"Tapi...?" ucapan Zira terhenti saat melihat manik hitam Steve menatapnya, ia pun langsung menundukkan kepalanya kembali memandangi kedua kakinya.
Dalam diamnya, Zira tengah merencanakan sesuatu, ‘Pria ini membawaku ke hotel, itu berarti dia merencanakan hal buruk. Hmmmm aku harus bisa kabur darinya. Tapi bagaimana? atau mungkin aku harus pura-pura jika pria ini memaksaku untuk ikut dengannya, jika aku membuat keributan pasti nanti akan ada yang menolongku, iya kan?’
Saat mobil terparkir di depan hotel Steve tiba-tiba menarik tangan Zira hingga membuatnya kaget. Zira meringis kesakitan, tapi tetap berusaha keluar dari mobil dan melangkah mengimbangi langkah kaki jenjang Steve.
"Lepaskan aku! jangan paksa aku untuk ikut denganmu!" teriak Zira tiba-tiba, yang mengundang perhatian di lobi hotel. Ia membuat semua orang menatap ke arah mereka.
Steve melirik ke sekelilingnya, lalu kembali menatap Zirah, ia menyunggingkan senyum dan berkata pada Zira, "apa kamu akan melakukan hal bodoh lagi, dan berharap akan ada orang yang menolongmu?"
Zira menatap sekitar, orang-orang yang tadi sekilas menatapnya kini sudah kembali ke aktivitas mereka kembali, seakan tidak terjadi apa-apa. Semua tak sesuai harapannya.
Tiba-tiba Steve kembali menarik tangan Zira, hingga membuat Zira tersentak kaget dan membawanya menghampiri pintu lift.
Zira akhirnya sadar telah melakukan kesalahan.
"Tuan tolong maafkan aku, aku mengaku salah telah melibatkanmu dalam masalahku, dan tidak seharusnya kamu menolongku untuk membayar hutangku. Aku mohon jangan paksa aku untuk ikut ke kamar hotelmu, beri aku waktu agar bisa secepatnya mengembalikan semua uangmu," ucap Zira. Mata dengan manik coklat itu menatap Steve memelas, seakan menunjukkan penyesalan.
Steve tersenyum remeh mendengar ucapan Zira. "Apa kamu pikir semudah itu aku akan memaafkanmu?"
"Tuan aku janji akan mengembalikan secepatnya, tapi aku mohon beri aku waktu," rengek Zira.
Steve mengambil ponselnya dan terlihat menghubungi seseorang, setelah panggilan selesai tak lama kemudian Han datang menghampiri mereka.
Steve menatap Zira tajam. "Aku beri kamu waktu dua hari, jika kamu tidak bisa mengembalikan dalam jangka waktu yang aku berikan, maka bersiaplah kamu untuk memuaskanku," gertaknya.
"Ba-baik tuan saya setuju," jawab Zira.
"Han antar dia pulang dan pastikan itu adalah rumahnya, aku tidak mau sampai gadis ini kabur dan membohongiku."
"Baik tuan. Nona mari ikut saya."
Zira melangkahkan kakinya mengikuti Han. Setelah memberi tau alamat rumahnya, Zira kembali diam dalam keadaan sunyi. Sesekali ia melirik ke arah Han yang berwajah serius.
‘Orang ini tidak jauh beda dengan bosnya, mukanya tidak kalah gantengnya tapi justru jauh lebih dingin dan seram. Apa mungkin mereka ini yang disebut ganteng-ganteng serigala kaya di sinetron itu,’ pikir Zira. Ia sedikit tersenyum karena pikirannya sendiri yang terlalu absurd.
"Nona anda sudah sampai."
"Ah ya, terimakasih sudah mengantarkan saya tuan."
"Hem."
"Tuan boleh saya tau nama anda biar gampang memanggilnya?"
Han melirik tajam ke arah Zira tanpa menjawab. Glek! Zira menelan ludahnya saat melihat mata tajam itu menatapnya, dengan buru-buru ia membuka pintu mobil dan langsung keluar.
Setelah Zira menutup pintu mobil, Han pun langsung melaju meninggalkan gadis yang masih berdiri di depan pintu gerbang.
"Huh dasar orang kaya aneh, di tanya nama saja malah mukanya kaya srigala lapar," gumamnya. Zira menghela nafasnya, hari ini cukup melelahkan baginya, ia kembali mengayunkan kakinya menuju pintu rumah.
Satu hari yang terasa satu minggu bagi Zira , benar-benar hari yang melelahkan dimana dia lepas dari satu masalah, tapi justru hadir masalah baru yang lebih rumit.
Zira membuka pintu, tapi betapa terkejutnya ia saat melihat ayah dan adik tirinya ada di rumah. Ia kaget karena itu bukanlah hal yang biasa. Biasanya, jam segini ayahnya sedang pergi entah kemana, begitu juga dengan adiknya yang pasti tengah jalan-jalan bersama teman kuliahnya.
Zira menutup pintu sambil bergumam dalam hatinya, ‘Pasti ada yang mereka inginkan saat berperilaku tidak seperti biasanya. Aih, sungguh hari yang melelahkan.’
"Akhirnya kamu pulang juga," cletuk Keyla adik tirinya.
"Tumben kalian sudah ada di rumah?" sahut Zira.
Keyla berdiri sambilberkacak pinggang menatap Zira, ia pun segera mengeluarkan suara dengan nada sinis, "Aku dan bapak sudah menunggu kamu dari jam empat sore, kamu kemana saja? Bukannya hari ini kamu seharusnya pulang kerja jam tiga, atau jangan-jangan kamu ngeluyur dulu," ucap Keyla sambil menyunggingkan senyuman.
Zira hanya melirik adik tirinya, ia enggan meladeni ucapan Keyla yang selalu tidak pas di hati dan telinganya, lalu matanya menuju pada ayah tirinya.
"Bapak, kemana uang yang aku berikan bulan lalu untuk melunasi hutang pada Pak Seno? Hari ini anak buahnya mengejar, dan memaksaku untuk membayarnya dua kali lipat.”
"Em, Zira sebenarnya bapak sudah pakai uang itu dulu untuk membayar kuliah Keyla, Bapak khawatir jika telat bayar nanti dia tidak bisa ikut wisuda tahun ini."
Zira kaget dengan penjelasan ayah tirinya. Pantas saja hari ini anak buah Pak Seno bersikeras meminta uang padanya, ia pikir hutang ayahnya sudah lunas tapi ternyata justru dipakai untuk hal lainnya.
Seribu alasan selalu bisa diucapkan ayah tirinya yang hobi berjudi itu. Zira yakin uang itu habis bukan hanya untuk biaya kuliah Keyla, tapi ayahnya pasti menggunakan sisa uang tersebut untuk berjudi.
"Ya sudahlah." Zira pasrah dengan penjelasan ayah tirinya, ia benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran Beni.
Zira pun melangkah ke kamarnya.
"Zira, bapak berniat menjual rumah ini dan membeli rumah yang lebih kecil," ucap Beni.
Langkah Zira terhenti, ia menoleh dengan mata Zira terbelalak. “Maksud bapak apa?”
"Dengar Zira, kita tidak ada pilihan lain selain menjual rumah ini, ingat ibumu masih harus banyak mengeluarkan uang untuk biaya perawatannya, tapi semua tabungan bapak sudah habis."
"Bapak aku masih bisa bekerja, kenapa harus menjual satu-satunya rumah kita?"
Zira tentu tidak akan setuju dengan keputusan ayah tirinya itu, mana mungkin dia mengizinkan ayahnya menjual rumah yang sangat berharga baginya.
"Uang hasil kerjamu hanya cukup untuk membayar perawatan ibumu, tidak untuk kebutuhan kita terutama biaya kuliah Keyla,"
Zira kembali menatap Keyla. "Dia bisa berhenti kuliah dulu sampai ibu sembuh."
"Apa?! Zira apa aku tidak salah dengar…?" pekik Keyla. Ia menghampiri Zira, "Kamu jadi kakak seharusnya lebih bisa mikir, dong! Ibu itu tinggal matinya saja kenapa kamu masih saja mempertahankannya. Hanya buang-buang uang! tapi malah justru memilih menghancurkan masa depanku. Daripada kamu ngorbanin aku, mendinng ibu kamu yang—”
Plakkkkk!
Zira mengayunkan tamparannya ke pipi mulus Keyla, sebelum Keyla menyelesaikan ucapannya. Ia menatap tajam ke arah adik tirinya, terlihat jelas amarah yang begitu besar disorot matanya.
Zira tidak terima Keyla berkata kasar pada ibunya, meski memang ibunya hampir satu tahun hanya terbaring di rumah sakit, karena penyakit stroke dan gagal ginjal yang dideritanya. Tapi bagi Zira, ibu adalah harta paling berharga baginya, dan ia tidak akan pernah rela siapapun menghina ibunya termasuk adik tirinya.
Zira sudah menjual sebagian harta orangtuanya. Namun uangnya habis tidak hanya untuk perawatan ibunya saja, tapi juga untuk judi oleh ayah tirinya dan Keyla yang gemar shopping.
Meski Zira selalu menegur hobi mereka yang tidak berguna, tapi ia selalu kalah dan harus mengalah hanya demi menjaga pikirannya tetap waras.
Zira masih menatap Keyla yang tengah mengelus pipinya. Beni pun segera menghampri mereka.
"Keyla jaga ucapanmu pada Zira, bagaimana pun juga dia adalah kakakmu!" ucap Beni pada putrinya.
"Pah kok malah bela dia! Papah sendiri liat dia yang menamparku kan?"
"Masuk ke kamar kamu sekarang juga, Keyla!"
"Tapi, Pa—"
"Masuk!"
Mendengar bentakan ayahnya yang serius, Keyla pun pergi melangkah ke kamar, dengan berjalan sedikit menghentakkan kakinya. Terlihat jelas ia sangat kecewa dengan ayahnya.
Beni menghela nafas, lalu menatap Zira.
"Zira maafkan Keyla, di usianya yang masih labil dia masih sulit menjaga sikap."
"Itu karena bapak yang selalu memanjakan Keyla."
"Sudahlah, lebih baik kita bahas tentang ibumu!" ucap Beni mengalihkan pembicaraan. "Zira bapa memang memakai uang itu dulu, tapi bapak juga sudah mendapatkan pinjaman yang lebih dari tuan Bramanto, bapak meminjam seratus juta."
Ucapan Beni membuat Zira kembali membelalakkan matanya. "Untuk apa Bapak pinjam uang sebanyak itu?!"
"Bapak berencana untuk membayar biaya rumah sakit ibumu yang tertunda, dan melunasi setiap hutang kita. Sisanya bisa untuk modal usaha. Bapak juga bisa mengembalikannya dengan cara mencicil, hanya saja pak Bramanto memberikan sarat."
Zira mengernyitkan dahinya.