bc

Istri Bayangan

book_age18+
6.0K
FOLLOW
44.6K
READ
scandal
drama
bxg
like
intro-logo
Blurb

Nadia Almahira, harus merasakan sakit hati yang tak bisa ia ungkapkan melalui kata-kata apalagi sikapnya kepada seorang Keanan Darmaputra. Seorang pria, bungsu dari trah Darmaputra yang terpaksa menikahinya karena suatu peristiwa yang tak ingin gadis itu ingat seumur hidupnya lagi.

Bagaimanakah kehidupan rumah tangga Nadia yang seolah hanya menjadi istri bayangan dari seorang Keanan? Pria yang ternyata masih menjalin cinta dengan kekasihnya —Maura, di belakang keluarga Darmaputra dan orang-orang sekelilingnya?

Simak cerita lengkapnya di sini!

Dan jangan lupa follow akun ig aku yah, Ummu_amay8502

chap-preview
Free preview
Bab 1
Di hari senin pagi, Nadia telah siap dengan penampilannya yang hendak berangkat ke kantor. Perusahaan milik trah Darmaputra, yang tak lain dan bukan adalah keluarga dari suaminya --Keanan-- adalah tempat gadis itu bekerja. "Bi Darmi, saya berangkat dulu yah. Siapkan saja keperluan untuk tuan Keanan karena mungkin saya akan pulang telat malam ini." Nadia berpesan pada sang asisten rumah tangganya. "Baik, Non. Nanti akan Bibi siapkan." "Makasih yah, Bi. Kalo gitu, saya berangkat sekarang." "Iya, Non." Nadia, seorang gadis berusia dua puluh tahun, cantik dan juga periang. Sifatnya yang ramah, disukai banyak orang. Tapi tidak bagi sang suami --Keanan. Pria berusia tiga puluh tahun itu, adalah suami yang terpaksa menikahinya karena sebuah peristiwa tidak mengenakan. Keanan, pria muda yang memiliki wajah tampan adalah putra bungsu dari keluarga Darmaputra. Ia menikahi Nadia, yang masih saudara jauhnya itu karena sebuah kesalahan, yang hampir melecehkan gadis itu disaat ia tengah mabuk. ** Setengah jam setelah Nadia berangkat, pria itu baru turun dari kamarnya yang berada di lantai atas. "Ke mana Nadia? Dia enggak ikut sarapan dengan saya, Bi?" tanya Keanan yang mengambil tempat duduk di paling ujung meja makan. "Non Nadia sudah berangkat kerja, Tuan." "Oh," sahut Keanan cuek. Begitulah kehidupan pernikahan keduanya. Semenjak menikah dua bulan yang lalu, Keanan dan Nadia memang jarang berbicara. Mereka bisa saling menyapa jika berada di kantor dan masih dalam ruang lingkup urusan pekerjaan. "Oh iya, Non Nadia bilang kalo hari ini beliau akan pulang telat." Bi Darmi menyampaikan sebuah pesan yang sebetulnya tidak harus disampaikan pada pria itu. "Hem, ya, saya tidak peduli akan hal itu. Tapi, terima kasih, Bibi sudah memberitahu saya." Wanita bertubuh sedikit tambun itu, menatap heran pada sang majikan. Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa nona mudanya bisa bertahan, hidup berumah tangga bersama pria yang tidak mencintainya. Keanan menghabiskan sarapan paginya dalam keheningan rumah besar nan mewah, yang diberikan sang papa, sebagai kado pernikahannya bersama Nadia. Ya, papanya Keanan lah, yang memaksa agar pernikahan itu terjadi. Pria kharismatik yang terkenal akan kedermawanannya itu, tak mau menghancurkan masa depan sang gadis akibat ulah ceroboh putra bungsunya. "Aku sudah selesai, Bi." Keanan bangun dari duduknya, hendak pergi ke kantor. "Saya pergi dulu yah, Bi." "Iya, Tuan." ** Di dalam sebuah ruangan manajer keuangan, Nadia nampak sibuk membantu sang manajer yang tengah mengecek data keuangan perusahaan. "Semua sudah kamu pindahkan ke dalam folder yang saya suruh buat kemarin kan, Nad?" tanya Ibu Cika, sang atasan. "Sudah, Bu. Semua sudah rapi dalam satu file." "Bagus. Kalo begitu, saya akan lebih mudah memeriksanya." Nadia kembali ke mejanya, yang menyatu dengan ruangan Bu Cika --yang hanya dibatasi sebuah sekat kayu. Menatap layar komputer di depannya, dengan setumpuk berkas yang harus ia kerjakan di hari itu. Nadia, kini dipercaya untuk menjadi asisten manajer keuangan, setelah Pak Hari --yang merupakan mertuanya-- melihat prestasi dari gadis itu selama membantu Keanan yang menjabat sebagai wakil direktur. "Nad, jam berapa saya ada meeting?" tanya atasannya, sedikit mengeraskan suara karena bertanya dari arah kursi kebesarannya. Nadia yang merasa tidak sopan jika membalas pertanyaan Ibu Cika, memilih berdiri dan menghampirinya. "Jam sepuluh, Ibu sudah harus berada di ruang meeting." "Apa scedule saya sesudah itu?" "Untuk hari ini itu aja, Bu." "Ok. Terima kasih yah." "Baik, Bu." Keduanya kembali mengerjakan tugas masing-masing di tempatnya. Nadia sibuk dengan laporan dari staf divisi, yang harus ia selesaikan hari itu. Sedangkan sang manajer sibuk mempelajari agenda rapat yang akan diadakan bersama jajaran direksi lainnya. ** "Balik kerja, anter aku nge-mall yuk, Nad?" ajak Dara teman satu divisi dengan Nadia. Mereka berdua tengah berada di kantin bersama karyawan lainnya, menikmati waktu istirahat dan makan siang. "Ke mana?" "Mall biasa yang suka kita datangi." "Lagi banyak duit?" Nadia tersenyum menggoda. "Kita kan baru gajian. Emang emang enggak banyak, tapi lumayan lah duit lemburan." Senyum menghias wajah Dara. "Ok deh. Tapi aku enggak bisa lama yah, aku ada keperluan yang lain." "Ngomong-ngomong, kok kamu enggak ikut meeting sama Bu Cika?" "Meeting hari ini khusus jajaran manajer dan direksi lainnya. Pak Hari minta tidak ada manajer yang ditemani oleh asistennya." "Oh gitu. Biar mabok tuh suami kamu, Pak Keanan, tanpa Mbak Ana, apa dia bisa sendiri?" "Bisa atau enggak bisa, Pak Hari pasti lebih tahu." Ucapan Nadia dibalas anggukan oleh Dara. Dara yang merupakan sahabat Nadia, sudah sangat hapal bagaimana cerita dibalik pernikahan yang terjadi antara Nadia dengan Keanan. Dara, gadis berusia dua puluh lima tahun, sudah bekerja dengan perusahaan milik Pak Hari sejak ia masih kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Kala itu perusahaan milik Pak Hari memiliki program perekrutan mahasiswa untuk dibina dan diajari agar setelah lulus bisa mengabdi di perusahaan miliknya itu. Dan Dara, adalah salah satu yang terpilih dari tiga orang mahasiswa lainnya. Sejak dua tahun yang lalu, tepatnya ketika Nadia baru lulus SMA dan langsung dipercaya membantu Keanan oleh Pak Hari, di situlah dia mulai berteman dan akrab dengan Dara, teman yang terpaut usia lima tahun dengannya. "Nad, emang kamu mau sampai kapan hidup berumah tangga kaya gitu sama Pak Keanan?" tanya Dara setelah menghabiskan hidangan makan siangnya. "Enggak tahu, Ra." Mengangkat bahunya, Nadia bereaksi. "Jangan terlalu jatuh cinta kalau enggak ada harapan di dalamnya." "Iya, Ra, aku tahu. Kamu sudah sering bilang kaya gitu sama aku. Tapi memang enggak semudah itu, aku melupakan perasaanku sama dia. Sudah sejak lima tahun yang lalu, sosok Keanan masuk di dalam hati aku, walaupun selama ini kedekatan kami hanya sebatas hubungan saudara saja." Dara merasa kasihan sama Nadia sebetulnya. Memang hati tidak bisa dipaksakan. Dan jatuh cinta itu memang tidak bisa diatur, kepada siapa hati kita akan tertambat. "Aku akan berdoa untuk kamu, Nad. Semoga kamu bisa mendapatkan lelaki yang baik yang bisa mencintai kamu dengan tulus." "Aamiin. Terima kasih, Ra. Kamu memang sahabat aku yang terbaik." "Ya udah yuk, bentar lagi abis nih jam istirahatnya." "Kamu duluan aja, aku salat dulu." "Oh, ok. Aku lagi libur soalnya." Keduanya terpisah. Dara kembali ke meja kerjanya, sedangkan Nadia berjalan menuju mushola yang berada di luar dekat kantin. *** "Kamu itu selalu saja begini, Keanan. Papa enggak ngerti lagi harus gimana ngadepin kamu." Pak Hari tengah memarahi putranya itu, sebab laporan yang mestinya Keanan presentasikan saat meeting tadi, ternyata belum selesai sama sekali. "Suruh siapa Papa mindahin si Nadia ke bagian keuangan?" "Papa memang sengaja narik Nadia untuk membantu Bu Cika di sana. Papa ingin tahu gimana kinerja kamu tanpa bantuan Nadia. Ternyata begini hasilnya." "Ya, berarti kan kesalahan Papa sendiri. Coba kalo perempuan itu masih bantuin Keanan, enggak akan kaya gini kejadiannya." Pak Hari semakin tersulut emosi. Bagaimana bisa putranya itu berpikiran begitu dangkal. "Keanan, usia kamu itu sudah tiga puluh tahun. Mau sampai kapan kamu hidup begini? Kerjaan kamu cuma main dan berfoya-foya saja." Menjeda kalimatnya, papa Keanan meneguk air putih yang ada di depannya. "Baiklah, Keanan, berhubung Papa sudah jengah dengan semua tingkah laku kamu yang masih tidak berubah, maka Papa harus mengambil tindakan tegas." "Maksud Papa apa?" Nampak raut khawatir, terlihat di wajah lelaki itu. "Papa akan memberi kamu waktu dua bulan dari sekarang. Kalau kamu masih belum bisa memperbaiki semua sikap dan kinerja buruk kamu, maka jangan salahkan Papa, seandainya semua akses uang yang selama ini mengalir ke kantong kamu akan papa blokir." "Pa! Papa enggak bisa begitu dong sama Keanan?" protes Keanan pada sang papa. "Kenapa Papa tidak bisa?" "Pa, masa Papa tega sih, menyetop semua uang Keanan?" "Uang kamu? Enggak salah kamu ngomong!" "Iya, Keanan tahu. Tapi kan aku anak Papa, apa aku enggak punya hak dengan uang yang Papa punya?" "Memang uang itu bisa muncul sendiri tanpa kamu cari dan usaha?" Menatap wajah putranya yang tertunduk. Keanan terpojok. Ia memang salah, selama ini dirinya hanya bersenang-senang saja tanpa memikirkan bagaimana bekerja yang baik dan menghasilkan keuntungan bagi perusahaan papanya. Hanya Andre —kakak sulungnya, yang bekerja sungguh-sungguh sampai dipercaya memimpin perusahaan milik sang papa lainnya. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.0K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.2K
bc

My Secret Little Wife

read
91.8K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.0K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook