bc

He's My Last Chance (Nadira's Story)

book_age18+
3.7K
FOLLOW
71.7K
READ
dark
drama
twisted
like
intro-logo
Blurb

WARNING MATURE CONTENT!! Nadira story spin off CAMELIA

Wedding Dress the last hope...

"Ajari aku cara merelakan tanpa membenci, nanti aku ajarkan berjuang tanpa di hargai"

chap-preview
Free preview
Episode 1
Langit masih tampak suram, sang matahari masih enggan untuk menampakan dirinya. Sama seperti seorang perempuan yang masih menyelimuti tubuhnya dengan selimut tebal hingga kepalanya, menutupi tubuhnya yang semakin mengecil akibat penyakit yang ia derita selama ini. Nadira tidak tertidur, karena ia mendengar dengan jelas bunyi alarm, berdering dengan sangat kencang dari ponselnya yang terletak tidak jauh dari tempat tidurnya. Rasa malas yang menggelayutinya, membuta ia enggan hanya untuk sekedar meraih ponsel dan mematikan suara dering yang memekakan telinga itu. Ia membiarkan suara nyaring itu terus berdering hingga, seseorang datang dan mematikan alarm. Sebelah tempat tidurnya bergoyang, pertanda orang itu duduk persis di sebelahnya. Tidak perlu mencari tahu siapa yang datang, karena begitu selimutnya ditarik, seorang perempuan setengah baya, tersenyum lembut menyapanya, "Kenapa belum bangun, sayang? Sudah jam delapan, waktunya kita ke dokter." Ucapnya lembut, penuh kasih sayang bahkan sapuan lembut tangannya menghangatkan wajahnya. "Sebentar lagi, Bu." Ia masih berusaha mengukur waktu, meskipun tidak ada yang berubah, sekalipun ia mengulurkan sampai hari esok. "Kita sudah ada janji, dengan Dokter Revan dan juga Dokter Airin. Mereka pasti sudah menunggumu." Kedua nama yang disebut Ibunya, adalah dua orang yang sering ia temui akhir-akhir ini. Bahkan ia sampai hafal semua staf yang bekerja di Rumah sakit tersebut karena terlalu sering menghabiskan waktu di Rumah sakit, daripada di rumahnya sendiri. "Aku benci bau Rumah sakit, Bu." Keluhnya, sambil menyembunyikan wajah di bantal. "Jangan menganggap Rumah sakit itu menyeramkan, anggap itu adalah tempat dimana kamu bisa bertemu banyak teman. Bukankah kemarin kamu sudah mengikuti acara minggu kemarin." Nadira menghela lemah, ia memang mengikuti acara yang diselenggarakan pihak Rumah sakit, yaitu acara pertemuan sesama pasien pengidap kanker yang diberi nama Jalinan kasih. Nadira tidak menyukai acara seperti itu, acara yang semakin membuatnya merasa lebih menyedihkan karena setiap minggunya ia harus mendengarkan wejangan-wejangan yang membuatnya mati rasa. "Aku tidak suka acara itu." "Kenapa sayang?" Kening Dini, menyerngit ketika putrinya mengutarakan ketidak sukaannya. Karena selama ini dia mengira Nadira menyukai acara tersebut. "Ibu tau, mereka selalu membahas soal semangat dan terus semangat. Setiap hari aku selalu semangat, tanpa mereka suruh pun aku selalu semangat, mengkonsumsi berbagai obat yang mematikan rasa di lidah. Tapi apa, nyatanya aku tidak pernah sembuh!" Dini menatap putri semata wayangnya dengan perasaan haru dan sedih. Sebenarnya ia memiliki dua putri, namun Nadia, kakak Nadira sudah terlebih dahulu meninggalkan mereka, dan kini ia hanya tinggal memiliki satu putri yang sedang berjuang melawan penyakit ganas yang sewaktu-waktu bisa saja merenggut nyawanya. Dini selalu mengupayakan yang terbaik untuk putrinya, bahkan ia mengorbankan segalanya, asalkan Nadira bisa sembuh. "Jika tidak ada lagi yang membuatmu semangat, bisakah kamu menjadikan ibu sebagai salah satu alasan untuk lebih semangat? Ibu tau kamu pasti sudah bosan dengan semua ini, tapi setidaknya lihatlah ibu, apa kamu akan seperti kakakmu yang meninggalkan ibu terlebih dahulu?" Nadira sangat lemah ketika melihat Ibunya menangis. Menghela nafas lemah, lalu ia membuka selimut yang masih menutupi sebagian tubuhnya, dan duduk persis di sebelah sanga ibu. "Baiklah, ayo kita berangkat. Tapi jangan menangis lagi, wajah Ibu sudah banyak sekali kerutannya." Ledeknya, sambil tersenyum agar Ibunya berhenti menangis. "Satu jam lagi aku siap," lanjutnya sambil menyingkap selimut dan beranjak dari tempat tidur, menuju kamar mandi. Di dalam kamar mandi, ia membuka satu persatu pakaian yang membungkus tubuhnya. Masih menghadap cermin, ia melihat bagaimana tubuhnya menyusut setiap hari, membuat ia menghala nafas lemah. Jika ia bisa memilih, ia lebih suka seperti Nadia kakaknya, tanpa merepotkan banyak orang dan pergi begitu saja. Ingin rasanya ia mengeluh dan menyalahkan dirinya, kenapa semua ini terjadi di hidupnya. Setiap menjalani pengobatan, ia tidak pernah pergi seorang diri. Dini, selalu menemaninya, bahkan Ibunya itu tidak pernah pergi kemanapun, dan hanya fokus merawat Nadira. Membuat Nadira merasa seperti anak kecil, tapi jika Nadira menolak maka kejadian tadi pagi pasti akan terulang kembali dan Nadira tidak menyukainya. Bau khas Rumah Sakit langsung memenuhi indra penciumannya, begitu ia memasuki ruang kerja Dokter Revan, bukan hanya ketika ia masuk ruang kerja Dokter Revan, namun bau itu sudah tercium sejak ia masih dirumah. Hampir lima belas menit Nadira dan Ibunya menunggu di ruang kerja dokter Revan, setelah salah satu suster mempersilahkan mereka masuk, bukan salah Dokter Revan karena ia datang terlambat, tetapi karena dirinyalah yang memang datang lebih lambat dari jadwal yang diberikan Dokter Revan. "Sudah menunggu lama?" Pintu terbuka, Dokter Revan datang. Namun ia tidak datang sendiri, melainkan bersama seorang dokter lain yang mengekorinya dari belakang. Nadira sempat bertemu dengan Dokter itu, yang bernama Denis namun pertemuan pertama mereka kurang menyenangkan membuat Nadira langsung membuang muka, ketika iris matanya bertemu dengan mata hitam Dokter Denis. "Maaf kalau sudah menunggu lama, saya harus memeriksa pasien terlebih dulu." Dokter Revan duduk persis di depan Nadira dan juga Dini. "Kami yang seharusnya minta maaf, karena datang terlambat dari jadwal." "Kondisi jalanan Jakarta tidak bisa diprediksi, Dok." Nadira menyalahkan kondisi jalanan, padahal ketika ia berangkat Jalanan justru lengang. "Saya mengerti, kalau begitu kita segera keruangan Dokter Airin untuk pemeriksaan lebih lanjut." Ajak Dokter Revan, sambil berdiri di ikuti Nadira dan juga Ibunya. "Lo mau duduk-duduk disini aja?" Tanya Dokter Revan pada lelaki yang hanya duduk santai di sofa empuk, di ruang kerja Dokter Revan. "Mmm, gue capek. Mau tidur bentaran," jawabnya sambil menutup mata, tidak menatap lawan bicaranya membuat Nadira semakin mengurangi nilai plus untuk Dokter muda itu. Menurutnya Denis terlalu santai berbicara kepada Revan yang usianya pasti jauh lebih muda dari Dokter Revan. Mereka bertiga keluar dari ruangan Dokter Revan, meninggalkan Denis sendirian. Hanya selang beberapa meter dari ruang kerja Dokter Revan, mereka sampai ke ruangan Dokter Airin. Dokter cantik yang selalu berpenampilan modis itu tersenyum ramah menyambut kehadiran mereka bertiga. "Silahkan masuk," ucapnya ramah, mempersilahkan. "Bagaimana kabarnya Nadira?" Tanya Dokter Airin. "Bik, Dok." Dokter Airin mengangguk sambil tersenyum. "Untuk pengobatan selanjutnya, kita tunggu hasil tes nya dulu ya baru setelah itu kita ambil tindakan selanjutnya, agar sel kanker tidak semakin menyebar." Jelas Dokter Airin, matanya masih lekat menatap layar komputer memeriksa data kesehatan Nadira yang sudah diambil alihnya untuk beberapa bulan terakhir ini. Awalnya Nadira menjadi pasien dari Dokter Revan, hanya saja akhir-akhir ini dokter Revan sibuk dengan keluarga barunya, dan harus bolak balik Jakarta-Surabaya, jadilah Dokter Revan meminta Dokter Airin sebagai penggantinya, namun meskipun begitu Dokter Revan masih tetap memantau perkembangan Nadira. "Hari ini ada acara Jalinan kasih di lantai sepuluh, kamu nggak ikut?" Tanya Dokter Airin, Nadira hanya tersenyum tipis sambil menggeleng. "Bagus untuk salah satu therapy pengobatan, kenapa gak ikut gabung?" Revan ikut bertanya. Nadira melirik mata Dini, terlihat dari sorot matanya Dini sangat ingin Nadira kembali bergabung dengan acara itu, namun ia tidak berani mengungkapkannya hanya sekedar lewat tatapan saja ia bicara. "Baiklah, aku ikut. Tapi Ibu pulang, gak perlu nunggu acaranya pasti lama." Senyum merekah terukir di bibir Dini, dan tanpa ragu ia segera mengangguk. Pemeriksaan rutin yang hanya sekedar memantau kondisi kesehatannya saja, tanpa ada satu obat pun yang bisa menghilangkan sel kanker yang ada di dalam tubuhnya, membuat Nadira merasa sia-sia dengan usaha yang ia lakukan selama ini, namun ia merasa banyak berhutang budi kepada Ibunya, sedikit membuatnya senang tidaklah menyulitkan dirinya contohnya hanya dengan mengikuti acara seperti ini pun Ibunya sudah sangat bahagia. Biarlah dia membahagiakan Ibunya, di sisa usianya yang entah sampai kapan.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Broken

read
6.2K
bc

Satu Jam Saja

read
593.1K
bc

Because Alana ( 21+)

read
360.0K
bc

Dear Doctor, I LOVE YOU!

read
1.1M
bc

Everything

read
277.3K
bc

Long Road

read
118.3K
bc

BRAVE HEART (Indonesia)

read
90.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook