bc

Because of You

book_age18+
1.0K
FOLLOW
3.4K
READ
drama
comedy
sweet
humorous
first love
secrets
like
intro-logo
Blurb

Nazra Sabira Hilya tidak pernah menyangka janji temu dengan temannya Dhanti, berujung pada kesepakatan dengan Liam Maulana. Pria tampan keturunan China Islam yang merupakan CEO di kantornya.

Pertemuan singkat yang berujung pada status ‘Pacar pura-pura’ untuk membuat Sisca, gebetan Liam cemburu. Nazra yang sebenarnya diam-diam menyukai pria itu, dibuat kelimpungan dengan totalitas Liam sebagai pacar baru Nazra. Kebaikan dan perhatian Liam justru membuat Nazra baper tingkat tinggi dan berharap hubungan mereka menjadi nyata.

Saat dia akan mengungkapkan cintanya, Sisca justru mengungkapkan perasaannya terlebih dahulu kepada Liam.

Apakah Liam tetap akan memilih Sisca? Ataukah justru akan berpaling kepada Nazra?

chap-preview
Free preview
Perintah Papi
“Pokoknya kamu harus menikah! Tahun ini kamu harus melepas status lajangmu. Titik. Papi tidak menerima alasan apa pun lagi.” titah Ahmad kepada anak semata wayangnya. Dia sudah terlampau bosan menerima segala alasan yang diberi anaknya itu. “Please, Pi, kasih waktu lagi. Sekarang aku juga lagi usaha untuk cari menantu buat Papi.” Liam memberi alasan untuk kesekian kalinya. “Kalau tidak punya calon, menikah saja dengan tunangan masa kecilmu, anak Om Rayhan. Beres, 'kan? Kamu senang, Papi tenang," desak Ahmad. Tekadnya sudah bulat untuk tidak akan mengalah pada putranya kali ini. “Aku sudah punya wanita yang kucintai, Pi. Hanya butuh waktu untuk meyakinkan dia menerima lamaranku. Jadi, berhentilah berbicara tentang perjodohan dan tunangan kecil.” “Tetapi, kalian sudah Papi jodohkan bahkan sebelum anak Om Rayhan lahir. Bukankah dulu kamu juga sangat menyukainya?” “Itu dulu, Pi. Saat umurku baru tujuh tahun. Jangan ungkit hal itu sekarang. Aku bahkan tidak tahu bagaimana wajah dan sifatnya sekarang.” Liam tidak ingin kalah. “Kalian bisa bertemu dan saling mengenal lebih dulu. Dia anak yang cantik dan baik. Papi sangat yakin itu.” “Sekali tidak, tetap tidak, Pi!” “Kamu yakin dengan pilihanmu? Tidak ingin melihat pilihan Papi?” Ahmad mendorong selembar foto ke hadapan Liam. “Tidak.” Tolak Liam tegas seraya membalik foto itu. “Lagi pula, aku telah menyukai Sisca sejak kuliah. Aku sudah mengajaknya menikah dan hanya perlu melaksanakan syarat yang dia berikan kepadaku. Lalu aku akan mendapatkan istri dan Papi akan mendapatkan seorang menantu.” Liam tersenyum penuh kemenangan. Sepertinya perdebatan pagi hari yang menyertai sarapan kali ini dimenangkan olehnya. Setidaknya dia tidak akan mendengarkan ocehan papinya dalam waktu dekat ini. *** “Kapan kamu akan membawa calon menantu untuk mama.” Risa membuka percakapan pagi itu. “Jika kamu tidak memiliki calon, menikahlah dengan pilihan Papa.” Ryan menimpali ucapan istrinya. Namun, anaknya masih saja tidak menjawab dan malah asik memakan nasi goreng di hadapannya. “Iya, Ra. Kamu ingat, 'kan, anak Om Ahmad sahabat Papa. Itu, loh, tunanganmu waktu kecil, yang kamu panggil koko tampan.” Risa menaik-turunkan alisnya. Besar harapannya kali ini putrinya akan mengiyakan. “Ma, Pa, jangan mengungkit masa lalu. Bisa saja dia telah memiliki pasangan dan aku tidak mau menjadi pelakor,” ucap Nazra sesaat setelah meminum habis susu hangatnya. *** Matahari masih bersinar terik, seolah menampakkan kesombongan. Disertai jalanan macet dan polusi udara yang menampakkan gambaran khas ibu kota. Manusia pun lalu-lalang dengan kesibukan masing-masing. Yah, sekarang memang jam istirahat dan makan siang bagi para pekerja kantoran. Namun, tidak bagi seorang Nazra Sabira Hilya. Gadis cantik itu sedang sibuk di balik laptop dengan kacamata yang menghiasi wajahnya. Nazra kembali mengalihkan pandangan ke arah layar laptop, karena merasa tidak tertarik dengan ajakan Dhanti kali ini. Bahkan, dia tampak tidak peduli dengan rengekan temannya itu. “Ayo dong, Ra ... sekali ini saja!” bujuk Dhanti seraya melipatkan kedua tangannya di atas meja kerja Nazra. Namun, tidak ada jawaban dari wanita itu. Dia masih saja sibuk berkutat dengan laptop dan tumpukan berkas yang selalu setia menghiasi mejanya. Saat ini tidak ada yang lebih penting bagi Nazra, selain memikirkan pekerjaan dan apa pun yang menyangkut keluarganya. Di usianya yang sudah mencapai 24 tahun, membuat dia harus benar-benar bisa memanfaatkan waktunya dengan baik. Salah satu caranya adalah dengan bekerja dan terus belajar, berharap suatu saat dia akan menjadi orang yang sukses dengan ushanya sendiri. Workaholic. Mungkin kata itulah yang tepat untuk menggambarkan wanita cantik yang kini bekerja di sebuah perusahaan kopi instan terbesar di kota kelahirannya. Nazra gila kerja? Itu memang benar. Bahkan, sebagian waktu dan tenaganya, dia dedikasikan untuk sebuah perusahaan yang sudah mengangkat namanya sebagai kepala bagian akuntansi di kantor itu. Tidak mudah baginya untuk bisa mencapai salah satu jabatan terpenting di perusahaan tempatnya bekerja. Banyak yang sudah dia korbankan, sehingga bisa mendapatkan pencapaian itu. Sungguh, hal itu menantang untuk lebih meningkatkan lagi kinerjanya. Itulah alasan kenapa dia tidak ingin menghabiskan waktu, sekadar hanya untuk berleha-leha dan melakukan hal-hal yang tidak terlalu penting. Sama halnya seperti sekarang. Nazra lebih memilih untuk menolak ajakan Dhanti. Sepertinya, dia akan menghabiskan waktu luangnya untuk memeriksa dan memperbaiki laporan keuangan yang setiap jamnya selalu bertambah. Sungguh itu membutuhkan waktu yang cukup lama. Jadi, bagaimana bisa dia berleha-leha saat pekerjaannya sedang menumpuk seperti itu? “Ra, mau, ya?” Lagi-lagi Dhanti merengek kepada Nazra. Sepertinya dia belum kapok, meskipun Nazra sudah berulang kali menolaknya. Dia memang wanita yang tidak mudah menyerah. “Harus berapa kali kukatakan, aku enggak bisa. Minggu-minggu ini kerjaanku lagi numpuk banget, Dhan. Mungkin bisa lain kali saja,” jawab Nazra dengan pandangan masih fokus ke layar laptop. “Kamu selalu gitu, Ra. Bisa terhitung, berapa kali kamu mau terima ajakan-ajakanku sebelumnya, tidak lebih dari lima kali selama satu tahun kamu bekerja di sini!” gerutu Dhanti seraya mengangkat lima jarinya dan memanyunkan bibir. Kemudian, dia mengambil balpoin berwarna hitam dari pencil storage yang terletak di atas meja. Dhanti menjepit bolpoin itu dengan jari telunjuk dan jari tengahnya, lalu menatap dan memutar benda itu berulang kali. Sepuluh menit telah dia lewatkan begitu saja untuk membujuk Nazra. Nihil. Mengingat Nazra adalah sosok yang pendiam dan orang rumahan, tentu akan sulit baginya untuk mengajak temannya yang satu itu untuk jalan ataupun nongkrong di luar, meskipun hanya sekedar minum kopi. Terlebih lagi pekerjaan yang selalu menjadi alasan temannya itu. Sungguh, dia bingung harus bagaimana lagi membujuk Nazra agar bersedia menerima ajakannya saat ini. Hanya berlangsung beberapa detik, Dhanti kemudian menaruh kembali bolpoin itu ke tempat semula. Posisi duduknya pun sudah berubah menjadi tegak dengan pandangan yang kembali fokus ke depan. “Aku janji, deh, setelah ini aku enggak akan maksa kamu lagi, swear!” Dhanti mengacungkan kedua jarinya membentuk huruf 'V', seolah-olah ingin meyakinkan Nazra. Hal itu tentu membuat Nazra mendongak dan menatap nanar ke arah wanita yang kini duduk di depannya. Dia tampak menghela napas berat, sebelum akhirnya menanggapi permintaan Dhanti yang sedari tadi memaksanya. “Jam berapa?” tanyanya dengan nada sedikit terpaksa. Seringai bahagia tiba-tiba terbit di wajah Dhanti. Ada secercah harapan baginya, karena sepertinya Nazra sudah memberi tanda lampu hijau. “Jam tujuh malam di kafe Pesona!” Dhanti bangkit dari tempat duduknya dengan begitu antusias. “Pokoknya aku enggak mau tahu, kamu harus datang on time, enggak boleh ngaret apalagi sampai enggak datang sama sekali, titik!” cerocosnya sambil memainkan jari telunjuk sebelah kanan, sebagai mimik dari ucapannya. “Memang ada acara apaan, sih? Kok, serius banget perasaan?” Nazra sedikit mengerutkan dahinya seolah-olah menaruh curiga kepada temannya itu. “Apa pun itu, pokoknya kamu harus datang. Okay?” jawab Dhanti seraya membentuk jarinya menjadi huruf ‘O’, tanpa peduli dengan rasa penasaran yang sedang dirasakan Nazra saat ini. “Okay, Ra?” Dhanti kemudian mengulangi perkataannya, ketika Nazra hanya bergeming sambil menatapnya penuh tanya. “Ra, jawab dong!” rengeknya manja. “Okay,” lirih Nazra lagi-lagi menunjukkan ekspresi terpaksa. Namun, tidak dengan Dhanti yang justru menyeringai senang. Setelah misinya berhasil, Dhanti pun segera kembali ke meja kerja yang sudah lama dia tinggalkan. Mengingat waktu istirahat juga akan segera berakhir, jadi dia akhiri saja perbincangannya dengan Nazra. Pukul 18.50 WIB, tepat di depan sebuah kafe yang bertuliskan ‘Kafe Pesona’, Nazra turun dari taxi online yang mengantarnya sejak 15 menit yang lalu. Kaki jenjang dengan balutan high heels berwarna hitam tampak melenggang masuk ke dalam kafe. Hawa sejuk pun menyapa kulitnya tatkala memasuki ruangan itu. Dress hitam selutut yang melekat di tubuh ramping dengan tinggi semampai bak model papan atas itu, berhasil menarik perhatian beberapa pengunjung kafe yang mayoritas adalah kaum pria berjas. Namun, hal itu tidak mengganggu konsentrasinya sama sekali. Dia tetap melangkahkan kaki untuk memenuhi janji kepada Dhanti. Dia menghentikan langkah, kemudian mengedarkan pandangan ke beberapa arah. Dilambaikannya tangan sebelah kanan, saat dia mendapati Dhanti yang tengah duduk sendirian di meja nomor 08 seorang diri. Tanpa berpikir panjang, dia langsung menghampiri Dhanti yang sedari tadi sudah menunggunya. “Aku on time, 'kan?” tanyanya saat dia sudah berdiri tepat di depan Dhanti. “Totalitasmu memang patut diacungi jempol!” seru Dhanti seraya mengacungkan kedua jempolnya. “Duduk, Ra!” pintanya kemudian, sesaat sebelum terdengar suara tarikan kursi yang berada di sampingnya. Nazra langsung mendaratkan tubuhnya di atas kursi yang dipersilakan oleh Dhanti untuknya. “Kamu mau pesan apa?” Pertanyaan Dhanti seketika membuat Nazra menoleh, lalu berpikir sejenak. “Hm ... espresso sepertinya cocok,” jawab Nazra seraya menyebutkan minuman yang cocok untuk pekerja keras yang suka begadang seperti dirinya. “Ah, bukankah kau harus mengurangi konsumsi kafein? Itu tidak baik untuk kesehatanmu, Ra,” ucap Dhanti mengingatkan. Nazra menatap wanita itu sesaat. “Hari ini aku belum minum apa pun yang mengandung kafein, Dhan. Lagi pula, malam ini aku harus begadang, berkat seseorang yang mengajakku keluar malam. Terima kasih.” Nazra memicingkan mata menatap wanita yang duduk di sampingnya itu. Wanita itu tersenyum seraya menggaruk pipi yang tidak gatal dengan ujung jari telunjuknya. ”Pesankan espresso untukku, Dhan, jika tidak aku akan terkapar.” “Okay!” Dhanti mengangguk, langsung mengiyakan permintaan Nazra. Dia kemudian memanggil pelayan kafe dan memesan tiga minuman berjenis kopi yang berbeda. Espresso, doppio dan macchiato. Entah dia memesankan untuk siapa minuman yang satu lagi. “Kamu mengajak orang lain juga?” tanya Nazra datar, setelah pelayan itu pergi dari hadapan mereka. “Ya, betul.” Dhanti menjawab dengan singkat, tetapi cukup jelas dan meyakinkan. “Siapa?” Nazra mulai memasang ekspresi penasaran sambil memicingkan sebelah matanya. “Maaf, kalian menunggu lama.” Belum sempat Dhanti menanggapi pertanyaan Nazra, tiba-tiba suara bariton membuat mereka tersentak. Secepat kilat mereka mengalihkan perhatian ke arah sumber suara. Nazra kenal betul suara itu. Suara bariton milik pria yang sangat dia kagumi dan secara diam-diam telah mencuri hatinya. Nazra menggigit bibir bawahnya untuk menghilangkan gugup yang tiba-tiba mengambil alih tubuhnya. Tangannya pun menjadi dingin seketika. Bersambung …

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
84.6K
bc

Tentang Cinta Kita

read
186.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
9.3K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.0K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
12.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook