bc

Jerat Cinta Anak konglomerat

book_age18+
10
FOLLOW
1K
READ
bxg
like
intro-logo
Blurb

Desa yang asri dengan pemandangan sawah hijau itu harus tergusur alat-alat berat raksasa. Tanahnya dirampas paksa orang-orang hebat berdasi dengan dalih memajukan perekonomian warga setempat.

Sebagian dari mereka kehilangan mata pencahariannya, dengan iming-iming bekerja sebagai buruh pabrik di lahan itu kelak. Tak banyak yang mereka perbuat, hanya berusaha mempertahankan warisan leluhurnya.

Namun, usaha keras mereka sepertinya berakhir sia-sia. Sehingga menyimpan amarah dan dendam yang dalam pada pemilik bangunan itu.

Kebencian semakin memuncak tatkala sebagian dari mereka merasa salah satu keluarga di desa itu mengkhianatinya.

Akankah mereka dapat memperbaiki kesalahpahaman yang ada? Atau berujung malapetaka bagi dua sejoli yang terikat takdir itu?

"Tangkap mereka! Sudah mengotori kampung kita!" teriak seorang lelaki.

"Ayooo, arak mereka berdua keliling kampung!" teriak yang lainnya disambut sorakan dari para pria di belakang dan beberapa wanita yang tengah berlarian, hendak menonton. Seketika halaman rumah itu ramai riuh beberapa warga.

"Ada apa ini?" Dengan tergopoh Ratih menghampiri mereka. Dan berdiri di depan kedua anak itu.

"Hei Ratih! Jangan kau halangi kami, mereka berdua telah berbuat zina!"

chap-preview
Free preview
Rintik Hujan dan Belalang
Hujan rintik masih enggan berlalu dari langit abu sore itu. Segerombol anak remaja tengah asik menikmati gemericik air, seraya mencari belalang di tengah sawah. Canda dan gelak tawa bersahutan mengiringi kebersamaan mereka. Saling mengejar dan melompat ketika hewan kecil hijau itu hinggap di dekatnya. Baju dan rambut yang basah kuyup tak dihiraukannya. Mereka hanya fokus pada botol plastik yang hampir terisi penuh hewan buruannya. Sesekali jeritan terdengar dari mulut seorang anak perempuan, tatkala belalang yang dia incar lepas dan terbang bebas menjauhinya. "Rania, udahan yuk. Dingin banget ini," ajak seorang anak perempuan yang memakai baju pink. "Botolku belum penuh nih! Nanti nggak cukup buat dimakan sekeluarga," tolaknya seraya mengacungkan botol yang masih setengah isinya. "Kan tadi kamu udah ada ikan tuh, masa nggak cukup?" Protes lainnya. "Tau sendiri kan adek gembulku itu, kalo makan ikan nggak cukup satu dia." "Ya udah, tak kasih punyaku separo yah?" Tawarnya menyodorkan botol lusuh itu. "Nih, ambil punyaku juga." Seorang anak laki-laki kurus tinggi mendekat. "Loh, kalian kan cape nangkepinnya. Kok dikasih ke aku?" "Nggak papa, kita cuma seneng nangkep aja. Ambilah!" Perintahnya. Rania tersenyum ke arah dua sahabatnya itu. Dua anak lagi masih asik berlari kesana kemari seraya berjingkrak ketika berhasil menangkapnya. "Makasih ya, aku ambil setengah aja. Udah cukup kok," ujarnya mengembalikan botol plastik mereka. "Ya udah, yuk kita pulang." ajak anak perempuan yang bernama Tita itu. "Yuk! Makasih ya kalian," ucapnya lagi. "Iya sama-sama," jawab mereka bersamaan saling merangkul. "Woy, Aliiii, Nitaaa, hayu udahan!" teriak anak yang bernama Ozi kepada 2 teman lainnya. Mereka melambaikan tangan dan berjalan mendekat. Lalu masing-masing pulang menuju rumah yang masih saling berdekatan. Persahabatan kelima anak itu terjalin sejak kecil hingga remaja. Susah senang bersama saling membantu. Di antara teman-temannya, Rania adalah anak yang paling cantik dan pintar. Tetapi, juga paling tidak mampu dari segi ekonomi. Kedua orang tuanya hanya seorang petani biasa yang harus menghidupi empat anaknya. Dia adalah anak pertama dan berumur 15 tahun, yang kedua berumur 12 tahun, ketiga 8 tahun, sementara yang keempat baru berusia 5 tahun. Sebagai anak pertama Rania sudah terbiasa membantu ibunya menjaga adik-adiknya dan mengerjakan pekerjaan rumah. Sulitnya ekonomi yang mereka rasakan, membuat hidup terasa serba kekurangan. Tak jarang hanya bisa makan garam atau mie instan satu bungkus yang dibagi sekeluarga dengan kuah yang banyak. Namun, mereka tetap saling menyayangi dan tak pernah menuntut apa pun pada orang tuanya. Meski kadang, kesedihan kerap dirasakan Rania. Karena harus putus sekolah hanya sampai sekolah dasar. Kedua orang tuanya tak mampu membiayai sekolahnya. Dia hanya bisa menangis di sudut kamar dan meratapi nasibnya seorang diri. Dalam diam dia bertekad, suatu hari nanti harus mengejar cita-citanya menjadi orang yang sukses dan bisa membanggakan semua orang. Tetapi, tekad hanyalah sebatas mimpi dan angan-angan belaka. Tanpa diketahuinya, ada seorang pemuda yang menaruh hati padanya. Lalu, meminta pada orang tuanya untuk menikahi gadis itu dengan cara apa pun. Sesampainya di rumah Rania tak mendapati keluarganya. Dengan hati penuh tanya dia membuka kamar yang tampak kosong dan lengang. Segera berlari menuju dapur, di sana pun tak menemukan sang ibu. Hanya ada nyala api sisa pembakaran ditungku tanah. "Kemana mereka semua?" Hatinya mendadak tak karuan, segera ia berlari keluar rumah. Tak biasanya mereka pergi berbarengan seperti ini, hujan rintik masih terlihat turun membasahi tubuh mungilnya. Dia menoleh ke beberapa sisi sekitar rumah. Tampak sepi, tak ada satu pun orang lewat. Dengan langkah cepat ia menghampiri rumah tetangganya. Pun sama, rumah itu kosong tak ada penghuninya. Mendadak hatinya bergetar hebat. Sudut matanya sudah mulai tergenang air mata. Dari siang dia bermain di sawah bersama teman-temannya. Mencari ikan dan belalang. Di tangannya pun masih tergenggam seutas tali yang berisi beberapa ekor ikan. Dan sebotol belalang hasil buruannya. Dengan tubuh penuh lumpur dia terus berjalan mencari seseorang untuk ditanyai. Wajahnya yang tertutup lumpur perlahan luntur terkena air hujan. Sayup terdengar teriakan beberapa orang di kejauhan. Setengah berlari Rania mendekati arah suara itu. Dia tak peduli kakinya yang mulai lecet terkena batu kerikil karena tak memakai alas kaki. Jalanan di desanya memang belum terjamah aspal. Tumpukan kerikil sudah berbulan lamanya berada di sana. Proyek membangun jalan tak kunjung dilaksanakan. Entah memang dana dari anggaran yang tidak cukup, atau karena sudah disunat oknum yang berdasi itu. Terlihat kerumunan orang sampai ke jalanan, di depan rumah pak lurah. Hatinya bertanya-tanya perihal yang sedang terjadi. Puluhan orang berteriak kesal, seraya melempar batu pada rumah tersebut. Sedangkan di sudut lainnya para wanita menangis dan menjerit memegang sebuah lembaran kertas yang berusaha mereka lindungi dari rintik hujan. Mata Rania nanar mencari sosok kedua orang tua dan adik-adiknya. Buliran air perlahan jatuh membasahi pipi. Dadanya berdegup kencang, terlebih dia belum juga menemukan yang dicarinya. Tiba-tiba sebuah mobil SUV hitam berhenti tepat di sampingnya. Hingga membuatnya tersungkur karena terkejut. Seorang lelaki memakai kemeja abu keluar membawa payung dan membuka pintu belakang. Lalu, beberapa orang lainnya yang memakai jas hitam kemeja putih, serta kacamata senada tampak bernaung di bawah payung, berjalan menerobos kerumunan. Diikuti seorang wanita dan pria muda memakai kaos biasa. "Siapa mereka?" bisik Rania dalam hati. Tangannya sibuk mengumpulkan belalang yang terbuka tutupnya. Sesekali matanya bertemu pandang, dengan seorang pria muda yang terus menatap kearahnya. "Rania! Kamu nggak papa, Nak?" Seorang wanita mendekatinya. "Rani nggak papa, Bu. Ini ada apa ramai sekali?" "Sudah kamu pulang sana! Goreng ikan sama belalang ini. Ibu sudah masak nasi tadi," perintahnya cepat terlihat ada air menggenang di pelupuk matanya. "Terus bapak sama adik-adik mana?" "Itu di sana, bapak lagi ngurusin masalah sama pak lurah dan bapak-bapak yang lain. Udah sana kamu pulang!" suruhnya lagi. "Tapi Bu .... " "Udah, nurut sama Ibu. Nanti sampai di rumah kita ceritakan semuanya yah. Kamu jangan lupa mandi ganti baju, bau lumpur nempel semua di badan ini!" ujarnya seraya mengelap beberapa tanah lumpur di wajah anak gadisnya. Rania mengangguk dan memandang punggung ibunya dari belakang. Dengan tergesa wanita itu segera menghampiri tempat bapak dan adik-adiknya duduk di sana. Dalam hati masih tak puas. Rasa penasaran memenuhi rongga dada. Tapi, akhirnya dia berbalik hendak pulang ke rumah. Tiba-tiba seseorang menahannya dan menyodorkan sesuatu pada genggaman tangannya. Dia mendongakkan kepala, seorang laki-laki muda yang terlihat keluar dari mobil tadi, berdiri tepat di depannya. Dengan baju sedikit basah dan tangan kotor menggenggam sesuatu.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
92.4K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.4K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.2K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.2K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook