Setelah penjelasan super transparan dari Mahendra—yang bahkan terlalu jujur untuk standar keluarga Jawa yang biasa menyimpan hal-hal tertentu untuk obrolan belakang layar—suasana ruang tamu mulai mencair. Bapak yang semula terlihat kaku dan penuh pertimbangan, kini mulai duduk lebih santai. Tangannya tak lagi terlipat di atas lutut, dan senyum tipis mulai muncul di wajahnya. Bahkan beliau sempat menanggapi candaan Mahendra soal dessert yang katanya 'lebih manis dari suasana hati calon mertua'. Tidak butuh waktu lama sampai obrolan bergeser dari pertunangan Nina dan Bima ke topik yang lebih ringan dan santai. "Mas Mahendra pernah ke Solo?" tanya Bapak, suaranya terdengar lebih ramah sekarang. Mahendra mengangguk pelan. “Pernah, Pak. Waktu itu saya nganter Mama beli kain batik di Solo, s

