bc

Happy Ending

book_age16+
27
FOLLOW
1K
READ
tomboy
billionairess
drama
genius
office/work place
small town
feminism
chubby
gorgeous
civilian
like
intro-logo
Blurb

"Tugas perempuan itu didapur, dikamar dan dikasur".

Petuah dari sesepuh yang sudah hidup lama di dunia ini.

"Perempuan tidak perlu sekolah tinggi, ujung-ujungnya juga berakhir di dapur".

Cibiran hangat dari tetangga depan, belakang, samping rumah.

"Perempuan kalau sudah punya karir sukses tidak perlu laki-laki lagi. Makanya ga nikah-nikah".

Tutur seseorang yang bangga nikah muda tapi kehidupannya masih dibiayai orang tua.

Sekilas gambaran yang di dapat perempuan yang punya pikiran modern. So, lets follow my story from chasing dreams to chasing love.

chap-preview
Free preview
Chapter 1
Punya karakter yang menjunjung tinggi kebebasan hak perempuan itu ngeri-ngeri sedap. Apalagi kalau tinggal di lingkungan yang konservatif. Rasanya setiap gerak-gerik kita di atur dan diawasi. Terus apa jadinya kalau kita menentang semua aturan itu dan berpikiran modern diantara semua pikiran kolot? Aku seorang perempuan muslim yang bisa dibilang punya pikiran modern meskipun hidup dilingkungan dan keluarga konservatif. Kalian tidak perlu membayangkan tampilan gamis panjang dan lebar, kerudung besar menutupi dada sampai perut atau menggunakan cadar. Big no, meskipun aku muslim tapi tampilan ku tidak seperti itu. Aku masih belum menggunakan hijab, hanya saja menggunakan pakaian yang masih tergolong sopan. Sekilas tentang diriku! Apa yang lebih menyenangkan dari hari minggu?. Jawabannya adalah, aku bisa menghabiskan waktu dengan guling-guling dikasur. Sebelum semua kesenangan itu dihancurkan oleh kedatangan nyonya besar. "Sana siap-siap, bentar lagi ada tamu datang". Mama menepuk-nepuk pelan pantat ku sambil menarik selimut. "Tamu?. Terus urusannya sama aku apa? Ngapain repot-repot berbenah diri dihari libur kaya gini?" Setengah merengek karna mama menggagalkan niat malas-malasanku. "Keluarga Akbar berniat melamar kamu, Zoya". Seketika moodku yang sedikit hancur tambah hancur setelah mendengar informasi dari mama. "Tapi ma...... " Belum selesai aksi protesku, mama sudah membungkam dengan sedikit siraman rohani pagi. "Temui dulu, masalah keputusan final ditangan kamu. Mama ga maksa, semua keputusan ada di kamu dan kamu juga yang menjalaninya. Tidak baik menolak niat baik seseorang". Setelah mengecup dahiku, mama meninggalkan kamar dan menyuruh segera bersiap. Setelah 30 menit membenahi tampilan, dengan langkah mantap aku keluar menuju ruang tamu menemui keluarga Akbar. Dari jauh, sayup-sayup terdengar obrolan ringan para orang tua. Setelahnya aku melihat sosok laki-laki yang menyambut kedatangan ku dengan senyuman lebar dan bahagia. "Assalamualaikum" Salamku sambil mengambil duduk disamping ibu. Akbar masih menyunggingkan senyum tipis, yang kubalas dengan tatapan datar. Sunggu benci banget suasana ini. "Karna nak Zoya sudah ada disini, langsung saja kami ingin mengutarakan niat kedatangan kami di hari minggu ini". Setelah berbasa-basi singkat, ayah Akbar akhirmya bersuara dengan serius. "Kami ingin mengambil putri anda untuk kami nikahkan dengan putra kami, Akbar Zayn Muhammad". Refleks, mata ini terpejam sesaat mendengar ucapan ayah Akbar. Meskipun sudah tau niat mereka kesini, tetap saja aku teekejut setelah mendengar langsung. Sebelum menjawab ayah menatapku dengan lembut. Seolah menyakinkan semua keputusan hari ini. "Saya berterima kasih atas niat baik anda sekeluarga, Pak Ahmad. Tapi kembali lagi kami selaku orang tua menyerahkan keputusan pada Zoya, Putri kami. Kami selaku orang tua mendukung apapun keputusan Zoya". Aku balas menatap ayah sendu. Seketika banyak yang terlintas di kepalaku. Ini bukan perkara mudah, karna semua di pertaruhkan. "Karna yang akan menjalaninya bukan kami tapi Zoya". Menikah bukan perkara mudah, banyak yang harus di pertimbangkan. Bukan hanya kesiapan mental saja, tapi juga perlu kesiapan materi. Jujur saja kriteria calon suamiku itu harus lumayan mapan, rajin ibadah, dan minimal dia sudah Puny rumah sendiri. Dan itu semua ada pada sosok Akbar. Tapi jujur hati ini belum bisa menerima dia untuk jadi imamku kedepannya. Simplenya aku masih belum siap untuk menikah. "Jadi, bagaimana nak Zoya? ". Pa Ahmad segera menagih jawabanku. Diam-diam aku menarik nafas pelan-pelan, sebelum mengeluarkan suara. Dapat kulihat semua yang ada di ruang tamu tengah menanti jawabanku. Sekali lagi sebelum menjawab pertanyaan Pak Ahmad, aku menatap ayah dan ibu. Berusaha meyakinkan sekali lagi jawaban yang akan aku keluarkan. "Saya hargai dan berterima kasih atas niat bapak sekeluarga. Tapi maaf, saya tidak bisa menerima lamaran Akbar. Karna sejujurnya dalam waktu dekat ini tidak ada niatan untuk menikah". Ucapku dengan lancar dan tenang menolak lamaran Akbar. Pemuda baik yang terkenal di tempat tinggal kami. Dia mapan, ramah, rajin ibadah dan dari keluarga baik-baik. Tapi aku sungguh-sungguh tidak tertarik dengan dia. Mungkin orang-orang akan mengataiku bodoh karna sudah menolak lamarannya. Tapi aku tidak perduli dengan semua cibiran yang akan datang padaku nanti. Usiaku masih 24 tahun, terlalu muda untuk membina rumah tangga. Aku belum mahir memasak, masih boros, labil, egois, manja dan masih suka malas-malasan. Segala aspek dalam diriku masih jauh dari kata siap untuk menikah. Tedengar egois memang, tapi itulah pilihanku. Nikah muda tidak ada dalam kamus hidupku, untuk saat ini. Yang ada dalam list hidupku saat ini punya karir bagus, membanggakan orang tua, traveling ke negara impian dan terakhir bertemu dengan jodoh. That's my future plans. Menikah ada diurutan terakhir. Please, jangan hujat aku. Karna aku yakin banyak perempuan yang berpikiran seperti aku. Waktu memasuki usia 22 tahun disaat sedang jenuh dengan perkuliahan, para perempuan akan berkata "Harusnya waktu lulus SMA langsung nikah saja, biar gak stress skripsian, revisi dan menghadapi pembimbing galak". Saat selesai wisuda dan sudah mendapatkan pekerjaan, tapi melelahkan serta tidak sesuai dengan ekspetasi. Sebagian perempuan akan berkata "Harusnya selesai wisuda, nikah, punya anak dan jadi ibu rumah tangga serta hidup bahagia selamanya". Di Indonesia usia 20 tahun sudah dianggap paling matang untuk menikah. Bahkan ada beberapa wilayah yang melaksanakan pernikahan diusia dini. Tapi menikah tidak semudah itu. Menikah juga tidak selamanya perkara punya calon. Bisa jadi ada beberapa alasan lain yang lebih pribadi.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.1K
bc

My Secret Little Wife

read
92.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.3K
bc

Suami untuk Dokter Mama

read
18.4K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook