bc

Touch Your Heart

book_age18+
791
FOLLOW
6.1K
READ
love-triangle
sex
fated
friends to lovers
confident
comedy
sweet
bxg
coming of age
passionate
like
intro-logo
Blurb

Spin of Married A Playboy

Bianca pernah mencintai Nathan. Namun, lelaki itu justru bertunangan dengan wanita lain. Di saat harapannya pupus, ia memilih pergi jauh meninggalkan semua kenangannya bersama lelaki itu. Meski Nathan menahannya untuk tetap tinggal, tapi keputusan Bianca tetap bulat. Ia pergi meninggalkan Nathan, menghapus semua jejak agar tak dapat ditemukan.

Namun, siapa sangka tiga bulan kemudian Nathan tiba-tiba muncul di hadapannya. Lelaki itu berniat memperbaiki semuanya seperti awal mereka bertemu. Tapi bagaimana jika di pertemuan pertama bukannya memperbaiki keadaan malah memperburuk keadaan dengan kesalahan fatal? Mampukah Nathan memperbaiki semua, atau justru membuat usahanya berakhir sia-sia? Dapatkah Nathan merebut hati Bianca lagi, di saat ada laki-laki lain yang juga menginginkannya?

"Apakah mencintaimu itu sebuah kesalahan?"

chap-preview
Free preview
Prolog
Hawa dingin serasa menusuk lapisan kulit terdalam, membuat tubuh kian meringkuk memeluk diri sendiri. Dalam kesepian, kesunyian, dan kesendirian Bianca tenggelam semakin dalam. Hingga sebuah usapan lembut mengembalikan kesadarannya dalam sekejap mata. "Bi." Panggilan itu, panggilan yang Bianca rindukan tapi juga ingin ia lupakan sebisa mungkin. "Bi." Sekali lagi suara itu bergema dalam gendang telinga, menarik paksa Bianca mencari ke sumber suara yang berasal dari balik punggungnya. "Nathan." Bianca terperangah saat melihat sosok lelaki berwajah tampan, rahang tegas, hidung mancung dan alis sedikit tebal itu tersenyum manis padanya. Rambut bewarna hitam kecoklatan itu tertiup angin, sedikit lebih panjang dari terakhir ia melihatnya. "Nathan?" Bianca bergumam, memastikan bahwa yang dilihatnya memanglah Nathan. Lelaki yang seharusnya ia hindari untuk saat ini. Namun, Bianca tak dapat mengelak perasaan rindu yang menggebu-gebu dalam benaknya. Lama tak melihat wajah lelaki itu sudah cukup menyiksanya selama tiga bulan terakhir dan kali ini wajah yang selalu ia mimpikan hadir di hadapannya. Tapi, apakah wajah itu sungguh nyata atau hanya ilusi dari khayalan semata? "Bi." Suara itu terdengar nyata dalam pendengaran Bianca, membuat ia begitu yakin bahwa ini bukan mimpi. Terlebih ketika uluran tangan kokoh itu hinggap di pipinya, membelai lembut penuh perasaan. "Aku merindukanmu, Bi." Aku juga Nathan. Bianca ingin sekali mengatakannya, tapi entah kenapa bibirnya terasa begitu kelu. Seakan serangkaian kalimat yang ia susun berhenti di tenggorokan dan hanya angin yang keluar lewat mulutnya yang terbuka. Bianca menatap lekat wajah Nathan yang tengah memandang sendu dirinya. Memastikan sekali lagi wajah itu benar-benar nyata, mengamati dengan seksama setiap lekukan hidung dan rahang tegas yang selalu ia dambakan. Bentuk sempurna yang seakan sulit untuk ia gapai. "Bi, jangan pergi lagi." Nathan menangkup kedua pipi Bianca, tatapannya kian dalam dan Bianca hanya terdiam larut dalam untaian kata yang Nathan ucapkan. "Jangan pernah pergi, karena aku sangat mencintaimu." Belaian lembut tangan Nathan, menarik perlahan wajah Bianca. Jarak yang semakin dekat dan terkikis, menciptakan sensasi panas disertai getaran hebat dalam dada Bianca. Namun, seakan tubuhnya mengizinkan Nathan menyapu lembut bibirnya, bukannya mengelak Bianca malah memejamkan mata. Kewarasan tak lagi didengar, Bianca telah terbuai dalam gejolak cinta terlarang. Cinta yang tak seharusnya ia terima karena sadar jika Nathan tercipta bukan untuknya. "NATHAN!" Suara nyaring disertai suara bedebum keras dari pintu yang sengaja didobrak paksa dari luar, berhasil mengejutkan Nathan dan Bianca. Keduanya spontan melepas pagutan bibir dan menarik tubuh masing-masing. Mata Bianca melotot saat ia mengalihkan pandangan ke sumber suara yang menginterupsi. "Sera!" Bianca terpekik, syok melihat sosok wanita yang sangat ia benci berdiri di ambang pintu kamarnya. "APA YANG KALIAN LAKUKAN?" Sera melangkah masuk dan tanpa ba-bi-bu melayangkan tamparan keras pada Bianca. "DASAR PELAKOR!!!" Bianca tak berdaya, hanya diam merasakan perih pada pipinya yang ditampar oleh Sera. Namun, rasa sakit itu tak sebanding dengan rasa sakit hatinya karena merasa bodoh telah terbuai oleh ucapan Nathan. Seandainya saja tadi ia lebih mendengarkan logikanya dari pada kata hatinya, mungkin hal memalukan ini tak akan terjadi. Pedih. Itu yang Bianca rasakan saat melihat Nathan dibawa pergi oleh Sera. Tatapan rapuh lelaki itu terasa seperti menusuk-nusuk relung hatinya, mengiris-iris perasaannya sampai tak bersisa. "Nathan, jangan pergi." Bianca bergumam, tapi semua itu tak bisa membuat lelaki itu kembali. Nathan memang tercipta bukan untuknya, lelaki itu terlalu sulit untuk ia gapai dan seharusnya Bianca melupakannya. Tapi hati kecilnya terus merongrong, menjerit penuh kesakitan, menyerukan nama lelaki itu berulang kali. "NATHAN, JANGAN PERGI. AKU MENCINTAIMU!" "NATHAN---" Bianca terbangun dari tidurnya. Deru napasnya memburu, matanya terbuka lebar dan keringat bercucuran dari dahi. Sepersekian detik ia hanya terdiam kaku, menatap kosong langit-langit kamar yang gelap. Ruangan kamar yang temaram hanya mengandalkan cahaya dari lampu tidur berukuran lima watt. Bianca mengembuskan napas panjang, menormalkan napasnya dan menyeka keningnya yang basah akan keringat dingin. Lagi, untuk kesekian kali ia memimpikan sosok itu. Sosok yang begitu sulit untuk dilupakan dari ingatannya. Sosok yang selalu menghantui dirinya setiap detik, hadir mengisi pikirannya dan seperti benalu yang enggan disingkirkan dari dalam kepalanya. Nathan Erlangga Putra Wijaya. Lelaki tampan yang sempat menemani hari-hari Bianca. Lelaki berpostur tubuh tinggi tegap, nyaris sempurna, begitu menawan dengan senyuman manis yang sangat mempesona. Tak hanya fisik yang mengagumkan, tapi juga kepribadian dan sikap baik hatinya berhasil memikat Bianca, jatuh kian dalam pada kharisma lelaki itu. Sayangnya, semesta seakan tak merestui Bianca bersatu dengan Nathan yang terlalu sempurna untuk dirinya yang terlalu buruk. Bahkan mungkin sampah lebih berarti dari dirinya yang tak bisa didaur ulang lagi. Hamil di luar nikah, melakukan hubungan dengan setiap pria tanpa ikatan yang jelas. Dunianya yang kotor menandakan wanita seperti apa Bianca, ditambah janin yang tak diakui oleh bapaknya. Namun, di saat semua orang mencemooh dan meninggalkan, Nathan justru jadi satu-satunya orang yang bertahan di sisi Bianca, menjadi pelipur lara dan juga tiang untuknya berpegang dari keputusasaan yang nyaris mendorongnya ke jalan sesat. Jika bukan karena Nathan, mungkin sekarang Bianca tidak ada di dunia ini. Itu kenapa Bianca dengan mudah jatuh cinta pada sosok lelaki itu, meski hatinya baru saja dipatahkan oleh lelaki lain yang memilih menikah dengan wanita lain dan enggan mengakui anaknya. Bahkan sampai anak dalam kandungannya gugur dan kembali ke pangkuan sang pencipta. Begitu juga dengan Nathan yang pada akhirnya ditakdirkan bersama dengan wanita lain, wanita yang sangat ia benci karena pernah menjadi rivalnya. Namun, seperti semesta lebih berpihak pada wanita itu, untuk sekali lagi ia kalah darinya. Hal tersebut pula yang membuat Bianca berakhir terdampar di tempat ini. Bianca menghela napas panjang, menikmati udara malam yang begitu dingin menusuk kulit. Ia mendekap erat tubuh kurusnya, meski sweater tebal melekat pada tubuhnya tetapi angin laut berhasil menembus. Dengan kaki telanjang, Bianca berjalan menyusuri pantai yang sepi dan sunyi. Kebiasaan sejak pertama kali ia berada di tempat ini, selalu terbangun tengah malam dan memilih pergi ke pantai untuk menenangkan diri. Bianca menghela napas panjang, memandang jauh ke tengah laut. Ia duduk di tepian pantai, membiarkan kakinya tersapu ombak. Sebotol minuman kaleng menemani, menjadi obat agar ia bisa melupakan semua hal yang terjadi dalam hidupnya. Terutama segala hal yang berkaitan dengan Nathan. Tiga kaleng minuman telah Bianca habiskan, tapi nyatanya tak membuat pikirannya jernih. Bianca justru makin larut dalam pikiran yang terus mengusiknya sedari tadi. "Sialan!" Bianca mengumpat, tersenyum miris ketika ia tak bisa menyingkirkan bayangan Nathan dari pikirannya. "Sampai kapan kau akan terus di sana?" Bahkan sekarang ia merasa jika sosok itu tengah duduk di sebelahnya. Tapi Bianca begitu yakin kalau sosok itu hanyalah sebuah ilusi, efek dari minuman kaleng yang ia tenggak habis isinya. "Hai." Kali ini sosok itu mengeluarkan suaranya, menyapa Bianca. Bianca kembali tersenyum miris, lalu mengembuskan napas panjang yang terasa begitu berat. Matanya menerawang ke depan, seakan tak menghiraukan sosok di sebelahnya. "Haruskah kau terus mengikuti aku? Harus ke mana lagi aku agar kau tak mengikuti aku? Aku lelah menghindarimu, bisakah kau berhenti mengikuti aku?" "Jangan ke mana-mana kalau begitu," sahut sosok di sebelah Bianca. Bianca spontan menoleh, memperhatikan sosok itu yang begitu mirip dengan Nathan. Sama sekali tak berbeda, atau bahkan memang benar sosok itu adalah Nathan. Ya, Nathan dalam bayangan Bianca. Bianca tersenyum sinis pada Nathan. "Lalu kau mau apa jika aku tidak ke mana-mana? Kau mau aku menjadi penonton untuk kisah asmaramu?" "Tidak." Nathan menjawab. "Aku ingin kau menjadi pemerannya, pemeran utamanya." Bianca sontak tertawa mendengar jawaban Nathan, seolah ucapan lelaki itu begitu lucu. "Apa aku tidak salah dengar? Lalu bagaimana dengan wanita itu? Apa maksudmu aku harus menjadi pelakor dulu lalu merebut posisinya begitu?" "Tidak, karena sejak awal peran itu memang untukmu, bukan yang lain." Bianca seketika terdiam saat mendengar penuturan Nathan. Meyakini kalau itu hanya khayalan semu belaka, Bianca buru-buru memalingkan wajahnya. Namun, sebuah gerakan tangan menarik kepalanya kembali menatap wajah itu. Tunggu, ada apa ini? Bianca terdiam kaku, tubuhnya seperti tak bisa merespon. Pikirannya juga tiba-tiba blang. Apakah ini efek dari minuman laknat yang ia minum? Napas Bianca tertahan saat melihat wajah Nathan bergerak maju mendekat. Jantungnya juga berpacu dengan cepat, tak terkendali lagi. Terlebih ketika bibirnya disapu lembut, rasanya Bianca seperti dibawa melayang ke angan. Ia tak bisa mengelak, atau memang sengaja membiarkan bayangan itu menciumnya dengan penuh perasaan. Ini cuma khayalan 'kan? Bianca bertanya pada diri sendiri, seolah meyakinkan dirinya kalau ini tidak nyata. Seperti mimpi yang ia alami beberapa saat yang lalu. "Aku mencintaimu, Bi. Kumohon jangan pergi lagi, jangan pernah tinggalkan aku lagi. Karena aku tak bisa hidup tanpamu." Bisikan di sela-sela ciuman itu bagaikan mantra yang membuat Bianca kian larut dalam sapuan lembut bibir yang selalu ia rindukan selama ini. Sekali ini saja, jangan hentikan khayalan ini. Aku ingin menikmatinya, walau tahu ini hanyalah sebuah kesemuan belaka. 

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
92.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.3K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook