02 - Identitas baru - Fiona Caitlyn Mackenzie.

1259 Words
Manhattan, New York. 2 jam sudah berlalu sejak Ethan, Livy, dan Patricia sampai di apartemen baru Livy. Ethan memutuskan untuk membawa Patricia ke apartemen baru Livy ketimbang ke tempat lain, seperti apartemennya, atau apartemen lama Livy. Tentu saja Ethan sudah terlebih dahulu berdiskusi dengan Livy. Tanpa pikir panjang, Livy setuju. Malah sebenarnya, sejak awal, Livy ingin agar Patricia di bawa ke apartemen barunya, tempat di mana dirinya dan Patricia akan memulai lembaran hidup baru. Tadi setelah mengantar Livy dan Patricia, Ethan pergi ke markas untuk memberi laporan pada sang atasan, mengatakan pada sang atasan jika misi berjalan dengan lancar. Sesuai dengan janji yang sebelumnya sudah Ethan ucapkan pada Romanov, Ethan akan melindungi Patricia, dan mengganti identitas Patricia, karena itulah, Ethan tidak memberi tahu sang atasan jika Patricia masih hidup. Orang yang tahu jika Patricia masih hidup hanya Livy, Ethan, dan Eden. Eden tidak akan memberi tahu orang lain jika sebenarnya Patricia masih hidup. 1 jam kemudian, Ethan kembali ke apartemen Livy. Malam ini Ethan memutuskan untuk menginap di apartemen Livy. Saat ini Ethan sedang duduk santai di sofa yang berada di ruang tamu sambil menonton televisi, di temani sebotol bir serta beberapa cemilan lainnya. Livy sendiri berada di dapur, sedang sibuk membuat makanan untuk Patricia yang sampai saat ini belum juga sadarkan diri. Ethan beranjak dari duduknya, lalu pergi menuju dapur. Ethan bersandar di pintu dengan kedua tangan bersedekap. "Bagaimana? Apa dia belum sadar juga?" Livy yang sedang membuat makanan menoleh, kemudian menggeleng. "Dia belum sadar juga, Ethan." "Kenapa dia belum sadar juga?" gumam Ethan, bertanya pada dirinya sendiri. "Mungkin karena dosis obat bius yang tadi kita gunakan sangat banyak," ucap Livy tak yakin. "Bisa jadi," gumam Ethan. "Ethan." "Iya." "Apa kamu sudah menyiapkan identitas baru untuk Patricia?" "Bukankah akan jauh lebih baik jika Patricia memilih sendiri nama barunya?" Livy mengangguk, mengiyakan ucapan Ethan. Apa yang Ethan katakan memang benar. Akan jauh lebih baik jika Patricia memilih sendiri nama yang akan menjadi identitas barunya. Brak! Suara barang yang terjatuh seketika mengejutkan Livy dan Ethan. Keduanya sama-sama menolah ke kamar yang Patricia tempati karena dari sanalah sumber suara barang tersebut berasal. Livy dan Ethan berlari, dan membuka pintu kamar Patricia dengan cukup kasar, sampai akhirnya sang penghuni kamar terkejut. "Akhirnya kamu sadar juga," ucap Livy dengan senyum lebar. Livy tak bisa menutupi rasa senangnya ketika melihat Patricia sudah sadar. Livy dan Ethan menghampiri Patricia. Livy duduk di samping kanan Patricia, sementara Ethan memilih untuk tetap berdiri di belakang Livy. "Minumlah." Livy memberi segelas air mineral pada Patricia, dan Patricia menerimanya. Patricia terlebih dulu mengucap terima kasih sebelum akhirnya menenggak sampai habis air mineral pemberian Livy. Livy segera meraih gelas dari tangan Patricia, dan menaruh gelas tersebut di nakas. Livy pikir, Patricia akan kembali menangis seperti sebelumnya, tapi ternyata tidak. Patricia memang tidak menangis, tapi tatapan matanya berubah, tidak lagi sehangat sebelumnya. "Sebaiknya, untuk saat ini, jangan banya mengajukan pertanyaan, dan patuhi saja semua ucapan Ethan." Meskipun ragu, tapi pada akhirnya Patricia mengangguk. Sekilas, Patricia melirik Ethan yang sejak tadi terus menatap lekat dirinya. Jujur saja, tatapan yang Ethan berikan membuat Patricia merasa tidak nyaman. Patricia balik menatap Ethan, dan saat itulah Ethan sadar jika dirinya sejak tadi terus menatap Patricia. Ethan berdeham, lalu mengalihkan tatapan matanya ke arah lain, sebelum akhirnya kembali menatap Patricia. "Jadi, siapa nama yang akan kamu gunakan?" "Maksudnya?" Patricia menatap Ethan dengan raut wajah bingung. Pertanyaan yang baru saja Ethan berikan benar-benar membuat Patricia kebingungan. "Mulai sekarang, kamu tidak boleh menggunakan nama Patricia Lorraine Anderson lagi, kamu akan memiliki indentitas baru, jadi kamu harus mengganti nama kamu." Patricia mengangguk, paham dengan penjelasan singkat yang Ethan berikan. "Fiona," lirih Particia sambil menunduk. Seperti apa yang tadi Livy katakan, Patricia tidak akan banyak mengajukan pertanyaan, termasuk bertanya tentang, kenapa dirinya harus mengganti identitasnya? "Hanya Fiona?" "Fiona Caitlyn Mackenzie." "Fiona Caitlyn Mackenzie," ulang Ethan, dan Patricia mengangguk. "Fiona Caitlyn Mackenzie adalah nama yang bagus." Tanpa sadar, Ethan memuji nama baru Patricia. Patricia tidak menanggapi pujian yang Ethan berikan. Patricia masih setia menunduk, menatap setiap jemari tangannya yang saat ini saling bertaut. Patricia memiliki alasan kuat kenapa memilih nama Fiona Caitlin Mackenzie. Dulu, ketika dirinya masih kecil, mungkin saat itu usianya masih sekitar 5 atau 6 tahun, dan kedua orang tuanya masih hidup, Fiona Caitlin Mackenzie adalah namanya. Dengan kata lain, nama yang saat ini ia gunakan adalah nama palsu, karena nama aslinya adalah Fiona Caitlyn Mackenzie, bukan Patricia Lorainne Anderson. Patricia ingat, dulu, Ayahnya pernah berkata, jika akan ada saat di mana dirinya harus kembali menggunakan nama aslinya, dan mungkin saat inilah yang di maksud oleh Ayahnya. Patricia juga masih mengingat nasehat sang Ayah, yang mengatakan padanya, jika dirinya tidak boleh mempercayai siapapun, dan memberi tahu siapapun jika sebenarnya, nama aslinya adalah Fiona Caitlyn Mackenzie. Patricia tidak tahu, kenapa Ayahnya melarang dirinya memberi tahu orang lain jika nama asli dirinya yang sebenarnya adalah Fiona Caitlyn Mackenzie, tapi 1 hal pasti yang Patricia tahu, itu semua demi kebaikannya sendiri. Patricia juga akan mematuhi nasehat Ayahnya untuk tidak mempercayai siapapun selain dirinya sendiri sendiri. "Fiona!" Panggilan dari Livy berhasil menyadarkan Patricia dari lamunan tentang masa lalunya. Untuk sesaat, Patricia terdiam. Ketika nama masa kecilnya kembali di sebut, tanpa bisa Patricia cegah, ingatan tentang kebersamaan dirinya dengan kedua orang tuanya kembali datang. Patricia jadi merindukan masa-masa tersebut, masa-masa di mana semuanya masih baik-baik saja, dan dirinya merasa begitu bahagia karena di cintai oleh Ayah juga Ibunya. "Fiona, boleh aku memanggil kamu dengan nama itu mulai sekarang?" tanya Livy dengan senyum lebar. Patricia mengangguk. Senyum di wajah cantik Livy semakin melebar. "Jadi, mau makan di sini? Atau mau makan di meja makan?" "Aku tidak lapar." Patricia menggeleng, menolak untuk makan. "Ta–" "Dia tidak lapar, Livy. Jadi sebaiknya kita tidak memaksanya untuk makan." Ethan sudah terlebih dahulu menyela ucapan Livy yang belum selesai. "Baiklah," lirih Livy sambil mengangguk. Livy lalu pamit undur diri, meninggalkan Ethan dan Patricia. "Ada yang ingin kamu tanyakan?" Patricia diam, tidak langsung menjawab pertanyaan Ethan. Tak lama kemudian, Patricia menggeleng. "Baiklah, kalau begitu istirahatlah, ini sudah larut malam." Tanpa menunggu balasan dari Patricia, Ethan melangkah keluar dari kamar Patricia. "Ethan." Panggilan tersebut berhasil menghentikan langkah Ethan. Ethan berbalik menghadap Patricia, menatap Patricia dengan raut wajah datar. "Ada apa? Apa kamu butuh sesuatu?" "Tidak bisakah aku melihat Ayah untuk yang terakhir kalinya?" Patricia ingin sekali melihat sang Ayah untuk terakhir kalinya, setidaknya, ia bisa meyakinkan dirinya sendiri bahwa sang Ayah memang sudah meninggal, dan apa yang terjadi sekarang ini adalah nyata, bukanlah sebuah permainan yang sengaja Ayahnya buat. Ethan menggeleng. "Sayangnya tidak bisa, Fiona. Bagaimana mungkin kamu bisa melihatnya ketika seluruh tubuhnya sudah habis terbakar api? Tak ada yang tersisa, yang tersisa hanyalah abu dari puing-puing mansion yang terbakar." Patricia meremas kuat selimut yang masih menutupi sebagian tubuhnya, seketika sudah bisa membayangkan apa yang terjadi pada Ayahnya. Patricia membaringkan tubuhnya dengan posisi membelakangi Ethan tanpa membalas lagi kata-kata Ethan. Ethan menghela nafas panjang, lalu keluar dari kamar Patricia, meninggalkan Patricia yang pada akhirnya menangis. Dalam tangisnya, Patricia terus meminta maaf, merasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkan sang Ayah, Romanov. 1 jam sudah berlalu sejak Patricia menangis, dan sejak saat itu juga Patricia masih terjaga dari tidurnya meskipun malam sudah larut dan hari baru saja berganti. Patricia sudah tidak lagi menangis, dan saat ini sedang berpikir, mencoba menebak apa yang sebenarnya sudah terjadi. Patricia yakin jika mansionnya bukan terbakar, tapi karena memang sengaja dibakar. "Ayah, Fiona janji, Fiona akan mencari tahu siapa orang yang sudah membakar mansion sampai akhirnya Ayah tewas terbakar di dalamnya. Jika seandainya Fiona berhasil menemukan orang itu, maka Fiona akan membunuhnya menggunakan kedua tangan Fiona sendiri."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD