bc

Fair Game

book_age18+
1.1K
FOLLOW
6.6K
READ
revenge
possessive
one-night stand
dare to love and hate
drama
single daddy
city
betrayal
coming of age
lawyer
like
intro-logo
Blurb

Bijaklah dalam memilih bacaan. Khusus DEWASA.

Spin-off Unforgiven

===

Mahesa Manggala, 32 tahun, tidak menduga jika perjalanannya ke Raja Ampat untuk menyelidiki hilangnya sang adik akan mempertemukannya kembali dengan wanita yang selama ini ia cari. Wanita yang meninggalkan jejak kenangan tak terlupakan itu ternyata tunangan adiknya.

Gaziya Qirany atau Ziya, 26 tahun, dikejutkan dengan kedatangan calon kakak ipar yang ternyata pria yang pernah membuat hidupnya kelabu.

Naluri pengacara Mahesa tidak bisa berhenti mencari bukti penyebab hilangnya sang adik. Ia melakukan segala cara sampai akhirnya menemukan bukti-bukti yang mengarah pada Ziya sebagai orang yang mengetahui alasan menghilangnya sang adik sekaligus pemegang harta peninggalannya. Namun, Ziya mengelak dari semua bukti tersebut.

Di waktu yang sama, Mahesa mengetahui bahwa ia pernah membuat Ziya berada di titik terendah dalam hidupnya. Mahesa ingin bertanggung jawab, tetapi penolakan Ziya justru membuat Mahesa semakin yakin kalau wanita itu merencanakan sesuatu untuk mengambil keuntungan dari hilangnya sang adik. Asumsi, bukti, dan impresi berhasil mengubah objektivitas Mahesa dalam menilai wanita itu.

Berhasilkah Mahesa menemukan kebenaran sementara di hatinya sudah tertanam rasa cinta sekaligus curiga?

====

“Setelah aku tahu kamu pernah mengandung anakku, aku rasa pendapatku berbeda denganmu. Masa bodoh kamu suka atau tidak.”

-Mahesa-

"Jangan memaksa jika terpaksa. Ingat, Mas. Aku tunangan adikmu."

-Ziya-

====

Don't copy my story! Stop plagiarism!

Cover: Shutterstock.com

chap-preview
Free preview
1. Malam Panas
Mahesa menatap cahaya lampu gedung-gedung dan perumahan yang berkelip seperti bintang-bintang di angkasa dari atas bukit. Pengacara bertubuh atletis itu duduk di atas kap mesin mobil dan bersandar ke kaca bagian depan. Udara dingin yang berhembus dan menusuk kulit di bukit itu sudah tak dirasakannya lagi. Sesekali dia meneguk bir dari kaleng yang digenggamnya. Rasa sedih dan kecewa bergulung menjadi satu memenuhi isi kepala dan menyisakan sakit yang teramat sangat di hatinya. Wanita yang diimpikan bisa menjadi pengganti mendiang istri sekaligus ibu bagi anak semata wayangnya lebih memilih kembali kepada mantan suaminya. Meski ia masih bisa tersenyum di hari pernikahan wanita itu dengan mantan suaminya, tapi sedih di dalam hati tidak dapat berubah menjadi simpati. Kenyataannya, ia telah kalah bertanding memperebutkan hati Deandra dan membuat dirinya sendiri rapuh sekali lagi. Napasnya kian sesak membayangkan bagaimana wanita itu dengan indah memberikan harapan kepadanya dan juga putrinya, namun akhirnya Deandra  meninggalkan mereka. Damn! It’s not her fault. Mahesa meyakinkan dirinya sendiri jika rasa frustrasi dan patah hati yang menyelimuti bukan karena kesalahan Deandra. Mantan asisten pribadinya itu wanita yang baik. Deandra tidak pernah menebar pesona. Ia memang ceroboh tapi semua yang dilakukannya tulus. Mungkin aku yang terlalu berharap. Aku salah mengartikan kebaikan Andra, batinnya lagi berusaha mengobati perih yang semakin menyiksa. Hik hik hik. Suara sedu sedan yang samar-samar menyapa telinga membuyarkan lamunan Mahesa beberapa saat kemudian. Mahesa menarik punggung dari kaca depan mobilnya dan duduk dengan posisi tegak. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru yang terjangkau netranya. Aneh sekali di tempat terpencil seperti itu ia mendengar suara tangis seorang perempuan. Pikirannya mulai berkelana pada hal-hal yang tak terjangkau oleh nalar. Ah, masa iya ada hantu. Mahesa segera menepis pemikiran ganjilnya. Lambat laun, pandangannya menemukan seorang wanita sedang duduk di atas sebuah batu besar sambil menangis dan menangkup wajah dengan kedua tangan. Rambut panjang yang terurai dan menutupi  wajahnya membuat Mahesa bergidik ngeri. Cahaya rembulan di pertengahan bulan Juli yang bersinar terang memperjelas pandangan Mahesa akan kehadiran wanita itu. “Dia manusia atau bukan, ya? Kenapa tiba-tibad ia ada di sana? Atau, aku yang dari tadi tidak melihatnya? Ah, seandainya dia hantu penunggu bukit ini pun aku tidak peduli. Aku sedang frustrasi. Terserah hantu itu mau melakukan apa. Bodo amat!" gerutu Mahesa. Mahesa berusaha untuk tidak peduli pada gadis yang penampakannya mirip hantu-hantu di film horor Jepang itu. Meskipun pakaian yang membalut tubuhnya bukan gaun putih panjang, tapi tetap saja membuat bulu kuduknya berdiri. Semakin Mahesa tidak memedulikannya, suara tangisan wanita itu justru terdengar semakin nyaring dan mengganggunya. "Ya, Tuhan. Aku sengaja menyingkir dari keramaian kota agar terhindar dari kebisingan. Aku  mencari kesunyian di sini, tapi tetap saja suara bising yang aku dapatkan. Apa semesta tidak merasa iba pada duda beranak satu yang hampir putus asa ini?!" gerutu Mahesa lagi dengan geram sambil mengacak rambut hitamnya hingga tampak berantakan. Walaupun begitu, Mahesa justru tampak lebih seksi dengan rambut sedikit messy.  Mahesa turun dari mobilnya lalu memberanikan diri berjalan mendekati wanita itu. Pria yang memiliki tinggi badan lebih dari 180 sentimeter itu sudah pasrah jika sosok yang didekatinya bukan manusia. Ia terlampau kesal dan kecewa pada semesta yang turut mengolok-oloknya karena dicampakkan wanita yang dicintainya. "Hei, kamu baik-baik saja?" tanya Mahesa pada wanita itu. Wanita itu menurunkan tangan ke pangkuannya. Ia mengangkat wajah perlahan dan sukses membuat Mahesa was-was akan penampakan selanjutnya. Apakah ia akan memperlihatkan wajah monster atau wajah perempuan cantik? Mahesa bertanya-tanya dalam hati. Thank you, Lord. Mahesa bernapas lega ketika yang dilihatnya seraut wajah mungil dengan bola mata bulat besar seperti mata boneka Barbie yang berderai air mata. Wanita itu memandangi Mahesa dari bawah sampai ke wajah menawannya. Ia lalu menghentikan tangisnya. "Kamu siapa?" tanya wanita itu. "Kamu siapa?” Mahesa balik bertanya karena penasaran. “Kamu hantu penunggu bukit?” Bukannya menjawab, wanita itu justru kembali menangis dan kali ini tangisannya terdengar lebih kencang dari sebelumnya. Mahesa mengernyitkan dahi. Tatapan heran kini terpancar dari mata abu-abunya. "Jadi benar kamu hantu penunggu bukit ini?"  Perempuan itu bangkit berdiri lalu memukul lengan Mahesa pelan. "Masa aku cantik begini dibilang hantu. Keterlaluan!" "Oh, maaf. Aku kira kamu memang hantu. Penampilanmu sudah mirip hantu Jepang yang keluar dari sumur tua itu." Mahesa bersedekap. "Sudah jangan menangis lagi. Kalau kamu terus menangis sekencang ini, kamu akan mengundang hantu penghuni bukit ini untuk datang dan langsung menerkammu." "Masa?" gadis itu langsung menarik tangan Mahesa dan beringsut ke samping pria itu. "Hahaha ....” Tawa Mahesa meledak melihat ketakutan dan tingkah wanita itu. “Dasar penakut!" Lumayan, hiburan gratis di saat sedih. "Ya jelas takutlah. Gimana kalau hantunya nanti menculikku?" pertanyaan polos terlontar dari mulut wanita itu. "Mana ada hantu nyulik orang. Orang cengeng kayak kamu lagi," canda Mahesa, "ayo, Aku tunjukkan sesuatu biar kamu nggak nangis kayak bayi lagi!" Mahesa menarik lembut tangan wanita itu lalu mengajaknya ke depan mobil. Dengan bangga ia memperlihatkan pemandangan malam kota yang menghampar di bawah bukit. Sungguh luar biasa indah. Pekat malam dan cahaya lampu-lampu yang berkilauan merupakan kombinasi sempurna yang memanjakan mata. "Lihat! Cantik banget kan cahaya lampunya." Mahesa menunjuk ke arah kota yang bermandikan cahaya lampu dan bulan purnama. Wanita itu mengangguk. Ia menghela napas panjang dan mengeluarkannya perlahan seakan sedang menguapkan semua kesedihan yang baru saja dirasakannya. Obrolan ringan pun mengalir begitu saja. "Bagaimana kamu bisa sampai ke atas sini? Aku tidak melihat kendaraanmu?" tanya Mahesa sambil memperhatikan sekelilingnya. "Taksiku sampai di bawah sana dan aku berlari sampai ke sini. Pacarku berselingkuh. Aku ke sini karena berusaha kabur darinya. Dia terus mengejarku minta balikan tapi aku enggak mau." Wanita itu menurunkan kedua ujung bibirnya lalu terisak. "Sudah, jangan menangis lagi." Mahesa menepuk pelan lalu mengusap pundak wanita itu untuk menenangkannya. Wanita itu menyapu air mata dengan punggung tangan. Perlahan tapi pasti, tatapannya menjelajahi jas abu-abu yang membalut tubuh Mahesa. "Kamu kenapa ada di sini dengan setelan jas lagi? Ini kan weekend." Mahesa menatap lurus ke depan. Pikirannya menembus serpihan memori menyakitkan  yang ia dapatkan sore tadi. "Wanita yang aku cintai hari ini menikah kembali dengan mantan suaminya. Cinta memang terkadang kejam, ya? Dia datang tak diundang dan enggan pergi ketika diusir." "Kamu menghadiri pernikahan mereka?" tanya wanita itu lagi. Mahesa mengangguk mengiakan. "Kamu lelaki yang hebat, Bro. Tidak semua orang yang dikecewakan bisa tegar sepertimu." Kali ini wanita itu yang berusaha menenangkan Mahesa. Ia lalu menyenggol lengan Mahesa dengan sikunya. Beberapa puluh menit terpapar cahaya bulan purnama dan udara yang semakin dingin, wanita itu tampak gelisah. Ia memeluk dirinya sendiri sambil sekali-kali mengembus napas panjang. Bagian bawah gaun merah bercorak bunga-bunga berwana putih yang ia kenakan melambai-lambai diterpa angin malam. "Kamu kedinginan." Mahesa melihat tubuh wanita itu sedikit gemetaran. "Kita ngobrol di dalam mobil saja yuk!" Mahesa dan wanita itu masuk ke dalam mobil. Wanita itu menggenggam tangannya sendiri menahan rasa dingin yang semakin menusuk kulitnya. “Ini. Minumlah untuk menghangat tubuhmu.” Mahesa memberikan kaleng bir yang masih berisi setengahnya. “Tidak. Terima kasih.” “Jika diminum sewajarnya, tidak akan membuatmu mabuk kok.” Wanita itu terdiam beberapa saat sebelum memutuskan untuk menerima tawaran Mahesa. “Kamu benar. Tubuhku lebih hangat sekarang,” ucap wanita itu setelah meneguk bir yang ditawarkan Mahesa. Tanpa mereka sadari, Mahesa dan wanita itu terlibat obrolan selama beberapa puluh menit. Mereka saling menceritakan bagaimana mereka sampai di atas bukit itu. Bercerita pada orang asing yang tidak berusaha menghakimi membuat ketegangan semakin menguap. "Kamu masih kedinginan?" tanya Mahesa. Wanita itu mengangguk. “Birnya sudah habis. Aku mulai merasakan dingin lagi.” Tanpa ragu dan hanya sekadar untuk menghangatkan tubuh wanita itu, Mahesa menggeser posisi duduknya lebih mendekat. Ia merengkuh wanita itu ke dalam pelukannya. Wanita itu merasa nyaman berada dalam pelukan Mahesa. Ia menyurukkan wajah ke pundak pria itu. Embusan napas wanita itu di leher Mahesa membuat jantung Mahesa berdetak kencang. Mahesa membelai lembut rambut wanita itu. Harum chamomile yang tercium dari rambut dan tubuhnya membuat tubuh Mahesa memanas. Tanpa takut akan penolakan, Mahesa mengecup kening wanita itu. Wanita itu mengangkat wajahnya. Kaget dan cemas terukir di  kilat matanya. Meski begitu, ia tidak menolak ketika Mahesa mengecup ringan bibirnya. Penerimaan yang pasrah membuat Mahesa semakin tertantang. Ia menyapukan bibirnya ke bibir wanita itu dengan sedikit liar. Ia tidak memberi wanita itu kesempatan untuk mundur dari pertempuran yang baru saja akan dimulai. Sentuhan intens Mahesa akhirnya membuat wanita itu menunjukkan sisi liarnya. Ia naik ke pangkuan Mahesa lalu kembali mendaratkan bibir ranumnya ke bibir Mahesa. Bibir mereka bertemu lagi dan lagi dalam cecapan paling panas dan membakar. Setiap kali bibir wanita itu mengunci bibirnya, perut Mahesa mulai bergolak. Seluruh permukaan kulitnya merinding. Ia tidak lagi bisa berpikir logis. Kewarasannya menguap oleh kenikmatan yang sedang ia raup. Dengan satu tangan, Mahesa menahan tengkuk wanita itu. Tangannya yang lain melingkar di pinggang wanita itu dan Mahesa terus menariknya lebih mendekat lagi hingga tubuh mereka seolah direkatkan. Mahesa yang tak mau didominasi menurunkan restleting gaun wanita itu hingga melorot dan memperlihatkan area memukau yang hanya terbalut bra. Kedua tangannya yang ahli bergerilya di area tersebut dan menyingkirkan semua penghalang. Mahesa dengan lahap melumat, menjilat, dan menghisap bagian tubuh yang paling menggemaskan itu. Desahan dan erangan keduanya saling bersahutan memecah keheningan malam. Penyatuan tubuh yang kembali dirasakan Mahesa setelah “off” selama  bertahun-tahun membuatnya gila karena gairah. Ia tidak ingin berhenti, begitupun wanita itu hingga akhirnya mereka berdua lelah dan tertidur di dalam mobil. Hangatnya sinar matahari menerobos kaca jendela mobil dan menerpa kulit Mahesa. Cahayanya yang menyilaukan membuat Mahesa membuka matanya pelan-pelan. Ia meraba jok penumpang di sampingnya. Mahesa masih ingat beberapa jam yang lalu dia dan wanita itu melakukan one night stand di sana, di dalam mobilnya. Namun, Mahesa dibuat terpangah saat menyadari bahwa wanita itu tidak lagi berada di sana. Wanita itu sudah pergi. Tanpa memberi tahu identitasnya,  wanita itu menghilang tanpa jejak. Mahesa mengepalkan tangan lalu membantingnya ke dashboard. Kecewa dan marah pada dirinya sendiri yang terlalu cepat terbakar hasrat membuatnya melupakan banyak hal. Ia bahkan tidak tahu nama wanita itu. Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya setelah ini? sesalnya dalam hati. Mengharap pertemuan kembali dan bisa melanjutkan yang baru saja dimulai adalah keinginan terbesar Mahesa untuk menebus semua kekhilafannya.    

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
92.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.3K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook