bc

Daffodil; Darah Kecantikan

book_age18+
68
FOLLOW
1K
READ
sensitive
police
tragedy
bxg
bisexual
mystery
whodunnit
crime
tortured
sacrifice
like
intro-logo
Blurb

Brick, lelaki Amerika yang hidup lama di Indonesia. Dia hampir memiliki kehidupan yang sempurna, pekerjaan tetap dan keluarga yang diimpikan banyak orang. Brick merasa sebagai pria yang paling beruntung, dia selalu membanggakan kehidupan sempurnanya dengan orang lain.

Malang sudah, kesempurnaan itu tidak bertahan lama. Kehidupan sempurna Brick sirna setelah ayahnya, Haris, yang telah meninggal dituduh melakukan sebuah pembunuhan terhadap seorang wanita yang bekerja di sebuah Bank. Tuduhan tersebut menganggu anaknya dan mendapat bullying di Sekolah. Hal ini membuat Brick harus memecahkan misteri tersebut dan membuktikan Ayahnya tidak bersalah.

Semakin jauh Brick menyelidik, semakin banyak luka lama yang tersingkap dan luka baru datang dan menghancurkan kehidupan sempurnanya. Bagaimanapun, setiap orang punya rahasia yang tidak bisa diberitahukan kepada dunia. Akankah Brick mengubur rahasia pahit tersebut atau harus mengungkapkan kebenarannya tetapi masa depan anaknya menjadi taruhan.

chap-preview
Free preview
Prolog; Perempuan Terbaring
Amanda Terlihat seperti iblis, namun berwujud bidadari cantik. Bermain-main di atas rintihan dan remang-remang yang menyelimuti ruangan. Satu dengan mata indah, sedang sibuk dengan benang merahnya. Yang satu lagi, dengan rambut indahnya, sibuk menatap perempuan terbaring sambil tersenyum. Permohonan yang terus terngiang-ngiang di kepala gadis itu menjadi irama indah yang dapat menyenangkan hati mereka. Dia tidak mengerti, mengapa hati para wanita itu sangat gelap. Tiada rasa antara sesama wanita. Seharusnya mereka lebih tahu dan mengerti. Dia wanita, begitupun mereka. Apakah mereka tidak pernah berpikir, bagaimana rasanya berada di posisi perempuan terbaring, jiwanya yang meronta ingin hidup? Atau mungkin rasa manusiawi mereka telah mati. Seperti perempuan terbaring, yang hendak mati dengan darah yang terus mengalir di selang kecil menusuk pembuluh darah. Air mata telah kering. Napasnya pendek dan volume suaranya mulai pelan karena energi hampir habis. Meskipun begitu, ia tidak berhenti memohon untuk membiarkan dirinya tetap hidup. Ada hal yang belum terselesaikan. Dia tidak ingin mati dalam penyesalan. Perempuan terbaring itu hanya ingin pulang. Menemui Ayahnya dan meminta maaf. Tidakkah mereka punya hati untuk memberi izin perempuan terbaring untuk menyampaikan salam perpisahan pada pria tua yang sudah mulai susah berjalan, atau Tuhan yang tidak memberinya kesempatan lagi untuk meminta maaf. Perempuan itu merasa sangat berdosa karena sering meninggikan suaranya kepada pria yang pendengarannya sudah mulai berkurang. Terkadang, emosi tak terkendali, membuat kesadarannya hilang saat kata-kata kasar dan cacian terlontar begitu saja pada pria tua yang sangat menyayanginya sepenuh hati. Setidaknya, biarkan perempuan terbaring itu menyelesaikan masalah dan kesalahpahaman antara dia dan ayahnya. "Aku mohon," rintih Perempuan terbaring. Terakhir kali, bukannya sebuah kebanggaan atau hadiah terbaik yang ia berikan pada ayahnya, justru penghinaan yang dapat menyakitinya. Dia tak bermaksud melukai hati ayahnya. Faktanya, hatinya juga ikut terluka. Namun, gelombang otak yang dipenuhi api yang membakar emosi tidak mampu lagi menahan untuk tidak menyakiti. Dia juga tidak bisa mengalahkan dirinya sendiri. Terkadang, api yang seharusnya dipadamkan justru dibiarkan membara hingga para hati menjadi korbannya. Dia kalah. Dia tidak mampu mengendalikannya yang sewaktu-waktu, yang entah kapan, akan meledak seenaknya. "Maafkan aku. Aku mohon biarkan aku hidup," bisiknya. Perempuan terbaring pernah berpikir untuk menjadi anak kecil selamanya. Menjadi putri kesayangan ayahnya—selalu menurut, berusaha menjadi kebanggaan, putri yang manis dan manja. Namun, seiring usia bertambah, rasa kompetitif ingin menjadi yang terbaik itu, entah ke mana perginya. Rasa ingin menjadi kebanggaan semua orang, menjadi putri yang ingin dimanja, rasa percaya diri, dan selalu berpikiran positif, ke mana semua itu pergi? Setelah menghadapi dunia yang begitu kejam ini, membuat dirinya tidak ingin lagi melakukan apapun. Dunia menjadikannya manusia paling sensitif. Tersentuh sedikit, dia langsung meledak dan tak terkendali. Perempuan itu merindukan masa kecilnya. Dia ingin menjadi anak kecil kesayangan ayahnya, selamanya. Bukan anak kecil yang suka meyakiti dan menjadi beban. "Maafkan Aku." bisiknya lagi. Tenggorokannya telah kering. Dia tidak ingat, kapan terakhir kali ia minum. Di saat-saat seperti itu, ia hanya ingin minum minuman favoritnya, matcha. Minuman yang paling ia sukai, tidak ada rasa yang bisa menggantikan minuman tersebut dilidahnya. Ia ingin minum minuman itu, sebelum menit-menit terakhir menghembuskan napasnya. Dia kembali mengucapkan maaf. Namun, sebenarnya, ucapan maaf itu untuk sang ayah, bukan untuk para wanita itu. Hanya saja, ia tidak bisa lagi mengucapkannya langsung. Sebab, ia sudah sekarat, sudah di ujung maut. Dia berharap, entah pada siapa—malaikat, Tuhan, atau siapapun yang dengan sukarela menyampaikan perasaan maafnya kepada sang ayah. Meskipun, ia tahu itu terdengar mustahil dan konyol. Dia tetap melakukannya dan terus berharap, meskipun ia akan mati. Bibirnya mulai membiru dan tubuhnya seperti daging yang sudah cukup lama berada di dalam lemari es. Wanita bermata indah itu mendekat sambil memegang pisau kecil dan benang berwarna putih. Perempuan terbaring tak tahu apa yang hendak dilakukan wanita bermata Indah itu. "Amanda, kau sangat cantik. Izinkan aku memilikimu," bisiknya di dekat kuping perempuan terbaring. Perempuan terbaring hanya pasrah. Tenaganya sudah hampir habis, dia tidak mampu lagi untuk melawan, berteriak atau meronta seperti pertama kali dia diikat, dan diperdaya oleh dua wanita gila itu. "Bisakah kulit bagian lengannya untukku?" tanya wanita rambut indah. "Aku ingin membuat tas dari kulit indah ini." Si Wanita mata cantik tak menghiraukan rekannya. Ia sibuk mengupas kulit perempuan itu. Sementara, perempuan terbaring menjerit kesakitan. Semakin kesakitan, dua wanita itu tertawa, seakan sedang menonton acara komedi. Tertawa atas penderitaan orang dan tanpa memikul beban di hati mereka. Kekejaman ini sungguh pemandangan yang sangat mengerikan. Darah yang terus ditampung di bak besar sudah mulai banyak. Aroma mengambang ke seluruh ruangan bercampur udara AC yang sudah berjam-jam menemani mereka. Mereka berada di ruang rahasia. Ruangan itu tertutup, hingga tidak ada pergantian udara. Hingga menyebabkan aroma menjadi sangat tajam mengapung di udara. Meskipun begitu, aroma itu tak mengusik aktifitas kejam tersebut. Mereka seperti terbiasa, dan menjadikan aroma itu menjadi aroma ruangan. Setiap sudut ruangan terdapat patung-patung yang dibaluti berbagai pakaian indah, tas, topi dan sepatu. Lalu, ada berbagai macam warna benang dan berbagai kain polos yang bergantung di ujung dekat pintu. Tidak hanya itu, di bawah kaki si perempuan terbaring, terdapat mesin jahit. Kemudian, di belakang mesin jahit ada empat bak besar yang berisi berbagai warna merah, biru, kuning dan air. Ruangan itu seperti layaknya pabrik pakaian. Sisi lain, pemandangan perempuan terbaring telah rabun, pendengaran sudah samar dan suara sudah menghilang. Si perempuan terbaring sudah tak berdaya. Dia tinggal menunggu ajalnya menjemput. Hal terakhir yang dibayangkan perempuan itu, saat melihat ayahnya yang masih terlihat muda, tersenyum padanya sambil berkata, "putriku yang cantik, kau sangat pintar. Ayah bangga padamu." Ayahnya menghelus si perempuan terbaring waktu kecil. Anak kecil itu memeluk boneka doraemon-nya sambil tersenyum dan bahagia saat mendengar ucapan ayahnya. Kemudian, ia memegang jari ayahnya yang sangat besar dalam genggaman. Dia merengek dibeliin mainan baru sebagai hadiah atas kejuaraannya di kelas. Ayahnya tersenyum dan langsung mengajaknya ke toko mainan. Ia merasa senang, bahwa permintaannya selalu dituruti oleh Ayahnya. Rambutnya di kepang dua, dengan menggunakan baju merah polkadot. Kenangannya bersama Ayahnya yang paling membuatnya bahagia. "Terimakasih ... dan maafkan aku, Ayah. Aku mencintaimu," ucap si Perempuan terlentang di dalam hatinya. Detak jarum jam seirama dengan jantungnya yang perlahan-lahan memompa darahnya yang sudah mulai terkuras, akibat darah yang terus mengalir sampai bak besar tersebut, sudah hampir penuh. Wajahnya semakin membiru dan tubuhnya sedingin es. Pendengarannya sudah tak terdengar lagi, lebih tepatnya, semua panca indranya sudah menghilang beserta jantungnya pun perlahan-lahan berhenti memompa. Perempuan terbaring itu dengan rasa penuh penyesalan pada ayahnya, telah mengakhiri semua penderitaan yang telah dipikulnya. Semuanya menjadi tinggal kenangan. Sekarang hanya ada tubuh telanjang, yang separuh tubuhnya sudah tidak memiliki kulit, dan darah dalam tubuhnya hampir terkuras. Kondisi perempuan itu sangat mengenaskan. Tubuhnya yang langsing, yang selalu ia pamer, kini sudah terlihat sangat memprihatinkan, dan semua itu adalah perbuatan dua wanita cantik yang tak memiliki jiwa kemanusiaan.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
9.3K
bc

My Devil Billionaire

read
94.5K
bc

Tentang Cinta Kita

read
186.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
84.6K
bc

Suami untuk Dokter Mama

read
18.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook