Chapter 1

2044 Words
Alunan lagu yang terdengar di sebuah cafe mengalun sangat indah dan sangat lembut terdengar di telinga. Entah kenapa hari ini pihak cafe memilih lagu-lagu yang lembut dan manis untuk diputar. Dan di sudut cafe tersebut, tepatnya di meja sebelah dinding kaca yang dapat langsung melihat situasi di luar cafe, seorang wanita duduk tenang bersama sebuah buku di tangannya. Kata demi kata, baris demi baris, ia baca hingga ia membalik halaman buku tersebut untuk kesekian kalinya sejak lima belas menit ia duduk di sana. Tak lupa segelas iced coffee latte yang selalu setia menemaninya. Sepasang mata wanita itu fokus pada buku bacaannya. Tak sedikit pun pandangannya beralih dari buku bacaannya meski suasana di sekitarnya sangat bising karena orang-orang yang berada di cafe tersebut tak henti-hentinya berbincang serta pelayan yang berlalu-lalang mengantarkan pesanan. Dan wanita itu adalah Navaya Almaira. Seorang wanita berusia 22 tahun yang baru saja lulus kuliah satu minggu yang lalu dan sampai sekarang, ia masih menjadi pengangguran karena suatu hal yang mengharuskannya menunda untuk mulai bekerja. Navaya merupakan gadis berparas cantik dengan kulit seputih susu. Matanya tak terlalu sipit, tapi juga tak terlalu besar. Hidungnya mancung, bibir atasnya lumayan tipis sementara bibir bawahnya lumayan tebal. Navaya memiliki rambut yang sangat halus sebahu dengan warna kecoklatan. Tubuhnya yang setinggi 162 cm serta pinggang yang ramping membuat proporsi tubuhnya menjadi idaman beberapa wanita. “Hei!” sapa seorang wanita seraya menepuk sebelah bahu Navaya membuat wanita yang tengah fokus membaca itu tersentak kaget. “Ya, ampun! Zoya, sudah berapa kukatakan untuk berhenti datang tiba-tiba dan mengejutkanku seperti itu” tegur Navaya, menatap sedikit kesal pada Zoya yang hanya membalasnya dengan kikikan sembari duduk di hadapan Navaya. “Salahmu sendiri, aku sudah memanggilmu beberapa kali dari luar jendela tadi, tapi kau tidak mendengarku. Aku bahkan sudah memberimu beberapa tanda, tapi kau tetap mengabaikanku,” jelas Zoya. “Harusnya kau tahu kalau seluruh dinding di cafe ini kedap suara, terlebih suasana bising di dalam cafe ini. Dan kupikir kau sudah cukup memahamiku untuk tahu kalau aku sedang membaca, aku tidak akan memedulikan apa pun,” tutur Navaya. “Ah! Aku melupakan yang satu itu. Bahkan mungkin jika aku mati di hadapanmu, kau juga tidak akan peduli,” ucap Zoya. “Exactly,” ujar Navaya membuat Zoya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku tak percaya memiliki sahabat sepertimu,” ucap Zoya. “Aku juga memikirkan hal yang sama,” balas Navaya. “Semakin hari, kau semakin pintar membalas ucapanku, ya,” sindir Zoya. “Bukankah kau harusnya bangga memiliki sahabat yang pintar dan cepat bersosialisasi sepertiku?” tanya Navaya bangga dengan dirinya sendiri? Sejujurnya, ia bukanlah tipe orang yang senarsis itu. Sifat itu hanya ia keluarkan saat ia bersama Zoya. Satu-satunya orang yang mengenalnya dengan baik melebihi keluarganya sendiri. “Bangga? Mungkin orang yang baru mengenalmu akan melakukan itu. Tapi, tidak bagiku yang sudah mengenalmu sejak SMP,” tolak Zoya yang bertepatan dengan seorang pelayan yang membawakan pesanannya, segelas iced lemon tea. “Semakin hari, kata-katamu juga semakin menusuk hatiku,” ujar Navaya sedikit dramatis. “That’s why you still want to be friends with me, right?” tanya Zoya percaya diri. Dan ya, ucapannya itu memang tepat sasaran. “Aku memang tidak salah memilihmu sebagai temanku,” ucap Navaya seraya tersenyum membuat Zoya semakin tersenyum bangga pada dirinya sendiri. Navaya memang sangat bersyukur karena selama ini, Zoya selalu berada di sampingnya dalam duka maupun suka. Dan Zoya menjadi satu-satunya orang yang mau menerima semua kekurangannya. Sekaligus menjadi satu-satunya orang yang mampu mematahkan sikap kakunya sejak pertemuan pertama mereka di Sekolah Menengah Pertama. Navaya yang sejak dulu tak memiliki teman karena sikap pendiam, tertutup, dan kakunya, akhirnya mendapatkan seorang sahabat saat ia berada di kelas satu Sekolah Menengah Pertama. Satu-satunya orang yang membuatnya bersyukur telah terlahir di dunia ini. Flashback On. “Hai,” sapa Zoya remaja menghampiri Navaya remaja yang tengah membaca buku di mejanya. Sementara Navaya hanya memandang Zoya tanpa membalas sapaan Zoya. “Siapa namamu?” Tanya Zoya. “Navaya Almaira,” jawab Navaya setelah terdiam beberapa saat membuat Zoya tersenyum. “Hai, Navaya. Namaku Zoya Nazilla Elmeira,” balas Zoya seraya mengulurkan tangan kanannya pada Navaya. Selama beberapa saat, Navaya hanya menatap uluran tangan Zoya sebelum akhirnya membalas uluran tangan gadis yang tengah tersenyum lebar itu. “Mulai sekarang, aku akan menjadi temanmu dan kau akan menjadi temanku,” putus Zoya seraya tersenyum lebar. Sejak perkenalan mereka hari itu, Zoya mulai mengikuti Navaya ke mana pun gadis itu pergi dan selalu berada di samping Navaya. Ia bahkan tak peduli dan terus bersabar pada Navaya yang hanya diam dan membalas kata-katanya dengan satu atau dua kata. Zoya juga sering mengusir para laki-laki hidung belang di usia dini dari kelas sebelah yang selalu datang ke kelas mereka hanya untuk menggoda Navaya. Bahkan ia pernah melabrak sekelompok laki-laki saat ia tanpa sengaja mendengar kalau mereka akan menjadikan Navaya sebagai bahan taruhan. Dengan alasan kalau Navaya adalah gadis yang sulit untuk ditaklukkan. “DASAR SAMPAH-SAMPAH MENJIJIKKAN! BEDEBAH LICIK! ENYAH SAJA KALIAN DARI MUKA BUMI INI!” teriak Zoya yang diikuti oleh beberapa nama-nama binatang lainnya untuk menunjukkan betapa marahnya ia pada laki-laki yang masih di bawah umur itu tapi sudah memikirkan hal-hal busuk seperti itu. Dan seiring berjalannya waktu, kesabaran Zoya pada sikap pendiam Navaya akhirnya membuahkan hasil. Navaya mulai membuka diri padanya dan mau menggubris setiap kalimat yang ia lontarkan. Hingga secara perlahan, status teman di antara keduanya berubah menjadi sahabat yang tak terpisahkan. Flashback Off. “Yaya, kau tahu kenapa saat itu aku menghampirimu dan mengajakmu berkenalan?” tanya Zoya saat mengingat masa-masa awal pertemanan mereka dulu. “Kenapa?” tanya Navaya. “Karena kau cantik,” jawab Zoya tanpa pikir panjang. “Alasan macam apa itu?” tanya Navaya tak percaya. Keningnya bahkan sedikit mengerut. “Aku serius,” ucap Zoya. “Ketika aku sedang meneliti semua teman kelas kita hari itu, hanya kau satu-satunya yang duduk diam di tempat dudukmu dengan sebuah buku seperti saat aku belum datang ke sini. Saat itu juga aku langsung memuji wajahmu yang sangat cantik. Dan kau tahu betapa konyolnya pikiranku saat itu? Kupikir, jika aku berteman denganmu, aku juga akan ikut menjadi cantik sepertimu,” ungkapnya kemudian terkekeh pelan. Navaya pun tak bisa menyembunyikan kekehannya karena ucapan Zoya yang terlampau jujur dan benar-benar sangat konyol. Ia bahkan tak tahu dari mana sahabatnya itu mendapat pemikiran seperti itu. “Tapi, Zozo. Sebenarnya, kau ini juga sangat cantik. Apa lagi dengan kulitmu yang kecoklatan membuatmu terlihat manis. Kau saja yang tidak sadar,” ucap Navaya. “Kau mengejekku, ya?” tanya Zoya seraya menyipitkan matanya. “Aku tidak akan menyangkal kalau kau ingin menganggapnya seperti itu,” gurau Navaya membuat Zoya berdecak. “Bagaimana pekerjaanmu hari ini?” tanyanya mengalihkan pembicaraan yang membosankan itu. Walaupun pertanyaannya kali ini juga cukup membosankan. Karena, ia selalu menanyakan itu setiap hari sejak Zoya sudah menandatangani kontrak kerja di sebuah perusahaan saat mereka masih berada di semester akhir yang kadang membuat Navaya iri karena Zoya bisa bekerja kapan pun ia mau. “Seperti biasa. Kau tahu? Tak ada yang spesial dari bekerja. Bekerja hanya membuatmu lelah dan menambah beban pikiranmu,” gerutu Zoya karena pekerjaan yang tak henti-hentinya berdatangan padanya. “Harusnya kau bersyukur karena bisa langsung menandatangani kontrak kerja walaupun saat itu statusmu masih kuliah. Di luar sana, ada banyak orang yang ingin mendapatkan pekerjaan,” ujar Navaya. “Aku salah satunya,” lanjutnya lemah. Zoya lantas menatap prihatin pada Navaya yang harus menunda melamar pekerjaan di berbagai perusahaan karena larangan keluarganya hanya untuk mengikuti perjodohan yang telah di atur oleh Anthony –almarhum kakek Navaya- dan Evan –almarhum kakek dari pihak pria-. Jauh sebelum Navaya lahir, Anthony dan Evan yang memang telah bersahabat sejak kecil memberikan wasiat untuk menjodohkan cucu mereka kelak. Hal yang tidak bisa mereka lakukan pada anak mereka dulu karena anak mereka sama-sama perempuan. Sebenarnya, pernikahan antar kedua keluarga tersebut sudah terlaksana. Di mana Chessy Alisha –kakak Navaya- yang harusnya menikah dengan pria itu. Namun, saat pihak pria mengetahui keberadaan Navaya yang saat itu masih kuliah dan hanya berbeda 2 tahun dari Chessy, akhirnya mereka memutuskan untuk melaksanakan perjodohan setelah Navaya menyelesaikan kuliahnya. Lalu, mereka akan membiarkan sang pria memilih di antara Chessy dan Navaya agar tidak terlalu membebani pria tersebut. Walaupun hal itu sedikit kejam bagi Chessy dan Navaya yang merupakan saudara kandung. Hal itu jugalah yang membuat Navaya dilarang bekerja untuk sementara waktu sampai perjodohan dilaksanakan. Karena, siapa pun di antara Chessy dan Navaya yang menikah dengan pria itu kelak, dia tidak akan diizinkan untuk bekerja. Hal itu sudah menjadi sebuah tradisi di keluarga sang pria. “Yaya, jangan menyerah. Mereka ‘kan belum mengambil keputusan,” ucap Zoya berusaha menenangkan Navaya. “Ya, kau benar. Kuharap, bukan aku yang dipilih. Lagi pula, siapa yang akan mau menikah dengan wanita sepertiku?” tanya Navaya. “Memangnya kau wanita seperti apa?” tanya Zoya balik. Wanita itu tampak sedikit kesal mendengar ucapan Navaya yang terdengar merendahkan dirinya sendiri. Selalu seperti itu saat mereka membicarakan hal sensitif seperti pernikahan. “Zozo-” “Kau cantik, baik, pintar, lembut, kau bahkan tidak pernah marah atau membenci orang lain,” potong Zoya. “Kau itu punya banyak kelebihan Yaya, jadi berhenti merendahkan dirimu sendiri seperti itu. Aku tak suka mendengarnya,” lanjutnya. “Tapi, bukankah memang seperti itu kenyataannya? Aku ... kau sendiri tahu bagaimana sifatku saat awal pertemanan kita,” ucap Navaya. “Saat itu ‘kan kita belum saling mengenal baik, jadi wajar kalau kau bersikap seperti itu,” ujar Zoya. “Itu namanya waspada. Tidak semua orang baik di dunia ini, kau harus pandai memilah mana yang benar-benar baik dan mana yang hanya ingin mengambil keuntungan darimu,” lanjutnya. Navaya lantas tersenyum mendengar penuturan Zoya. Di saat Navaya selalu merendahkan dirinya sendiri, ada Zoya yang selalu menangkis semua kalimat-kalimat buruk yang Navaya lontarkan. Zoya bahkan tak segan untuk memarahi Navaya kalau wanita itu tak juga berhenti merendahkan dirinya sendiri. “Terima kasih, Zozo,” ucap Navaya yang sangat bersyukur memiliki Zoya yang selalu berada di sisinya. “Ucapkan itu saat semua ucapanku terbukti benar dan ucapanmu salah,” ujar Zoya membuat Navaya terkekeh. “Oh, ya. Bukankah besok adalah harinya?” tanyanya yang merujuk pada hari di mana Navaya bertemu dengan pria yang akan memutuskan siapa yang menjadi istrinya. “Ya,” jawab Navaya yang kembali terlihat murung. “Kenapa kau murung lagi? Ayo, semangatlah! Kau harus semangat agar kau yang dipilih!” seru Zoya. “Aku justru berharap kalau bukan aku yang akan dipilih,” ucap Navaya. “Kenapa?” tanya Zoya. “Selain karena alasan tadi, aku juga belum siap untuk menikah. Dan lagi, aku ingin bekerja sepertimu,” ungkap Navaya. “Kalau begitu, persiapkan saja dirimu mulai dari sekarang. Urusan cinta belakangan, kalian bisa saling mencintai seiring berjalannya waktu. Lagi pula, kenapa kau mau bekerja di saat kau sudah bergelimangan harta seperti sekarang?” ujar Zoya. “Dan lagi, kalau kau yang dipilih, kau bisa keluar dari rumahmu dan bebas dari nenek sihir dan parasit itu, bukan?” tanyanya. Panggilan nenek sihir yang merujuk pada Chessy, sementara parasit merujuk pada Devan Agrata –adik Navaya dan Chessy-. Hubungan Navaya dan kedua saudaranya itu memang tidak bisa dibilang baik. Chessy yang tidak menyukai Navaya tanpa alasan selalu melontarkan kata-kata yang kejam pada Navaya. Sedangkan Devan yang melihat Navaya gampang diperintah, selalu menyuruh sang kakak mengerjakan semua tugas-tugasnya dan akan marah kalau Navaya menolaknya dengan alasan kalau ia juga sibuk mengerjakan tugas-tugasnya. “Tapi, menikah juga bukan jalan keluar yang bagus. Ibarat keluar dari kandang harimau dan masuk ke kandang singa,” ucap Navaya. “Kenapa kau menyebutnya kandang singa? Bisa saja setelah kau menikah, kau bisa menjalani kehidupanmu seperti yang kau inginkan selama ini. Kau bisa melakukan hal-hal yang selama ini tidak bisa kau lakukan. Dan karena nanti kau akan punya banyak waktu luang, kau bisa sering-sering mengunjungiku di apartemen-ku. Kalau kau bosan di rumah, kau bisa membantuku mengerjakan pekerjaanku,” tutur Zoya. Navaya lantas terkekeh mendengar penuturan Zoya. Wanita itu selalu saja mengambil kesempatan sekecil apa pun dalam kesempitan. Satu hal yang sangat mencerminkan seorang Zoya Nazilla Elmeira. “Pokoknya, aku tidak mau lagi mendengar kalimat menyedihkan dari mulutmu. Kau harus selalu optimis, ok!” seru Zoya semangat yang hanya dibalas senyuman oleh Navaya. ------- Love you guys~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD