bc

Cinta Dan Anugrah (Ayana)

book_age18+
58
FOLLOW
1K
READ
stepfather
mystery
like
intro-logo
Blurb

Ayana sudah menduga kisah cintanya dengan dr. Andreas akan kandas. Orangtua dokter Andres tidak mau menerima Ayana sebagai menantu mereka. Dokter Andres memilih patuh padah orangtuanya.

Ayana hanya seorang anak penjual sayar, yang hidup sederhana. Namun siapa sangka sebuah keajaiban terjadi. Ayana mendapat hadiah dari pasiennya yang akhirnya merubah hidup Ayana.

Hatinya tersentuh dengan apa yang ia alami. Ayana mulai berubah dan meninggalkan masa lalunya.

Ayana kini menjadi kaya, Ia tak lagi menjadi karyawan kecil. Ia adalah pemilik

sebuah rumah sakit yang maju pesat.

Lalu seperti apa Ayana menjalani hidup barunya? Simak kisah selanjutnya ya.

Jangan lupa subscribe dan follow aku saya. Terima kasih

chap-preview
Free preview
Bab 1
Sejak awal menjalin hubungan dengan dr. Andres, Ayana sadar, hubungan mereka akan kandas di tengah jalan. Orangtua dr. Andres tidak merestui hubungan mereka. Namun, walau sejak awal sudah sadar hubungan mereka akan kandas, tetap saja hatinya sakit saat semua harus di akhiri. Apalagi saat ini, sikap dr. Andres masih tetap baik padanya. "Masuk malam?" sapa dr. Andres yang tiba-tiba mencegatnya di dapur. Untuk menuju ruang istirahat karyawan yang ada di lanti dua, harus melewati dapur. Sehingga dapur menjadi tempat strategi untuk berkumpul dan ngobrol karyawan saat tidak ada pasien berobat jalan. Atau pun sekadar menunggu jam pertukaran siff. "Iya," jawab Ayana singkat berlagak cuek sembari menaiki tangga menuju kamar prawat. Di sanalah biasanya Ayana dan beberapa prawat serta karyawan klinik tidur dan beristirahat. Ayana meletakkan tas di lemarinya. Kemudian berjalan ke balkon. Dari sini, angin terasa sejuk meniup wajahnya. Pemandangan kota Medan yang selalu sibuk dengan rutinitasnya, terlihat nyata dari atas sana. "Masuk malam, Kau, Ay?" tanya Vivi menghampiri. "Iya, Vi. Kau juga, kan?" "Hm," angguk Vivi. "Dokternya siapa" tanya Ayana balik. "Dr. Andres." "Hm?" mata Ayana membulat. "Bukannya dia masuk sore? Itu sedang jaga di bawah." bantah Ayana menatap Vivi lekat. "Iya, dia log siff, dr. Saka nggak bisa jaga, katanya ada urusan penting." "Ya, Tuhan ...." ujar Ayana memijat keningnya. Ia sengaja tukaran dinas dengan Lani untuk menghindari dr. Andres. Malah dr. Andres long siff percuma saja kalau begini. Kening Ayana berkerut menatap langit yang mulai terlihat gelap. "Cieee, yang jaga bareng Yayang...." goda Vivi. "Apes tau nggak! Udah sengaja ngambil siff malam biar nggak ketemu, malah ketemu dia lagi!" "Memangnya kenapa, kok mau menghindar? Jangan-jangan gosip yang beredar benar, dr. Andres mau nikah sama gadis pilihan orangtuanya?" "Hem," angguk Ayana menutup wajahnya sesaat. "Tadinya aku juga nggak percaya dengan gosip itu. Soalnya, setiap aku tanya, dr. Andres tidak pernah mau ngaku. Tapi saat kemarin dinas malam, aku menerima telphon dari wanita, katanya sih, calon istrinya." "Terus?" tanya Vivi membulatkan matanya menatap Ayana. "Ya aku bilang apa adanya, 'dr. Andres sedang off'." "Begitu saja? Kenapa tidak kau labrak?" "Labrak? Ish, sory lah ya, ngapain ngelabrak dia, bikin harga diriku jatuh." Vi tertawa mendengar jawaban Ayana. Sambil tergelak, ia berlalu dari hadapan Ayana, bersiap mandi. Sedangkan Ayana, masih duduk di balkon menatap kesibukan terminal bus yang tepat berada di depan klinik. Tanpa terasa jam didinding menunju angka tujuh malam, saatnya pergantian jaga. Ayana sudah memakai seragam dinasnya. Bergegas ia dan Vivi turun ke bawah untuk mengisi siff malam. Ayana yang baru saja masuk ke ruang obat, balik badan melihat dr. Andres duduk di sudut ruangan yang lekat menatapnya. Ayana memilih pergi ke meja pendaftaran, lalu duduk di kursi tunggu pasien sembari menonton tivi. Ayana menggeser duduknya saat dr. Andres mendekat dan duduk di sampingnya. "Kamu kenapa, sih, menghindar terus? Kalau ada masalah, bicara saja!" ujarnya sedikit berbisik. "Bicara apa? Bukanya semua sudah selesai? Apa lagi yang mau dibicarakan?" "Banyak!" ujar dr. Andres "Kita memulai hubungan ini dengan baik-baik, kalaupun kita harus mengakhirinya, kita akhiri dengan baik-baik pula," "Setuju. Makanya aku tidak protes dokter menikah dengan gadis pilihan orangtua dokter!" "Jadi kamu sudah mendengar berita itu?" "Sudah." jawab Ayana tanpa menoleh. Sesaat dr. Andres tertegun. "Tapi setidaknya kita bisa jalan untuk yang terakhir kalinya." "Mau buat acara salam perpisahan?" toleh Ayana. "Hm," sahut dr. Andres mengangguk "Agar tidak ada kebencian di hati kita." lanjutnya tanpa beban. "Huff!" Ayana menghela napas, membuang sesak di dada. "Bagaimana kalau besok pagi setelah off, kita makan di luar?" usul dr. Andres. "Besok tidak bisa! Aku harus ke kampus." "Pulang jam berapa?" "Jam dua," "Kalau begitu, jam dua tiga puluh, kita ketemu di lobi utama Medan plaza, bagaimana?" "Oke," angguk Ayana pelan, ia tidak lagi antusias seperti biasanya. Ia beranjak dari duduknya dan kembali ke ruang obat seolah enggan duduk berdekatan dengan dr. Andres. Ia tidak ingin membuat hatinya semakin berat melepaskan lelaki berjas putih itu. Malam ini, pasien berobat jalan cukup ramai. Ayana sengaja mengambil posisi di bagian pengambilan obat agar tidak berdekatan terus dengan dr. Andres. Saat sedang sibuk melayani pasien yang datang berobat jalan, tiba-tiba terjadi keributan di luar. Beberapa lelaki tinggi tegap datang membopong seseorang yang tampak pucat dangan wajah berlumuran darah. Ayana bergegas datang membantu sembari membawa air di baskom dan kain lap untuk membersihkan luka pasien. Saat itu, urusan pribadi menjadi urusan keseratus. Ia, Vivi dan dr. Andres bekerja sama berusah menghentikan pendarahan pasien. Baru saja mereka ingin menjahit luka robek di tubuh pasien, beberapa preman datang menerobos masuk sembari membawa parang. Mereka meminta korban agar tidak diobati. Mereka memaksa membawa korban hidup atau mati. Dr. Andres tertegun sejenak, sepertinya ancaman preman itu tidak main-main. Ditolehnya Ayana dan Vivi yang terlihat syok melihat parang mengacung di depan mereka. Dengan berat hati, dr. Andres membiarkan pasien dibawa pergi oleh kelompok preman itu. Tidak ada pilihan. Ia tidak ingin menjadi sasaran kemarahan geng yang berselisih itu. Baru saja Ayana dan Vivi ingin ke dapur untuk meneguk air, sekadar membuang rasa cemas yang baru menyergap mereka, keadaan berubah kacau. Kawanan korban penusukan yang disandra, membalas dendam dan minta korban di bebaskan. Terjadilah baku hantam tepat di depan klinik Ester. Batu dan benda benda tajam bersliweran. Vivi dan Ayana berinisiatif untuk menutup klinik. Sebab khawatir menjadi korban salah sasaran. Namun, belum sempat klinik tertutup rapat, kawanan preman itu berlarian ke dalam klinik karena dikejar oleh tentara yang sudah tiba untuk mengamankan situasi. Ayana terkejut karena tertabrak salah satu tubuh lelaki yang ikut berlari ke dalam klinik untuk sembunyi. "Ayana, kamu tidak apa-apa?" tanya dr. Andres sembari menangkap tubuh Ayana yang hampir terjatuh. "Aduh," keluh Ayana memegangi pundaknya yang terasa sakit karena tubrukan yang cukup keras. "Ke sini, Ay." ajak dr. Andres memopong tubuh Ayana menuju ruang dokter. "Kamu tunggu di sini saja, aku ke luar dulu melihat sutuasi." ujarnya beranjak meninggalkan Ayana yang terbaring di atas tempat tidur. Untungnya pihak yang berwajib dengan cepat membereskan masalah yang ada. Tidak sampai tiga puluh menit, keadaan kembali normal. "Kamu istirahat saja dulu, besok pagi, biar aku antar pulang," ujar dr. Andres menawarkan jasanya. "Tidak usah, dok! Saya tidak apa-apa." sahut Ayana menggerak gerakkan lengannya. "Masih sakit?" tanya dr. Andres menatap Ayana. "Sudah tidak!" sahut Ayana beranjak dari tempat tidur, lalu ke luar dari ruang istirahat dokter. Malam ini, terasa sangat panjang. Vivi dan Ayana tidak banyak bicara, mereka masih syok dengan peristiwa barusan. Mereka kembali membantu dr. Andres melayani pasien yang masih menunggu antrian karena terhenti dengan peristiwa barusan. *** Pagi ini, jam sudah menunjuk pukul delapan pagi. Ayana sudah rapi dan siap berangkat ke kampus. Kali ini sepertinya dia akan terlambat lagi. "Ay, kamu mau ke kampus? Aku antar, yuk!" ujar dr. Andres mencegat Ayana di parkiran. Ia membuka pintu mobil dan mempersilakan Ayana masuk. Karena buru-buru, Ayana tidak menolak ajakan itu, ia melangkah mesuk ke dalam mobil dr. Andres. "Benar pundak kamu sudah tidak sakit?" tanya dr. Andres sambil melaju mobilnya di jalan raya. "Hum," angguk Ayana menggerak-gerakkan kembali pundaknya. Memastikan pundaknya sudah tidak sakit. "Syukurlah kalau begitu. Jangan lupa, pulang kuliah nanti kita bertemu di pintu mal." "Hum," angguk Ayana tanpa menoleh. Tiga puluh menit berlalu dengan senyap, keduanya sama - sama hemat bicara karena masih sangat lelah habis begadang semalaman. "Terima kasih, dok!" ujar Ayana setibanya di depan kampusnya. "Daa, hati-hati di jalan," ujarnya setelah turun dari mobil. "Hm," angguk dr. Andres tersenyum. Lalu melaju mobilnya pergi. ** "Ay, usahakan besok jangan terlambat, ada ulangan Kimia Analitik di jam pertama." ujar Desti saat makan siang di kantin. "Iya, besok aku minta tolong temanku datang lebih awal ke klinik." "Ya sudah, Yuk! Aku mau salat dulu, Sebentar lagi masuk jam praktikum. Kau juga harus salat!" "Aku besok saja shalatnya," jawab Ayana cengengesan. "Terus saja bilang besok!" grutu Desti kesal. Ayana tersenyum kecut mendengar ocehan Desti. Entahlah, ia enggan setiap kali diajak shalat. Ia lebih memilih duduk di altar mushala menunggu Desti selesai menunaikan kewajibannya. Ayana duduk bersandar di dinding, angin lembut menyapu wajahnya. Tanpa sadar, ia tertidur pulas. "Astaga, Ay! Besok bawa bantal biar makin nyenyak tidurnya!" celetuk Desti membangunkan Ayana. "Ya ampun. Aku ketiduran, ya!" ujar Ayana nenyipitkan matanya. "Cuci muka sana, biar segar!" "Hm," angguk Ayana beranjak ke tempat pengambilan air wudu. Setelah selesai, keduanya kembali ke kelas dan berbaur dengan yang lain. "Kalian sudah beli sampel bahan praktikum kita?" tanya Dino menghampiri. "Belum, memangnya sampel apa hari ini?" tanya Desti balik. "Jajanan pinggir jalan." sahut Dino. Sejenak, Ayana dan Desti saling menatap. "Aku penasaran sama es krim yang biasa kita beli di simpang sana. Bagaimana kalau itu saja sampel kita?" usul Ayana bersemangat. "Setuju! Tapi kalian yang beli ya. Aku dan Tito nyiapin alatnya di lab." ujar Dino cengir kuda. "Ah, Dasar mau enaknya saja!" grutu Desti. Bibir Ayana membentuk garis lurus, saat Desati meliriknya. Tanpa aba-aba, keduanya berjalan ke luar kampus sembari membawa baju praktikum. Mereka berpapasan dengan beberapa mahasiswa lain yang terlihat membawa jajanan pinggir jalan. Dari kejauhan Ayana dan Desti melihat abang penjual es krim terburu-buru mengemasi dagangannya dan bersiap pergi. "Des, itu abangnya mau kemana? Ayo kita kejar!" ajak Ayana menarik tangan Desti. Ayana dan Desti setengah berlari mengejar penjual es krim itu, "Bang, tunggu!" teriak Ayana. Tapi penjual es krim itu bukannya menunggu, malah pergi terbirit-birit mendayung seperdanya. "Loh, abangnya kenapa kabur?" tanya Desti heran. Keduanya berhenti mengejar melihat abang penjual es krim peegi menjauh. "Kalian mau beli es krim tadi, ya?" tanya Rike yang membawa dua corong es krim ditangannya. "Iya," jawab Desti. "Kabur lah dia, kalian datang bawa-bawa baju praktek!" "Astaga," teriak Ayana memukul jidatnya sendiri. "Pantas saja abang itu, kabur," Sontak saja ketiganya tertawa bersama. Pedangang jajanan disekitar kampus itu sudah tahu jika ada mahasiswa membeli jajan membawa baju praktek, artinya dagangan mereka akan dijadikan sampel penelitian. Biasanya satu minggu kedepan, dagangan merekan akan sepi pembeli. Hampir tidak ada mahasiswa yang mau membeli jajanan mereka. Karena ngeri dengan hasil test e.coli di dalam jajanan itu. Tapi setelah satu minggu biasanya mahasiswa itu kembali cuek, dan kembali membeli jajanan pinggir jalan di area kampus mereka. "Sudah tidak usah di kejar, percuma! Kalian boleh pakai Sampel ini. Nanti aku bagi." "Beneran?" tanya Ayana memastikan. "Beneran..." sahut Rike sembari berjalan. "Alhamdulullah," ujar Ayana dan Desti hampir bersamaan. Ketiga sekawan itu kembali ke kampus dan langsung menuju laboratoriun mikrobiologi. Disana, teman-teman mereka sudah menunggu. Usai praktikum, Ayana buru-buru merapikan alat-alatnya. Jam dinding sudah menunjuk angka dua. Setelah dosen pembimbing ke luar meninggalkan ruangan, Ayana segera melepas baju praktikumnya. "Des, aku pulang duluan, Ya!" ujarnya. "Mau kemana, buru-buru amat?" "Aku ada janji sama dr. Andres." "Mau pacaran?" "Mau putus!" sahut Ayana sambil lalu. Tak dihiraukannya Desti yang tercengang dengan jawabannya. Jarak antara kampus dan jalan raya cukup jauh, butuh waktu lima belas menit untuk mencapainya. Setibanya di pinggir jalan, Ayana menyebrangi jalan raya di zebra cross. Arus lalu lintas yang sedang padat merayap memudahkannya untuk menyebrang. Melihat angkot jurusan Mal yang ia tuju datang, Ayana menghentikannya dan bergegas naik. Celana jeans ketat yang dipakainya membuat gerakannya lincah. Di dalam angkot, Ayana merapikan rambut dan kemeja ketat yang dipakainya. Sekitar lima belas menit kemudian, gadis bertubuh sintal itu sampai di tujuan. Ia berjalan menuju lobi mal. Disana, dr. Andres sudah menunggu. "Sudah lama, dok?" sapanya mendekat. "Baru.... yuk, kita ngobrol sambil makan. Kamu mau makan apa?" tanyanya sembari menoleh kanan kiri mencari sesuatu yang mungkin menarik untuk di beli. "Apa saja." jawab Ayana berjalan santai di samping dokter tampan itu. Mendengar ucapan Ayana, dr. andres tertawa, "Kalau begitu, kita makan sea food saja" ujarnya sembari menggandeng tangan Ayana. Keduanya berjalan santai mencari tempat tongkrongan yang nyaman. Mereka tampak baik-baik saja, tidak seperti sepasang kekasih yang akan berpisah. "Di sini saja," ujar dr. Andres menunjuk sebuah restoran sea food. Ayana mengikuti dr. Andres ke dalam restoran. Lalu duduk di sampingnya. "Nanti setelah makan, bagaimana kalau kita jalan ke tempat-tempat yang dulu pernah kita singgahi?" usul dr. Andres setelah nenyerahkan pesanan mereka pada pramusaji. "Sebenarnya kita mau putus atau mau reunian, sih?" tanya Ayana mengernyitkan dahi. Dr. Andres tertawa menampakkan baris giginya yang putih. Diusapnya kepala Ayana dengan lembut. "Ayolah, kita habiskan hari ini bersama," "Nggak ah, aku ngantuk! Sejak tadi malam belum tidur!" "Kalau begitu kamu tidur saja di mobil. Aku akan membawamu mutar-mutar mengelilingi kita Medan." "Nggak mau! Nanti kalau calon istri dokter tahu, bisa panjang urusannya. Aku tidak mau membuat calon istri dokter cemburu dan marah melihat kita berjalan berdua seperti ini." "Tenang saja, kalau dia marah lalu cemburu membabi buta, tinggal batalin saja perjodohannya, selesai, bukan?" "Dasar sinting. Seenaknya saja mutusin anak orang!" celetuk Ayana. Dr. Andres tertawa renyah. "Kamu tenang saja, saat ini dia sedang keluar kota ngurusin pekerjaannya. Jadi dia tidak akan melihat kita, kecuali ada yang sengaja memberitahunya," "Jadi ceritanya lagi selingkuh, nii?" tanya Ayana mengernyitkan dahi. "Nggak, lah! Kan, kita belum putus. Aku sama dia juga belum nikah!" Sesaat lelaki berhidung mancung itu menghela napas, melihat wajah Ayana yang murung. "Sebenarnya aku tidak ingin menikah dengannya, tapi entah kapan mama setuju dengan hubungan kita." ujarnya merutuki keadaan. Ayana menatap dr. Andres lekat. Rasa di hatinya bercampur aduk. Serba salah. Satu sisi ia mencintai lelaki itu, sisi lain, ia tidak tahu bagaimana caranya mengambil hati orang tua dr. Andres yang tidak pernah mau bertemu dengannya. Status sosial mereka terlalu jauh berbeda. Sebenarnya Ayana tidak keberatan untuk melakukan apapun agar orangtua dr. Andres merestui hubungan mereka. Tapi dia cukup tahu diri untuk tidak memaksakan keinginannya. Lagi pula, dr. Andres juga tidak terlihat berusaha lebih keras. Bahka terkesan pasrah. "Santai saja, Dok! Aku cukup sadar diri kok. Aku tahu, aku bukan seseorang yang pantas untuk diperjuangkan." ujar Ayana menoleh ke kanan dan kiri berusaha mengusir perih di hati. "Jangan ngomong gitu, lah, Ay! Bukan aku tidak mau memperjuangkan hubungan kita. Tapi mama punya darah tinggi. Aku tidak mau membuatnya marah dan menyebabkan kesehatannya terganggu." "Hm," angguk Ayana mengangguk. Tanpa ingin berbantah-bantahan. Untuk apa? Keduanya diam saat pramusaji datang mengantar pesanan. "Makasih, Kak!" ujar Ayana sembari menata meja. "Terima kasih, Ay." ujar dr. Andres saat Ayana mendekatkan menu pesanannya. "Sama-sama," sahut Ayana tak bergairah.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Pembalasan Istri Tersakiti

read
7.8K
bc

Istri Tuan Mafia

read
16.7K
bc

Tergoda Rayuan Mantan

read
23.8K
bc

Takdir Tak Bisa Dipilih

read
2.4K
bc

CINTA ARJUNA

read
9.6K
bc

Ayah Sahabatku

read
13.6K
bc

Dipaksa Menikahi Gadis Kecil

read
20.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook