bc

TUMBAL

book_age16+
1.7K
FOLLOW
16.9K
READ
drama
tragedy
mystery
spiritual
like
intro-logo
Blurb

"Pak Sudibyo itu punya pesugihan!"

Begitulah kasak-kusuk yang Vita dengar dari mulut para tetangga, yang membicarakan tentang ayah dan juga keluarganya.

Vita, putri sulung dari keluarga Sudibyo sejak awal sudah mencurigai tentang isu yang berkembang saat ini mengenai keluarganya. Namun, sang kepala keluarga selalu berbalik marah ketika ia menanyakan masalah kondisi keluarganya yang berubah seratus delapan puluh derajat sejak menjadi orang kaya baru di daerahnya.

Lantas, bagaimanakah seorang Vita bisa menghadapi masalah isu pesugihan yang menghinggapi keluarganya, juga bagaimana ia akan melawan perjanjian orang tuanya dan jin itu, yang mana Vita akan menjadi salah satu tumbal oleh kedua orang tuanya sendiri?

chap-preview
Free preview
Kematian Asisten Rumah Tangga
"Innalillahi wa inna ilaihi rooji'un!" Hampir semua orang yang mendengar berita kematian dari salah satu pembantu rumah tangga keluarga Pak Sudibyo itu, mengatakan hal yang sama. Sebuah kalimat yang nenunjukkan, semua makhluk hidup bernyawa yang ada di bumi ini pasti akan kembali kepada Sang Pencipta. "Terus jenazahnya Minah mau dimakamkan di mana?" Kembali pertanyaan yang sama, para pelayat lontarkan. Minah, adalah salah satu dari beberapa pembantu di rumah keluarga Sudibyo. Meskipun gadis dari kampung itu baru enam bulan bekerja di sana, tetapi ia dan para pembantu yang lainnya cukup akrab dengan warga sekitar. "Enggak dibawa ke kampung?" tanya salah satu warga, Bu Lala. "Kata Bu Ranti, katanya mau dimakamkan di makam keluarga milik Pak Sudibyo. Soalnya Minah hidup sebatang kara waktu dibawa Pak Sudibyo dari kampung. Bu Ranti adalah istri Pak Sudibyo. Keluarga Sudibyo adalah salah satu keluarga yang cukup terkenal di daerah Mekarjaya. Mereka terkenal sebab kekayaan yang dimiliki, tetapi dengan sejuta tanya di dalamnya. Ya, Keluarga Sudibyo adalah keluarga kaya baru. Setahun yang lalu kehidupan mereka berubah, dari keluarga miskin yang hanya sebagai tukang pulung dan pengumpul barang-barang bekas, kini telah menjadi keluarga yang luar biasa kaya dengan rumah yang sangat mewah, mobil yang berderet di garasi dan juga beberapa usaha yang banyak mereka kelola. Namun, usaha pengumpul barang bekas masih menjadi salah satu usaha yang mereka miliki, hanya statusnya sudah berubah menjadi bos pengepul atau penerima barang bekas dari para tukang pulung kecil. Awalnya, keluarga Sudibyo sama seperti keluarga lainnya di daerah itu, berkumpul, saling sapa bahkan mengobrol di beberapa acara atau terkadang di waktu sore hari. Tapi, semenjak kehidupan mereka berubah, berubah pula sikap mereka terhadap para tetangga. Dari yang tidak pernah lagi ikut hadir di setiap acara yang diadakan oleh warga bahkan hanya untuk saling bertegur sapa pun, mereka sudah jarang, cenderung tidak pernah. Bu Ranti, istri Pak Sudibyo sudah jarang keluar rumah, baik untuk pergi ke warung atau pun mengobrol dengan para warga di pagi atau sore hari. Pekerjaan rumah sudah ada yang meng-handle, dengan beberapa pembantu yang keluarga itu pekerjakan. Kehidupan yang berubah membuat keadaan sosial pun berubah. Itulah yang terjadi pada seluruh anggota Keluarga Sudibyo. Hanya seorang perempuan yang terkadang masih mau berinteraksi dengan warga sekitar, ia adalah Vita, putri sulung keluarga Sudibyo. Hari ini, sama seperti kejadian setahun yang lalu. Di mana Mega anak bungsu Pak Sudibyo dan Bu Ranti meninggal dunia. Tak ada tanda sakit apalagi kecelakaan, yang menimpa gadis berusia sepuluh tahun tersebut. Namun, tiba-tiba berita kematiannya yang diumumkan oleh salah satu warga di pelantang mesjid, membuat keterkejutan bagi semua warga. "Baru kemarin sore, si Minah ngobrol sama kita di warung Bu Joko. Kelihatan sehat dan baik-baik aja," ucap Bu Emi, tetangga sebelah Pak Sudibyo yang acap kali berkumpul dan mengobrol dengan ibu-ibu yang lain. "Namanya kematian itu enggak ada yang tahu kapan datangnya, Bu," sahut Bu Zahra, salah satu ustadzah yang sering mengisi kajian ibu-ibu pengajian. "Memang bener, Bu Zahra, saya cuma heran aja dengan penyebab kematiannya," Bu Lala seolah masih ingin membahas. "Iya, apalagi semalam para pemuda yang lagi ronda, sempat mendengar ada suara teriakan gitu dari arah rumah Pak Sudibyo." "Pembantu juga pada murung yah, kasian," sahut ibu-ibu yang lain. "Mereka murung karena merasakan kehilangan salah satu kawan, yang pasti sudah sangat dekat layaknya keluarga. Sudah, sudah, tak baik rasanya membicarakan orang lain." Bu Zahra kembali meluruskan, mencoba untuk para wanita dewasa yang berada dekat dengannya itu, untuk berpikir positif. Rasa penasaran yang menguasai jiwa setiap manusia, ada kalanya bukanlah sesuatu hal yang baik. Lebih baik menghindari rasa itu, dibanding harus mengalami kejadian yang tidak diinginkan di kemudian hari. Para warga mulai banyak berdatangan, di waktu pagi menjelang siang itu. Mereka turut berbela sungkawa atas kepergian sang asisten rumah tangga yang terkenal akan keramahannya, menghadap Sang Pencipta. "Sudah mau dimakamkan?" tanya Pak RT, yang melihat sedikit kesibukan setelah jenazah selesai dimandikan dan dikafani. "Iya, Pak RT," jawab salah satu pegawai Keluarga Sudibyo, Arman. Sedikit kegaduhan terjadi, manakala keluarga itu tidak mengijinkan warga untuk ikut dalam proses pemakaman. Pak Sudibyo sudah menyuruh beberapa lelaki, yang entah dari mana asalnya —warga Mekarjaya tidak ada yang mengenal— bertugas memakamkan jenazah Minah. "Hanya Ustadz Maulana saja yang saya ijinkan untuk hadir memimpin do'a. Sedangkan warga yang lainnya, saya tidak ingin merepotkan kalian, sudah cukup sampai di sini saja. Terima kasih saya ucapkan atas rasa kepedulian dan perhatian kalian kepada keluarga kami dan juga kepada almarhumah." Beberapa kata yang terucap dari sang tuan rumah, ketika jenazah hendak dibawa ke dalam mobil jenazah untuk dimakamkan. Tak mau berdebat perihal yang bukan urusan penting, para warga urung ikut ke tempat pemakaman, di mana jenazah Minah akan dikebumikan. Mereka memilih pulang untuk kembali ke rumah masing-masing. "Udah, yuk, pulang!" ajak Bu Zahra kepada warga yang masih berada di garasi kediaman Sudibyo, yang sudah disulap menjadi tempat para warga yang ingin berta'ziah, bangku-bangku plastik yang pejabat RT siapkan, mulai dibenahi ketika mobil iring-iringan yang akan mengantar almarhumah Minah, ke tempat pembaringannya yang terakhir, berjalan meninggalkan area rumah. "Ayo! Eh, tunggu itu bukannya si Vita?" seru Bu Kinanti ketika baru saja akan meninggalkan kediaman Pak Sudibyo, tetapi melihat sosok gadis cantik, yang merupakan putri sulung keluarga kaya tersebut berjalan mendekat ke arah mereka. "Assalamu'alaikum, Ibu-ibu. Sudah mau pulang?" sapa dan tanya terucap dari bibirnya. "Wa'alaikumsalam!" jawab ibu-ibu kompak. "Iya, Vita, kita udah mau pulang. Toh, mau ngapain lagi juga di sini, kita 'kan enggak boleh juga ikut hadir ke pemakaman," jawab Bu Lala. "Oh iya, maaf yah, Bu. Itu ayah yang minta, takut merepotkan kalian sebab tempatnya yang cukup jauh." "Enggak apa-apa, Vita. Kami mengerti kok." Kini Bu Zahra yang berkata. "Kalau begitu terima kasih untuk pengertiannya. Terima kasih juga kalian sudah berkenan datang ke sini untuk berta'ziah." "Iya, Vit, kami semua hanya bisa mengucapkan turut berbela sungkawa atas kepergian Minah. Jujur saja kami kehilangan dan sedikit merasakan heran. Kenapa si Minah pergi kok enggak ada tanda-tanda apa-apa gitu?" "Shut! Bu Lala?" seru Bu Kinanti, dengan sedikit menyenggol bahu tetangganya. Yang disenggol, terheran dan hanya berkata, "apa?" Tentu saja wanita itu tidak sadar akan ucapannya. Pertanyaan yang terlontar dari mulut Bu Lala, membuat perubahan raut muka Vita, terlihat gugup dan aura wajah yang sedikit sulit ditebak. "Ehm, itu. Semalam tiba-tiba Minah mengeluh sakit di ulu hatinya, belum sempat kami bawa ke dokter, Minah sudah keburu meninggal." Ibu-ibu semua mengangguk. Sadar diri akan perubahan sikap yang ditunjukkan oleh gadis di depan mereka, tak ada lagi yang ingin bertanya atau pun berkomentar. "Yah, namanya kematian, tidak akan memandang usia atau pun keadaan. Semoga Minah meninggal dalam keadaan husnul khatimah," sahut Bu Zahra. "Aamiin!" Kompak semua menjawab, hanya Vita yang menjawab lirih hampir tak ada suara, dan itu diketahui oleh semua ibu-ibu. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

KEMBALINYA RATU MAFIA

read
11.7K
bc

Si Kembar Mencari Ayah

read
28.2K
bc

Di Balik Topeng Pria Miskin

read
860.4K
bc

SESAL (Alasan Menghilangnya Istriku)

read
12.7K
bc

Menantu Dewa Naga

read
177.0K
bc

Aku Pewaris Harta Melimpah

read
153.4K
bc

Aku Pewaris Keluarga Hartawan

read
145.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook