Bab 6. Sekarang, Nina Istriku

1348 Kata
“Ini kamarku dan itu kamar Riry. Kamu bisa pakai kamar atas. Aku dan Riry nggak pernah ke lantai atas, jadi kamu bisa menganggap lantai atas sebagai wilayah kekuasaanmu. Bebas.” Ryan menjelaskan sedikit tentang apartemennya. “Aku punya asisten rumah tangga dan pengasuh Riry. Mereka biasanya bekerja dari jam 6 pagi sampai jam 6 sore.” “Kenapa kamu nggak tinggal bareng orang tuamu?” tanya Nina penasaran. Ryan melirik istrinya sekilas. “Di sini lebih dekat ke tempat kerjaku.” Tiba-tiba, seorang wanita paruh baya mendatangi mereka. Wajahnya tersenyum hangat. “Mas Ryan sudah datang? Maaf tadi saya nyuci baju dulu,” ucapnya ramah. Nina melirik suaminya, ingin bertanya siapa. Namun Ryan sudah menjelaskan lebih dulu. “Nina, kenalkan ini Bu Yati. Dia asisten rumah tangga di sini. Hari ini aku suruh dia masuk kerja supaya bisa membantumu merapikan barang-barang.” Wanita paruh baya yang dipanggil bu Yati itu tersenyum pada Nina. “Bu, ini istri saya, Nina.” Nina bergidik seketika. Ia masih tak terbiasa mendengar sebutan ‘istri saya’ keluar dari bibir Ryan. “Aduh, cantiknya!” seru bu Yati dengan senyum lebar. “Kayaknya masih muda, ya? Umur berapa, Mbak Nina? Eh, maaf saya panggil ‘mbak’. Soalnya biasa panggil mas Ryan pake ‘mas’.” Bu Yati mengulurkan tangan, hendak menyalami Nina. Sementara Nina hanya menatap tangan yang menggantung di udara itu. Ia terlihat ragu. Ryan berbisik pelan. “Pegang saja. Bahkan HIV nggak menular lewat sentuhan tangan.” Nina mendelik kesal, lantas segera menyambut uluran tangan bu Yati. “Saya umur 21 tahun, Bu. Tinggal tunggu wisuda aja ini.” Bu Yati terbelalak. “Masih muda banget! Wah, mas Ryan dapet durian runtuh nih. Dapet gadis perawan,” selorohnya enteng. Ryan berdehem pelan. “Bu, tolong antar istri saya ke kamar atas, ya? Bantu dia beresin barang-barangnya juga.” “Loh, jadi kamar atas diminta bersihkan itu untuk Mbak Nina?” Bu Yati menatap Ryan dan Nina bergantian. Ryan mengangguk sebagai jawaban. “Kalian nggak tidur bareng di satu kamar?” Nina mendelik, wajahnya memerah seketika. “Enggak, Bu. Dia kan masih gadis, masih perawan, nggak bakal berani tidur sekasur sama saya yang sudah duda anak satu ini.” Kini Nina tak hanya melotot tajam, ia menginjak kaki suaminya cukup keras. Hingga membuat Ryan mengaduh kecil. Bu Yati tertawa. “Yo wis, Mas Ryan sing sabar. Namanya istri masih kecil begini emang kudu diajari pelan-pelan. Ayo naik, Nduk. Kamarnya sudah Ibu bersihkan.” Nina menurut, ia mengekor bu Yati usai melempar tatapan tajam pada Ryan yang hanya mengedikkan bahu tak peduli. Ryan pun masuk kamar, mulai membongkar barang-barangnya dan mengembalikannya ke tempat seharusnya. Tatapannya berhenti pada sebuah foto dalam figura yang ia pajang di atas nakas. Ryan menghela nafas, mengambil figura itu. Di sana, ada foto pernikahan pertama dirinya dan mendiang istrinya. “Haruskah aku simpan?” gumamnya, bertanya pada diri sendiri. “Nggak usah deh. Nina kan nggak akan masuk ke sini,” putusnya kemudian. Ponsel Ryan berdering panjang ketika hendak keluar dari kamar. Itu telepon dari Surya, papanya. “Halo, ada apa, Pa?” sapanya begitu ia menempelkan ponsel di telinga. “Kamu bisa pulang ke rumah sebentar, Nak?” “Bisa, tapi mungkin sepulang kerja, ya? Ryan kan nggak ambil cuti panjang.” Ryan hanya mengambil libur di hari Senin yaitu kemarin. Jadi hari ini ia sudah harus masuk kerja seperti biasa. Ia sama sekali tak menyangka justru dirinyalah yang akan menikah di hari Sabtu tempo hari. “Oh iya. Ya sudah, nanti makan malam di rumah, ya? Ajak Nina sekalian.” “Iya, Pa. Ryan bilang Nina dulu.” “Ryan.” Suara Surya terdengar begitu ambigu. Antara gelisah dan menahan marah. Ryan mengernyit. “Kenapa, Pa?” “Evan sudah di rumah.” Langkah Ryan yang hendak menaiki tangga terhenti seketika. Tangan kirinya yang bebas terkepal. Perasaan khawatir kembali menyusupi dadanya. Namun ia tetap berusaha tetap tenang dan melanjutkan langkahnya. “Jadi… kenapa dia kembali, Pa?” Suara helaan nafas berat terdengar di ujung telepon. “Dia bilang dia terpaksa harus terbang ke New York karena teman dekatnya mendadak meninggal. Tapi Papa tidak percaya. Dan sekarang dia bilang dia ingin mempertanggungjawabkan perbuatannya.” “Dengan apa?” sergah Ryan cepat. Ia sudah tiba di depan pintu kamar Nina. Terdengar suara Nina sedang mengobrol dengan bu Yati. “Dia mau menikahi Nina seperti yang Papa minta. Tapi bukannya sudah terlambat? Sekarang Nina sudah menjadi istrimu.” Ryan memejamkan mata, menarik nafas dalam. “Iya. Sekarang Nina istri Ryan, dia menjadi tanggung jawab Ryan, Pa. Dan Ryan nggak akan menceraikannya.” Tak ada jawaban di ujung telepon. Maka Ryan berpamitan lebih dulu dan segera menutup sambungan telepon. Ia mengetuk pintu kamar Nina yang segera dibukakan oleh bu Yati. “Oh, Mas Ryan. Ada apa?” Ryan tak menanggapi pertanyaan bu Yati. Ia hanya menatap Nina lekat. Gadis bermata bulat itu balas menatapnya, bingung. Meski pernikahan ini sama sekali tidak berlandaskan cinta, ia takkan menceraikan Nina. Ia takkan menyerahkan istrinya pada Evan, adiknya. Sudah cukup selama ini ia selalu mengalah untuk sang adik. Kali ini, ia akan mempertahankan apa yang telah menjadi miliknya. “Ada apa, Mas?” tanya Nina bingung. “Aku berangkat kerja dulu. Nanti sore kita ke rumah papaku, makan malam di sana,” ujarnya datar, nyaris tanpa ekspresi. *** Evan dikurung di dalam kamarnya yang terletak di lantai dua rumah Surya. Semua fasilitasnya dirampas. Ponsel, laptop, tablet, kartu debit, kartu kredit, semuanya. Namun ternyata Sherly sudah memprediksi hal ini sebelumnya. Maka wanita itu menitipkan sebuah ponsel butut pada Evan jika ponsel dan laptopnya disita. Evan duduk di tepi ranjang, menyalakan ponsel butut itu. Ia menggigit jarinya, gelisah. Beberapa detik berlalu, ponsel itu akhirnya menyala. Evan buru-buru memeriksa isinya. Dan ternyata ponsel itu hanya berisi satu nomor telepon, yaitu milik Sherly sendiri. Ia segera menelpon nomor itu. “Halo, Sayang?” sapanya begitu telepon tersambung. “Ada apa, Evan?” Suara serah Sherly menyambut. “Di sini masih dini hari.” “Ah, iya aku lupa. Maaf.” Evan menepuk jidatnya pelan. Ribuan kilometer di belahan dunia lain, Sherly duduk bersandar ke headboard kasur. “Kalau kamu menelponku menggunakan nomor ini, berarti hp-mu disita. Benar?” “Iya. Bukan cuma hp, semuanya disita. Laptop, tablet, komputer di kamarku pun dikeluarkan.” Evan menghela nafas gelisah. “Untung saja ada hp ini. Jadi aku masih bisa menghubungimu.” Sherly menyeringai. “Aku bilang juga apa, kamu sedang mengencani wanita hebat, Evan. Aku ini cerdas.” Evan tertawa. Ia selalu suka kepercayaan diri kekasihnya itu. “Iya iya, aku beruntung bisa berpacaran denganmu.” “Jadi bagaimana? Kamu punya informasi yang menarik?” Tawa Evan langsung lenyap. Wajahnya kembali berubah gelisah. “Maafkan aku, Sayang. Ternyata Nina sudah menikah dengan kakakku.” “Apa?” pekik Sherly terkejut. Namun detik berikutnya, wanita itu terbahak. “Luar biasa! Terkadang aku nggak bisa mengerti jalan pikiran orang-orang kaya. Seenaknya menikahkan anak mereka asal keluarga mereka bisa menjalin hubungan kerabat dengan keluarga kaya lainnya.” “Jadi aku harus gimana, Sayang? Sejak tadi aku nggak bisa keluar kamar, aku juga belum ketemu Nina dan kakakku.” “Kalau begitu, bujuk kakakmu. Goda Kanina supaya dia mau sama kamu. Lakukan segala cara supaya mereka berdua mau bercerai.” Evan menelan ludah. “Harus sejauh itu?” “Harus, Evan! Imbalannya sangat besar. Kita nggak tahu apa isi brankas Donny Adrian. Bisa saja jumlah hartanya bikin kita kaya tujuh turunan.” Sebagai si bungsu yang selalu berada di balik bayang-bayang kakaknya, Evan memang mudah sekali terpengaruh. “Baiklah, aku akan mencobanya.” “Tapi….” Tiba-tiba Sherly bicara lagi. “Tapi apa?” “Kalau mereka tetap tidak mau bercerai atau Kanina tidak mau menikah denganmu, aku sudah punya rencana cadangan. Ini rencana pamungkas, aku yakin rencana cadangan ini tidak akan gagal.” “Kalau gitu, kenapa kita nggak langsung pakai rencana cadangan itu?” “Nggak bisa, Evan! Resikonya terlalu besar.” Evan mengernyit. “Memangnya… apa rencana cadangan itu?” Sherly tak menjawab. “Kamu pastikan dulu rencana awal kita sudah kamu usahakan dengan baik,” pungkasnya lantas menutup sambungan telepon.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN