan favorit setiap kali berkunjung? Tentu Riry mau sekali. Usai makan malam, Donny dan Ryan duduk di teras belakang. Sementara Nina membantu ibunya mengupas buah untuk disuguhkan pada Ryan dan Donny. Sedangkan Riry ditemani seorang asisten rumah tangga menonton televisi di ruang tengah. “Gimana soal tawaran Papa, Yan?” tanya Donny membuka obrolan. “Soal klinik swasta itu?” Donny mengangguk. “Papa serius, Ryan. Ada klinik swasta yang hampir bangkrut dan mau Papa beli, tapi Papa bingung mengurusnya karena Papa bukan orang kesehatan. Tadinya Papa mau membayar orang untuk mengurusnya, tapi karena sekarang kamu jadi menantu Papa, Papa akan menyerahkan soal klinik itu ke kamu.” “Tapi saya belum punya pengalaman mengurus instansi kesehatan, Pa.” “Loh, nggak apa-apa. Gini, Ryan… Papa bakal biayain kamu kuliah manajemen rumah sakit sambil Papa urus renovasi kliniknya itu. Setelah kamu lulus, klinik itu akan sepenuhnya jadi milik kamu. Anggap saja itu hadiah dari Papa.” “Papa bilang apa barusan?” Nina yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu menuju teras berseru kesal. Ia mendekat cepat, nyaris membanting piring berisi buah ke atas meja. Gadis itu menatap papanya tajam. “Papa mau ngasih dia hadiah sebuah klinik kesehatan?” “Bicara yang sopan, Nina. Jangan menunjuk-nunjuk suamimu begitu!” tegur Donny keras. “Papa tahu sekeras apa kak Kevin berusaha jadi dokter seperti yang Papa inginkan? Karena iming-iming mau dibuatkan klinik sendiri, kak Kevin belajar mati-matian setiap hari, Pa!” Nina berteriak marah. Bibirnya bergetar, matanya memerah menahan tangis. “Jangan meneriaki Papa, Nina!” Donny sudah berdiri, urat lehernya mencuat saat ia berteriak. Ryan yang melihat pertengkaran itu hanya bisa terdiam, terlalu terkejut. Nina tertawa sinis. Setetes air mata jatuh membasahi pipinya. Namun segera ia hapus dengan kasar. “Saking kerasnya usaha kak Kevin, dia sampai nggak sadar kalau tubuhnya sudah digerogoti kanker, Pa! Dan sekarang, impian terbesar kak Kevin buat punya klinik sendiri mau Papa berikan ke orang baru ini?!” Telunjuk Nina mengarah tepat ke wajah Ryan. “Nina tahu Papa memang nggak pernah memikirkan perasaan anak-anak Papa, tapi ini sudah sangat keterlaluan, Pa! Papa benar-benar ja–” Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Nina. Gadis itu tersungkur sembari memegangi pipinya. Ryan berdiri seketika, terkejut. Sementara Donny sudah mengepalkan tangan dengan wajah merah padam. “Inilah alasan Papa ingin menikahkanmu secepat mungkin. Supaya ada orang yang mendidikmu sopan santun, Nina!” Nina menatap papanya nyalang. “Kenapa? Karena Papa nggak becus mendidik Nina?” Donny mendelik marah, tangannya kembali terangkat. Ryan segera pasang badan, melindungi tubuh Nina dengan tubuhnya. “Pa, tenang dulu, Pa,” ucapnya mencoba menengahi. Nina mendengus. “Nggak usah sok jadi pahlawan, lo ‘kan pengecut,” desisnya dari belakang tubuh Ryan. Lantas, gadis itu berlalu dari teras dengan pipi memar. Nina berjalan meninggalkan teras tanpa memedulikan seruan papanya yang terus memanggil namanya. Gadis itu pun semakin membenci kehadiran Ryan di hidupnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN