bc

A Thesis of Marriage

book_age16+
2.0K
FOLLOW
16.3K
READ
love-triangle
family
teacherxstudent
love after marriage
arranged marriage
drama
comedy
bxg
humorous
like
intro-logo
Blurb

Bagi semua mahasiswa, ngejulidin dosen itu asik. Apalagi dosen-dosen killer dan menyebalkan, tak terkecuali Freya Ananda. Namun, Freya harus menyesal setengah mati setelah bermain ToD karena tantangan 'Dare' yang ia terima dari teman-temannya adalah mengatakan 'I Love You' pada Pak Reza, dosen muda, ganteng, tapi killer, yang selalu jadi bahan kejulidan ia bersama gengnya. Tidak hanya sampai di situ, ternyata ucapan Freya didengar oleh sang ketua jurusan yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Masalah baru pun datang, ayahnya menghendaki Freya untuk menikah dengan Pak Reza untuk menghindari skandal ToD itu. Bagaimanakah Freya menjalani kehidupan rumah tangganya yang seperti skripsi berjalan serta menundukkan hati dosen killer itu?

chap-preview
Free preview
Truth or Dare
Menurut Freya, gadis 23 tahun yang statusnya masih menjadi seorang mahasiswi di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris mengatakan bahwa semester delapan adalah semester yang bisa dibilang gampang-gampang susah. Why? Yahh, meskipun sudah terbebas dari berbagai macam tugas kuliah dan teori-teori yang memabukkan. Pada semester ini setiap mahasiswa dituntut untuk segera menyelesaikan tugas akhir alias skripsi.             Sebenarnya skripsi bukan masalah besar bagi Freya kalau saja ia dapat dosen pembimbing yang baik hati dan mudah ditemui untuk bimbingan. Namun, baginya kini skripsi adalah big disaster setelah ia mengetahui nama dosen pembimbingnya. Kini, gadis itu menghela napas berat di depan kantor jurusan.             “Fre, what are you doing here?”             Freya terlonjak kaget, gadis itu menoleh dengan cepat. Moodnya menjadi semakin buruk saat tahu bahwa yang memanggilnya barusan adalah seorang laki-laki bertubuh tambun, sang ketua jurusan yang galaknya minta ampun dan tak lain adalah ayahnya sendiri.             “Apa itu daftar dosen pembimbing skripsi?” Ayahnya melirik kertas yang disembunyikan Freya di belakang tubuhnya. “Jadi, siapa nama dosen pembimbingmu?”             Freya cemberut. Ia sungguh tak habis pikir. Kenapa pula ayahnya harus bertanya kepadanya kalau ayahnya sendirilah yang menentukan dosen pembimbingnya.             “Bolehkah saya ganti dosen pembimbing?” tanya Freya dengan tampang memelas.             “Lho, memangnya ada yang salah dengan Pak Reza?”             Tuh kan bener kalau ayahnya sudah tahu nama dosen pembimbingnya. Akhirnya, Freya melengos pergi begitu saja karena sudah tahu bakal percuma. Ayahnya tidak pernah menganggapnya sebagai anak kandung bila mereka sedang di kampus. Bahkan sejak pertama kali masuk kuliah, ayahnya sudah mewanti-wanti dan melarang keras untuk memanggilnya ‘Papah’ selama mereka berada di lingkungan kampus.             Hasilnya sudah bisa ditebak, tak ada seorangpun teman Freya yang tahu kalau sang ketua jurusan mereka adalah ayah Freya. Mereka tetap leluasa julid tentang ayahnya dan Freya hanya bisa pasrah sebagai pendengar.             Freya sendiri sejak semester satu sudah menghindari mata kuliah ayahnya yang konon katanya, tugas-tugas yang diberikan selalu melampaui batas kemampuan mahasiswa. Nahasnya, kenapa selalu saja hanya ada dua pilihan dosen di mata kuliah yang sama di KRS; ayahnya atau Pak Reza.             That’s a difficult choice you know? Pilihan itu sangat sulit dan membuat Freya dilema. Bukan hanya Freya, tapi setiap mahasiswa. Meskipun masih termasuk dalam jajaran dosen muda, level kekilleran Pak Reza tidak main-main. Si Raja Tega itu benar-benar bisa ngasih nilai D tanpa belas kasihan di KHS kalau nilai tugas dan ujian mahasiswanya tidak sesuai standar ekspektasinya. Parahnya, standar penilaian Pak Reza terlalu tinggi bagi mahasiswi abal-abal macam Freya.             Freya terus berjalan dengan kesal menuju kantin fakultas. Nampak dua sahabatnya. Shofi dan Eva yang sudah duduk sambil menikmati makanan mereka. Freya menggeret kursi dengan kasar dan menyerobot es teh milik Eva.             “Heh, Fre...”             “Gue nggak terima!” teriak Freya membuat seisi kantin itu menoleh padanya. Eva yang baru saja hendak protes karena es tehnya diserobot jadi takut.             “Gue nggak terima kalau si raja tega, si manusia es, si robot terminator, si... si...” Freya kehabisan kata-kata untuk mengumpat Pak Reza. “Pokoknya gue nggak terima dia jadi dosen pembimbing gue. Bisa-bisa sampai gue semester sepuluh skripsi gue baru kelas proposalnya doang!” ujarnya bersungut-sungut.             “Apanya yang baru kelar semester sepuluh sih, Fre?” Shofi menatapnya bingung.             Sementara itu Eva meraih lembaran kertas yang tadi dibawa Freya, ia mengangguk maklum dan menatap Freya prihatin. “Turut berduka cita, yahh.”             “Emangnya lo dapet dosbing siapa, Va?” tanya Freya penasaran.             Eva tersenyum lebar. Ia menyeruput es tehnya sebentar sebelum melambaikan lembaran kertas yang tadi ia terima. Freya segera merebutnya.             “Apa??? Kok bisa si elo dapet Oma, trus seperbimbingan sama Alvin, Brio, Shofi, dan... Ihh curang. Va, eo pasti nyogok yaa!” Freya terlihat tidak terima.             “Yee, ngasal. Nyogok pake apa? Pake cinta?” balas Eva.             Tiba-tiba Alvin dan Brio ikut bergabung dalam forum kecil itu. Kelihatannya dua cowok itu juga baru keluar dari kantor jurusan.             “Gue ketinggalan berita apa nih?” Brio menggeret kursi di samping Freya.             “Tuh, Freya nggak terima soalnya dapat dosbing Pak Reza. Trus gue dibilang nyogok lagi gara-gara bisa seperbimbingan sama elu-elu pada,” jawab Eva mewakili Freya.             Freya tertunduk lesu sambil terus mengamati nama-nama teman seperbimbingannya. Setahu Freya nama-nama itu adalah mahasiswa-mahasiswi berprestasi yang pernah memenangkan berbagai macam lomba. Dia jelas paling abal-abal di antara mereka. Jangankan lomba ataupun olimpiade, waktu rapat UKM aja Freya sering melipir entah kemana.             “Lo harusnya udah punya masalah dan nentuin judul,” tukas Alfin memberi masukan Freya.             “Gue udah punya masalah dari dulu, Fin. Pak Reza itulah masalah gue!” pekiknya frustasi.             Alfin memilih diam, takut kena amuk Frea kalau ia buka mulut lagi.             “Gimana kalau gue bantuin elo bikin judul?” tawar Brio dengan heroik.             “Ogah, judul yang elo buatin tuh pasti gak berkualitas yang ujung-ujungnya jangankan dibaca, ngelihat aja Pak Reza pasti udah nggak sudi!” tolak Freya mentah-mentah.             “Eh, dengerin gue dulu nih.” Brio memandang mereka satu per satu dengan tampang serius. Mau tidak mau Freya, Alfin, Shofi, dan Eva memberikan perhatiannya karena cowok absurd itu jarang sekali ngomong serius.             Alfin memicingkan mata dengan curiga. “Jadi, apa judulnya?”             “Pengaruh Kejombloan Dosbing terhadap Tingkat Kekilleran pada Mahasiswa Bimbingannya kalau di Bahasa Inggriskan jadi The Influence of Single Supervisor....”             Brukkk!!!             Alfin memukul pundak Brio dengan tas ranselnya sebelum cowok itu sempat menyelesaikan kata-katanya. Alfin si cowok cool itu pasti merasa menyesal dan sia-sia sudah merelakan sepuluh detik berharganya untuk mendengarkan pendapat Brio yang ujung-ujungnya nggak berguna.             “Boleh juga tuh, dijamin lulus Cum Laude,” cemooh Eva.             “Atau mungkin gini aja Fre judulnya.” Semua anak kini menoleh pada Shofi yang sedari tadi lebih banyak diam. Pendapat Shofi biasanya paling masuk akal dan bisa diandalkan selama ini.             “Gimana-gimana?” tanya Freya tak sabar.             “Improving the Writing Skill through Chatting with Single Supervisor,” kata Shofi dengan wajah innocentnya.             “Sialan lo!” umpat Freya. “Thanks guys, kalian bener-bener temen yang solider!”             Brio dan Eva tertawa ngakak. Shofi hanya tersenyum simpul. Sementara Alfin memilih tidak pedulu dan menyalakan rokoknya.             “Oh ya, ngomong-ngomong elo beneran baru putus sama Dannis, Fre? Kok nggak cerita sih sama kita-kita!” tanya Brio tanpa merasa berdosa sama sekali karena menambah suasana hati Freya menjadi semakin buruk.             “Tauk ah!” tukas Freya ketus.             Sementara itu Shofi berusaha menetralkan suasana. “Udah lah Bri nggak usah dibahas. Freya kan lagi bete dan jarang-jarang kan kita ngumpul kayak gini. Gimana kalau kita main ToD?”             “Kek anak kecil aja!” tukas Alfin.             “Gue maunya SoS!” usul Eva.             “Rempong amat lu, Va. SoS harus pake kertas! Jaman sekarang tuh kita harus go green, kertas digunain buat hal-hal yang penting aja.” Brio memberikan petuah bijaknya yang mungkin hanya ia ucapkan seribu tahun sekali.             Brio mengorek isi tasnya dan mengeluarkan sebuah pulpen. “Nih, gue ada pulpen buat ToD-an!”             “Eh, itu kan pulpen Gue!” teriak Eva yang langsung mengenali pulpen warna pink itu.             Brio hanya terkekeh dan mengatupkan kedua tangannya di depan dada. “Sorry, semester kemarin gue lupa mau balikin.”             Eva menatap Brio dengan tatapan mautnya, tapi sia-sia saja karena gak ada cowok yang takut dengan tatapan tajam cewek seimut Eva.             “Fin. Lo mau ikutan nggak?” tanya Shofi sebelum memulai permainan.             “Pass!”             Sesuai dugaan. Alfin mana mau ikutan permainan kekanak-kanakan kayak gitu. Namun, Shofi tak terlalu ambil pusing. Ia segera memutar pulpen itu. Pulpen itu berputar beberapa detik sebelum akhirnya berhenti menunjuk ke arah Eva.             “Truth or Dare?” tanya Shofi.             “Truth.”             Bio segera memberi isyarat pada Freya dan Shofi untuk mendekat dan diskusi. Beberapa menit kemudian mereka segera memandang Eva.             “Pertanyaannya...,” ucap Brio dramatis. “Elo udah ngapain aja selama pacaran sama Arif?”             “Kok pertanyaannya gitu sih?” Eva tampak menyesal.             “Eitsss, jawab dulu dong!’ Brio tersenyum penuh arti.             “Gak ngapa-ngapain, paling cuma makan sama nonton doang. Gak pernah aneh-aneh seperti yang ada di otak elu!” Eva berusaha menjelaskan.             “Kalau kissing?” bisik Brio yang otomatis langsung kena dampratan Eva.             “Itu udah lebih dari satu pertanyaan, Brambang!” omel Eva kesal.             “Otak lu ngeres mulu sih, di laundry dulu sana biar bersih,” komentar Freya pada Brio. “Gue, Shofi, sama Eva tuh pacarannya nggak aneh-aneh kek elu!”             “Udah-udah, gak usah debat. Gue lanjut yaa!” Shofi mulai memutar pulpen itu kembali. Pulpen terus berputar selama beberapa detik sebelum ujungnya berheti pada Freya.             “Truth or....”             “Gue pilih Dare!” Freya memilih dengan yakin sembari melirik sengit pada Brio. Kelihatannya Freya masih senewen dengan judul skripsi yang diusulkan Brio.             “Yakin?” tanya Brio.             “Lebih baik gue joget di sini daripada dikasih pertanyaan aneh-aneh sama elu!” tukas Freya kesal. “Cepet apa tantangannya?”             Shofi, Eva, dan Brio segera berdiskusi sebentar. Beberapa saat kemudian Brio berdeham dan memandang Freya penuh arti. “Tantangannya yaitu elo harus bilang I Love You kepada Pak Reza!”             “What the hell?” Freya melotot tak percaya dan bahkan Alfin yang sedari tadi damai dengan rokoknya kini ikut menyimak pembicaraan mereka. “Tega ya kalian ngerjain temen sendiri kek begitu!” pekik Freya tidak terima.             Brio kelihatan nggak peduli. “Gue kasih waktu sampai nanti sore.”             “Eh, jangan gitu dong gais. Gue bahkan belum bimbingan untuk pertama kali. Bisa-bisa gue udah di blacklist duluan.” Freya berdiri dengan panik.             “Gampang aja kok Fre. Lo samperin Pak Reza pas mau pulang. Sebelum beliau masuk mobil elo langsung teriak I Love You abis itu kabur. Selesai kan?” Shofi memberi solusi yang bahkan menurut Freya tidak membantunya sama sekali.             Arrgghhh ***             Ngemeng aja gampang, Shof. Gue deg-degan nih.” Freya, Brio, dan Shofi sudah standby di bawah pohon menunggu Pak Reza masuk mobil. Sementara Alfin harus part time dan Eva sudah dijemput pacarnya jadi gak bisa ikutan.             “Tuh.. tuh.. tuh. Pak Reza udah mau masuk mobil. Cepet sono samperin Fre!” Brio mendorong tubuh Freya. Sayangnya dorongan itu terlalu keras dan alhasil malah membuat Freya jatuh tersungkur.             “Aduh, kalau ngedorong kira-kira dong Bri...” Freya baru saja mau mengucap sumpah serapahnya kalau saja tidak melihat sepasang kaki dengan pantofel hitam berkilat berdiri di depannya.             Freya menoleh ke belakang dan melihat Shofi serta Brio sudah ngibrit entah kemana. Anjir, punya temen sialan semua!             “Kamu tidak apa-apa?” Pak Reza menatapnya dingin.             Freya menunduk malu. “Ng-nggak apa-apa kok, Pak.” Freya benar-benar merasa bodoh menjawab dosen itu dengan posisi yang masih tersungkur. Pak Reza bahkan tidak membantunya berdiri sama sekali.             It’s Ok. Freya bisa bangkit sendiri. Ia lalu berdiri dan menepuk-nepuk celana jeansnya yang kotor tanpa sedikitpun berani memandang wajah Pak Reza.             “Hmm, kalau tidak salah kamu kan yang kemarin ikut kelas perbaikan nilai dengan saya di semester khusus, kan?” tanya Pak Reza setelah melihat wajah Freya dengan jelas.             Pake nanya lagi. Bapak kan yang ngasih saya nilai D sampai harus nge repeat di semester khusus.             “Yaudah kalau begitu, hati-hati di jalan.” Pak Reza segera berbalik untuk pergi.             Freya mendadak kalap karena belum menyelesaikan tantangan itu. Tanpa pikir panjang ia menarik lengan kemeja Pak Reza. Laki-laki itu berhenti dan berbalik. “Ada apa?”             “I... I Love You,” ucap Freya lirih.             Pak Reza memicingkan mata tidak yakin dengan pendengarannya barusan. “Maaf, kamu bilang apa tadi?”             Freya memejamkan matanya dan menarik napas dalam. “I Love You Mr. Fahreza Zuchrufan!”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

T E A R S

read
312.6K
bc

Skylove (Indonesia)

read
109.1K
bc

MOVE ON

read
95.0K
bc

My Husband My Step Brother

read
54.8K
bc

Sweetest Diandra

read
70.5K
bc

Hello Wife

read
1.4M
bc

LEO'S EX-SECRETARY

read
121.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook