bc

Antara Giska dan Gina

book_age16+
2.6K
FOLLOW
23.1K
READ
fated
goodgirl
tomboy
brave
others
student
bxg
realistic earth
friendship
friends
like
intro-logo
Blurb

Semua berawal dari sebuah panggilan.

Ini adalah kisah cinta remaja menuju dewasa dimana mereka jatuh cinta tanpa sempat bertemu.

Lalu, apakah saat mereka bertemu, mereka bisa saling mengenal satu sama lain? Apakah sosok nyata mereka bisa membuat mereka jatuh cinta?

Bagi yang suka, jangan lupa ❤️ dan komen. Yang tidak suka boleh skip

chap-preview
Free preview
Part 1
“Nih!” Raia menyerahkan sebuah ponsel berlayar abu yang Giska kenali sebagai ponsel milik sahabatnya waktu mereka duduk di bangku SMP dulu. “Apaan nih?” tanya Giska dengan dahi mengernyit heran. “Ini, pegang dulu.” Raia meraih tangan sahabatnya dan kemudian meletakkan ponsel keluaran lama yang tidak memiliki fitur apa-apa selain panggilan dan pesan ke tangan Giska. “Disini, ada nomor cowok. Cuma satu, the one and only.” Ucap Raia menjelaskan. “Namanya Anda. Dia cowok baik, masalah fisik itu urusan mata loe bukan mata gue. Cuma gue ngasih ini ke loe supaya loe punya temen curhat. Dan siapa tahu, kalo secara saling tatap muka loe keseringan illfeel sama cowok, kalo secara pesan-pesan atau telepon loe bisa terpikat.” Ucap Raia lagi dengan senyum di wajahnya yang membuat Giska meringis mendengarnya. “Jadi ceritanya ini loe lagi jodohin gue? Gitu?” tanya Giska tak percaya yang dijawab anggukkan Raia. “Gue juga udah kasih nomor lama loe sama dia. Loe inget kan, yang gue minta dulu.” tanya Raia yang dijawab anggukkan Giska. “Nah nomor itu gue kasih sama dia, jadi istilahnya kalian saling tukeran sim card, begitu.” Lanjut gadis itu dengan senyum misteriusnya. “Terserah sih mau loe duluan yang hubungi dia atau dia nanti yang hubungi loe. Yang jelas, gue ngasih jalan aja. Cuma harapan gue ya..kalian berjodoh.” Kekehnya lagi yang dijawab Giska dengan gelengan kepala. “Kok gue merasa kayak jadi Siti Nurbaya jaman now, ya?” gumam Giska pelan yang dijawab Raia dengan kedikan bahu. “Bedanya, udah gak pake surat menyurat. Tapi pake SMS sama telepon.” Ucap gadis itu lagi yang dijawab Raia dengan anggukkan. “Pokoknya, selanjutnya gue serahin sama kalian berdua. Ya, namanya jodoh kan orang-orang bilang juga jorok ya. Jadi ya…” Giska hanya bisa menggelengkan kepalanya pada sahabatnya itu. “Dan ya, Anda itu nama samaran. Karena dia maunya dipanggil begitu. Dan gue ngasih nama loe ke dia Gina, jadi jangan sampai salah kenalan nanti.” Ucap Raia seraya menutup pembicaraan. Setahun Kemudian “Udah ada pilihan mau masuk kampus mana?” Pertanyaan itu muncul dari Anda, teman virtual yang Giska kenal lewat Raia—sahabatnya. Giska yang terduduk di balkon kamarnya dengan headset di telinga dan ponsel lama tergeletak di pangkuannya menggelengkan kepala. “Belum. Entahlah. Kok rasanya males aja gitu mikirin kuliah. Mikir lagi, mikir lagi.” Ucap Giska dengan nada malas. Terdengar kekehan di kejauhan sana. “Ya, namanya juga cari ilmu, ya tentu mikir.” Ucap pria itu lirih. “Tapi Na, gak ada orang yang bilang nyesel udah belajar.” Giska kembali menganggukkan kepala. “Iya tahu. Cuma ya, aku mau istirahat dulu gitu. Mungkin ngabisin waktu selama setahun buat jalan-jalan atau coba-coba kerja. Habis itu baru lanjut kuliah.” Ucap Giska lagi dengan pikiran logisnya. “Ya, gak ada salahnya juga sih. Cuma nanti kamu gak kesepian emang? Temen-temen kamu nanti asyik bahas kuliah, kamu gigit jari. Meskipun aku yakin kamu bisa dapat temen baru, tapi bisa jadi nanti kamu kesel sendiri karena temen-temen yang selama ini selalu pergi-pergi sama kamu malah pergi sama temen-temen barunya.” Ucap Anda lagi yang membuat Giska mengernyitkan dahi. “Tapi aku gak maksa juga sih. Cuma ya, sekedar ngasih kamu pertimbangan akan baik buruknya kalo kamu nunda.” Ucap Anda lagi yang hanya Giska jawab dengan kebisuan. “Iya juga sih.” Jawab Giska lirih beberapa saat kemudian. “Aku pikir-pikir lagi.” Ucapnya yang hanya dijawab Anda dengan gumaman. Entah karena kebetulan atau memang teguran untuk dirinya. Saat makan malam, Giska kembali ditanyai tentang masalah kuliah oleh ibunya. “Ma, masih lama juga jadwal pendaftaran kuliah. Nanti lagi aja deh kita bahas.” Elak Giska dengan nada malas. ibunya hanya menjawab pernyataan putrinya dengan menatap sang suami. “Iya, Papa tahu kalau masa pendaftaran kuliah masih lama. Tapi emang kamu belum ada rencana mau kuliah kemana gitu? Minimal target atau jurusan apa?” tanya ayahnya ingin tahu. Giska mengaduk makan malamnya dengan malas. “Giska sih maunya istirahat dulu, Pa. Capek mikir terus.” Ucap Giska dengan alasan yang sama yang ia kemukakan pada Anda. “Nanti kalo Giska siap, Giska pasti daftar kuliah.” Jawabnya yang hanya dijawab anggukkan orangtuanya. Waktu berlalu dan masa-masa ujian akhir SMA pun dimulai. Giska dan kedua sahabatnya—Raia dan Kiki—sibuk mempersiapkan ujian akhir dengan mengikuti kelas tambahan dan bahkan les di luar sekolah. Lelah, tentu saja mereka lelah. Bahkan tidak jarang akhir pekan pun mereka habiskan dengan belajar. “Kalo nilai gue jelek, gue bakal lulus gak ya ujian di Cakra Buana?” tanya Raia suatu sore. Raia adalah sahabat Giska yang ia kenal saat masuk sekolah menengah pertama dulu. Yang ternyata, secara kebetulan ayah Raia dan juga ayah Giska berteman kala masa sekolah mereka dulu sehingga hal itu membuat pertemanan Raia dan Giska semakin akrab dan bahkan sudah seperti saudara. “Masuk-masuk aja gue rasa. Kecuali kalo loe niatannya mau kejar beasiswa, gue yakin gak bakal masuk.” Jawab Kiki. Sahabat Giska yang lain. Berbeda dengan Giska yang mengenal Raia saat kelas satu SMP, Giska mengenal Kiki saat mereka masih duduk di kelas tiga sekolah dasar. Kala itu, Kiki adalah anak pindahan dari kota sebelah yang masuk ke kelas Giska dan kemudian menjadi teman sebangkunya. Karena pertemanan mereka, mereka kemudian memutuskan untuk masuk ke sekolah menengah pertama yang sama dimana mereka bertemu Raia dan kemudian bersahabat baik sampai saat ini. “Lagian kalo loe sadar otak loe emang gak encer, kenapa juga maksain masuk ke Cakra Buana? Ngikutin gengsi?” tanya Giska ingin tahu. Meskipun sebenarnya ia sendiri sudah tahu alasannya sejak lama. “Cowok disana cakep, dosen-dosennya juga.” Jawab Raia yang sangat sesuai dengan prediksi Giska. “Emang di kampus lain gak ada cowok cakep?” tanya Giska ingin tahu yang dijawab Raia dengan kedikan bahu. “Gue sih ambil sampling aja. Kan kakak gue, abang loe dua-duanya kuliah disana. Dua-duanya cakep. Temen-temen mereka juga selama ini gue lihat pada cakep semua. Jadi ya…” ucap Raia yang dijawab Giska dengan toyoran di bahunya. “Apa kabar Mas Sandy?” tanya Kiki tanpa Giska dan Raia duga. “Mas Sandy?” tanya Raia yang dijawab anggukkan Kiki. “Dia baik. Tumben nanyain dia, kenapa emang?” Raia balik bertanya. Kiki menggelengkan kepala. “Enggak, Cuma nanya aja.” Jawab gadis itu lirih yang membuat Giska memandang Raia dengan senyum di wajahnya. Sayangnya, sahabatnya itu tidak berpikir hal yang sama dengannya karena ekspresinya jelas datar-datar saja. ***** Lulus Kata bertuliskan huruf tebal itu membuat kedua sahabatnya yang kini berdiri di sisi kiri dan kanannya turut bersorak. Mereka berpelukan, melonjakkan tubuh seraya berseru senang. Akhirnya, perjuangan mereka selama bulan-bulan terakhir ini mendapatkan hasil yang memuaskan. Terlebih tidak ada angka yang jelek pada hasil ujian akhir yang mereka dapatkan. Semua anak berseragam putih abu kini memenuhi area lapangan upacara dan juga lorong-lorong sekolah dengan antusiasme yang sama. Tidak sedikit dari mereka yang sudah bersiap untuk melakukan selebrasi dengan membawa cat semprot dan juga spidol warna. Betapa bahagianya mereka, karena pada akhirnya mereka bisa menjadi bagian dari orang-orang yang saling mencorat-coret pakaian seragam sebagai sebuah selebrasi seperti yang umum dilakukan oleh mereka yang sudah lulus. Sama seperti para seniornya terdahulu. Keributan yang para siswa kelas tiga lakukan itu malah diabaikan oleh para guru dan para pengawas. Mereka seolah membiarkan saja para siswa dan siswi menikmati masa indah mereka sebelum nantinya para siswa-siswi didikan mereka terjun ke dunia nyata. Para siswa yang biasanya memasukkan seragam ke dalam celana atau rok, kini dibiarkan berpenampilan urakan. Pakaian yang biasanya terlihat putih abu bersih dan bahkan enggan untuk ternodai tinta, kini dengan sengaja disodorkan pada teman lainnya untuk dikotori dengan beragam warna. Emas, perak, hitam, biru, dan merah. Giska, Raia dan Kiki membaringkan tubuhnya di atas rumput taman sekolah dan memandang langit biru yang cerah. “Kita udah bukan anak SMA lagi ya.” Komentar Raia yang dijawab anggukkan Kiki dan Giska. “Kita udah dewasa sekarang.” Ucapnya lagi yang dijawab anggukkan dua sahabatnya. “Ya ampuunn.. bentaran lagi gue masuk kampus, pakai baju ganti-ganti tiap harinya, nongkrong di café, nge date dannn… aahhh gue gak sabar jadi mahasiswa.” Ucap gadis itu seraya memekik lantang yang membuat kedua sahabatnya terkekeh. “Ka, loe masih belum mutusin mau masuk ke kampus mana?” tanya Raia yang Giska jawab dengan gelengan kepala.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
188.8K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.7K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
93.7K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook