bc

Noktah Perkawinan

book_age18+
3.7K
FOLLOW
52.8K
READ
second chance
arranged marriage
goodgirl
drama
icy
city
rejected
polygamy
wife
like
intro-logo
Blurb

Bagaimana mungkin Jingga dapat mempertahankan kesuciannya usai tiga bulan setelah akad nikahnya digelar?

Perjodohannya dengan Atha, membuat hidup Jingga diselubungi nestapa. Kecurigaan demi kecurigaan membawanya pada rahasia besar yang disembunyikan oleh sang suami. Lantas apa yang akan Jingga lakukan ketika pada akhirnya dia mengetahui fakta bahwa suaminya sibuk berbagi ranjang bersama wanita lain, sementara dia menghabiskan malam panjang dengan penantian sembari memeluk dinginnya malam sendirian?

Mencoba bertahan, akan tetapi Jingga lupa bahwa dia juga hanyalah wanita biasa yang bisa saja rapuh ketika Atha tak bisa berlaku adil. Pada akhirnya Jingga menyerah, dia melarikan diri demi membalut lukanya hingga pada suatu kesempatan yang tak disengaja, membuatnya bertemu dengan seorang pria karena kesalahpahaman.

Tentang Jingga yang dikhianati dan berusaha mengobati luka hatinya, tapi ketika seorang pria datang menawarkan diri, Atha kembali hadir dengan penyesalan yang menggunung. Atha memporak-porandakan kehidupan yang telah Jingga susun kembali dari awal, belum lagi dendam masa lalu orang-orang terdekatnya. Akankah Jingga kembali mengalami noktah perkawinan dalam bahtera cinta keduanya, sama seperti yang dilakukan Atha pada pernikahan terdahulunya?

chap-preview
Free preview
Bab. 1
Jingga menyusuri jalan setapak menuju rumah Nania, perempuan paruh baya yang selama ini membantu membesarkan dan membiayai kuliahnya. Sinar mentari masih cukup hangat ketika menerpa kulit, pagi itu. Bagi Jingga, setiap jengkal tanah yang dia lalui terasa menyenangkan. Melihat interaksi ibu dan anak di depan perumahan yang membawa langkahnya kian dekat pada rumah bercat biru yang selama beberapa tahun terakhir ini dia sambangi. "Assalamualaikum." Jingga mengetuk daun pintu. Tak lama setelahnya seorang pria berpakaian formal muncul di balik pintu. "Wa'alaikumusalam." "Ibu mana Mas?" "Masih di kamar, barusan udah selesai aku mandiin," kata laki-laki bernama Atha itu. "Harusnya aku aja Mas, kamu kan pasti juga sibuk banyak kerjaan." Jingga menimpali. "Nggak apa-apa, lagian beliau kan ibu aku." Keduanya masuk ke dalam rumah. "Kamu udah sarapan?" Jingga meletakkan tas selempangnya di sofa. "Belum, ini baru mau bikin roti pas denger bel dipencet," jawab Atha. "Ya udah, sebaiknya Mas panggil ibu saja, biar aku yang buat sarapannya." Atha mengangguk, ia melangkahkan kakinya menuju kamar. Jingga yang telah hafal betul tata letak bangunan itu pun langsung menuju dapur. Rencananya hari ini dia mau membuat roti lapis saja untuk sarapan karena kemarin dia masak nasi goreng, sengaja Jingga membuat menu sarapan selang seling agar Nania dan Atha tak bosan. "Selamat pagi Sayang." Wanita paruh baya yang duduk di kursi roda itu menyapa Jingga. "Pagi Bu. Ayo, sarapannya udah siap." Jingga mengambil alih tugas Atha, ia mendorong kursi roda Nania agar lebih dekat dengan meja. Gadis itu menaruh setangkup roti tawar berisi irisan tipis daging sapi dan potongan sayuran juga keju itu di piring Nania dan juga Atha. Ketiganya makan dengan khidmat tanpa bersuara. Atha menelan potongan roti terakhirnya dan menenguk isi cangkirnya sebelum mengambil tas kerjanya di kursi. "Atha pamit ya Bu, sudah ada Jingga yang menemani Ibu, jadi aku nggak perlu khawatir," ucap pemuda itu. "Iya. Hati-hati di jalan, kamu fokus aja sama kerjaanmu!" Atha mengangguk, ia meraih punggung tangan wanita yang telah melahirkannya itu dengan takzim. Nania melirik Jingga yang masih menatap kepergian Atha hingga pria itu lenyap dari pandangan mereka. "Jingga." "Eh, iya Bu, ada apa?" Jingga terkesiap. "Kamu cantik sekali hari ini." Mengusap rambut gadis itu yang terbungkus hijab warna saleem. "Ibu bisa saja." Jingga sudah terlalu sering mendengar pujian seperti itu, akan tetapi mendengarnya langsung dari Nania terasa berbeda. "Ibu serius, malah diketawain." Tawa Jingga yang begitu manis mampu menghipnotis Nania, wanita paruh baya itu pun ikut tertawa. "Hm, Bu." "Ya, ada apa?" Nania tak melepaskan pandangannya sedikit pun pada gadis muda nan cantik di hadapannya. "Kalau misalnya Jingga minta izin buat kerja, boleh ya?" tanya Jingga, ragu. "Memang kurang uang yang Atha kasih ke kamu?" "Bukan soal itu Bu, Jingga nggak enak kalau terus-terusan nyusahin Mas Atha. Mas Atha kan juga punya kebutuhan sendiri, belum lagi kebutuhan Ibu dan rumah ini," jelas Jingga. "Kamu lupa kalau perusahaan yang Atha pimpin itu perusahaan pribadi? Warisan yang ditinggalkan almarhum ayah Atha itu cukup banyak, dan lagi kalau Atha ngasih ke kamu itu wajar, sebagai tanda terima kasih karena kamu sudah mau berbaik hati mengurus Ibu." Dua wanita beda generasi itu saling bertatapan. "Biarpun cuma perusahaan kecil, tapi Ibu yakin Atha sanggup menafkahi kita," imbuh Nania. "Hutang budi aku bahkan mungkin nggak akan pernah cukup sekalipun aku mengurus Ibu sampai bertahun-tahun lamanya, Bu. Ibu udah baik banget merawatku, membiayai kuliahku, mau sampai kapan aku terus bergantung sama keluarga ini." "Kamu sudah Ibu anggap anak sendiri, tak perlu lah kamu bicara seperti itu," tukas Nania. "Bu, selalu seperti ini akhir pembahasan kita." "Ya, karena sampai kapan pun Ibu nggak akan kasih izin sama kamu buat kerja," kata Nania. "Tidak. Titik! Nanti malam kita bicarakan ini lagi ketika Atha pulang." "Kok nunggu Mas Atha sih Bu, ini kan nggak ada hubungannya sama dia," protes Jingga. "Ada, nanti kamu juga tahu. Tolong antar Ibu ke kamar ya, Ibu mau istirahat. Nanti tolong buatin Ibu puding mangga ya, Nak. Sebentar lagi juga si Surti datang, suruh dia beberes rumah dan bantuin kamu membuatnya, Ibu nggak doyan puding buatan dia," pungkas Nania. Jingga tak punya pilihan. Ia mendorong kursi roda Nania dan membantu wanita itu berbaring di kasurnya. Setelah memastikan Nania meminum obatnya, Jingga pun ke luar dari kamar itu. "Eh, Bibi sudah datang?" Jingga tersenyum pada wanita yang dia panggil Bi Surti itu. "Non Jingga, udah lama Non?" " Sudah lumayan lama Bi, aku bantu bersih-bersih ya." Surti merupakan asisten rumah tangga yang bekerja paruh waktu di rumah itu. Surti akan datang jam tujuh pagi dan pulang jam empat sore. Tadinya wanita itu menginap di sana, tapi semenjak putri pertamanya melahirkan, Surti meminta izin bekerja pulang pergi saja jadi malamnya bisa dia gunakan untuk membantu mengurus cucunya. "Sejak kemarin ibu minta dibuatkan puding mangga Non, tapi pas Bibi buatin katanya nggak enak. Kurang sreg gitu, nggak kayak buatan Non Jingga," adu wanita itu. Jingga tersenyum menanggapi ucapan Surti. "Ya sudah, ayo kita buat sama-sama Bi." "Oke." Surti memang nyentrik dan lucu, itu juga yang membuat Jingga akrab dengannya. Dua wanita itu pun mulai sibuk di depan kompor, memasak puding mangga sekaligus menu untuk makan siang. Setelah membantu Surti membereskan rumah, Jingga memutuskan untuk membangunkan Nania. Ketiga wanita itu menghabiskan makan siang bersama, lalu setelahnya Jingga menemani Nania merajut di taman belakang. "Jingga." "Ya Bu, Ibu butuh sesuatu?" Jingga meletakkan benang rajutnya di meja. "Tidak. Ibu cuma mau tanya." "Soal apa?" menatap wajah tua Nania yang masih menampilkan sisa-sisa kecantikannya meskipun usianya tak lagi muda. "Apa kamu belum ingin menikah?" Deg. Jingga hampir tersedak ludahnya sendiri mendengar pertanyaan Nania yang mendadak. "Jawab Ibu, Jingga." "kenapa Ibu bertanya seperti itu?" Jingga kembali merajut untuk mengalihkan pembicaraan. "Jawab saja." Jingga terlihat ragu. "Jingga ingin fokus mengurus Ibu dulu, menikah urusan nanti. Jingga masih ingin berbakti pada Ibu, setidaknya sampai aku menemukan lelaki yang tepat untuk mendampingiku," kata gadis itu. Nania diam, meresapi ucapan Jingga. kini ia yakin dengan apa yang saat ini ada di pikirannya. Atha memarkirkan mobilnya di garasi. Lelaki itu baru saja tiba di rumah saat malam menunjukkan pukul delapan. "Assalamualaikum Bu." "Wa'alaikumusalam. Lembur lagi Nak?" "Iya." Atha mencium punggung tangan Nania. "Aku mandi dulu ya Bu, kalian pasti kan belum makan karena nungguin aku," imbuhnya. "Ya memang, makanya sana buruan mandinya," omel wanita itu pada anaknya. Jingga tersenyum simpul melihat kedekatan antara ibu dan anak itu. Tak lama berselang, mereka bertiga telah duduk di meja makan, menikmati masakan Jingga yang selalu saja mengundang selera. Tak ada yang bersuara selain hanya terdengar dentingan sendok yang beradu dengan piring, ketiganya makan dalam diam. Jingga membereskan meja dan membawa peralatan makan kotor menuju tempat cucian piring lalu mencucinya. "Jingga, sudah selesai nyuci piringnya?" tanya Nania setengah berteriak dari ruang tengah. "Sudah Bu, sebentar Jingga mau ambil tas dulu." Wanita itu tergopoh mendekati Nania yang sedang duduk dengan anak semata wayangnya di sana. "Sudah malam Bu, Jingga pamit pulang ya," ujar gadis itu. "Tunggu! Ada yang mau Ibu bicarakan dengan kalian." Jingga dan Atha saling bertatapan, penasaran dengan apa yang akan dikatakan Nania. "Duduk dulu Jingga!" "Iy ... Iya Bu," pasrah, Jingga menghempaskan tubuhnya di sofa tunggal, saling berhadapan dengan Nania dan Atha yang duduk di seberang meja. "Memangnya apa yang mau Ibu bicarakan? sepertinya penting sekali?" tanya Atha. "Iya, ini sangat penting." "Soal apa Bu," Jingga menyela. "Soal pernikahan kalian," cetus Nania. "Apa!" Teriak Jingga dan Atha bersamaan. Tatapan mereka bertubrukan sebelum pada akhirnya tertuju pada satu titik, Nania. "Pernikahan siapa yang Ibu maksud?" tanya Atha. "Tentu saja pernikahanmu dengan Jingga, memang pernikahan siapa lagi?" Jingga memilin jarinya, gugup. Apa yang baru saja diucapkan Nania sangat mengusik hatinya, setelahnya apa yang akan terjadi padanya?

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
11.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.2K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.0K
bc

My Secret Little Wife

read
91.8K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook