Call My Name, Little Cat!

1136 Words
Aroma alkohol masih melekat lembab di kulit saat keduanya melewati lorong sempit tanpa jendela. Sebuah koridor sunyi yang menghubungkan bar dengan salah satu hotel milik keluarga Greyson. Cahaya remang dari lampu gantung tembaga menari di dinding, menambah aura rahasia yang menguar dari tiap langkah mereka. Reins masih enggan melepaskan ciumannya. Jemarinya mencengkram pinggang Katrin erat, menuntunnya berjalan mundur tanpa jeda. Beberapa tamu yang sempat melirik hanya bisa membuang pandang, tak satupun berani berkomentar. Tidak ada yang mau mencampuri urusan pribadi pewaris Greyson. Katrin tak sempat berpikir. Alkohol membuat langkahnya limbung, ditambah ciuman Reins membuat napasnya hilang arah. Dia didorong tanpa ampun ke lorong rahasia, akses tersembunyi yang hanya bisa dilewati para petinggi. Dinding lorong terasa lebih dingin, seperti menggiring mereka pada batas yang tidak seharusnya dilewati. Hingga mereka tiba di depan sebuah pintu kamar, tanpa nomor, yang hanya bisa diakses dengan sidik jari penerus Greyson. Reins mendorong pintu dengan satu tangan. Pintu terbuka dengan suara menggeram, memperlihatkan ruangan luas dengan pencahayaan temaram. Ia menyeret Katrin masuk ke dalam, lalu menendang pintu hingga tertutup rapat di belakang mereka. Cahaya rembulan menerobos tipis melalui celah tirai panjang, menciptakan siluet samar di lantai. Aroma kayu hangus dan aftershave maskulin menyelimuti kamar, menyatu dengan suara napas mereka yang memburu. “Tu–tunggu, biarkan aku bernapas!” lirih Katrin di sela jeda napas yang tertahan. Mata abu-abu Reins menatapnya. Dingin dan menusuk. “Katakan dulu, kenapa kau mau tubuhku? Kerjasama yang aku tawarkan kurang menguntungkan?” tanya Katrin. Tak ada jawaban atas pertanyaan itu. Justru tangannya yang kekar mencengkeram leher Katrin, tidak cukup kuat untuk melukai, tapi cukup membuatnya merasa terkunci. “Ssst ... kau mabuk,” gumam Reins, suaranya serupa bisikan mengancam. “Aku masih sadar! Jelaskan dulu, kenapa?” suara Katrin terdengar putus asa. “Kau jelas mengenalku, bukan? Kita pernah satu kampus.” Mata Reins mengeras. Ada kilat emosi di sana, seperti peringatan. Ia tidak suka masa lalu. Apalagi jika Katrin menyeret-nyeretnya sekarang. Cengkeramannya naik, jari-jari kuatnya menjepit rahang Katrin dengan tekanan terukur, tidak menyakitkan namun cukup untuk mengklaim kendali. Lalu, tanpa aba-aba, dia kembali melumat bibir Katrin, buas namun penuh desakan, menuntut setiap inci respons dari Katrin. Lidahnya memaksa masuk, menjelajah setiap sudut rongga mulut Katrin, menemukan dan menyentuh setiap saraf sensitif di dalamnya. Tubuh Katrin terhuyung ke dinding, punggungnya membentur permukaan keras. Dinginnya dinding beradu dengan panas yang membanjiri tubuhnya, menciptakan kontras yang memabukkan. Satu tangan Reins menahan bahunya, jemarinya menekan lembut, merasakan setiap getaran tubuh Katrin, yang lain bergerak naik, menyentuh bagian rusuk dan tulang belikat, mengusap dengan sentuhan yang nyaris tak terasa namun meninggalkan jejak panas yang membakar. “Berhenti! Stop! Jangan di sana—ahh!” desahnya terputus, tergelincir antara rintihan ketakutan dan kenikmatan yang meledak, sebuah pengakuan yang tak bisa lagi ia sembunyikan. “Tidak mau?” bisik Reins, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Katrin. “Jadi kau lebih sudi digilir sekumpulan sampah tadi? Atau ... pulang ke rumahmu yang menyedihkan itu?” Pikiran Katrin berdenyut kacau. Alkohol di tubuhnya membuat segalanya melayang, kabur, dan membingungkan. Diantara pilihan yang ditawarkan, sama sekali tidak ada yang lebih baik. Entah berada dalam kungkungan Reins, atau segerombolan sampah, bahkan pulang ke rumah. Katrin ingin marah, ingin berteriak. Tapi pada siapa? Pada Reins? Pada dirinya sendiri? Atau ... takdir? Bibir Reins masih mencumbunya dengan brutal, menghisap, menggigit, menarik lembut namun penuh hasrat, tidak memberinya ruang untuk berpikir, hanya ruang untuk merasakan setiap sensasi yang mengalir. Tubuhnya mencoba menolak, memberontak, tapi pikirannya sudah buntu, terperangkap dalam pusaran gairah. Sampai detik itu, Katrin masih belum mengerti. Mengapa Reins menginginkan tubuhnya? Bukankah lebih mudah menyelesaikan kerja sama dengan negosiasi? Tapi dia tidak punya waktu memikirkan itu. Bagi Katrin, Ivory Bliss bukan sekadar bisnis. Itu adalah harga dirinya, satu-satunya warisan yang dia perjuangkan mati-matian. Seluruh tabungan, uang peninggalan ibunya, dan bahkan masa mudanya, semua dipertaruhkan demi membangun tempat itu. Dia tidak mau itu hancur hanya karena tekanan dari ayahnya. Aroma maskulin Reins menguar begitu dekat dan memabukkan, campuran tembakau, musk, dan bahaya yang pekat, namun kini terasa begitu akrab, membakar sisa-sisa kewarasan yang masih tertinggal. Alkohol dalam darahnya melemahkan logika, dan hasrat. Reins tidak memberinya pilihan. Tidak memberi jeda, tidak memberi napas, hanya desakan sensasi yang konstan. Setiap geraknya brutal dalam intensitasnya, menuntut setiap respons, mengikis pertahanan Katrin sedikit demi sedikit, menghancurkannya dengan kelembutan yang mematikan. Tangannya menjelajah rakus, menyusuri setiap lekuk tubuh Katrin seolah itu adalah hak miliknya yang mutlak, tak terbantahkan, setiap sentuhan adalah klaim kepemilikan yang mendalam. “Please ... kita masih bisa bicara—” “Ahh ....” Terlambat. Malam itu bukan untuk negosiasi. Dan Reins tidak sedang dalam mode kompromi. Di bawah tekanan tubuh pria itu, dengan napas terengah-engah, mata Katrin yang setengah buram menangkap sosok maskulin yang menguasainya. Bahunya yang lebar, otot-otot kekar yang bergerak di bawah kulitnya yang berkeringat, d**a berlapis kemeja yang kini nyaris terlepas sepenuhnya, memperlihatkan kulit kecoklatan yang menggoda, basah oleh keringat gairah, bersinar di bawah remangnya cahaya. Jemarinya menyelinap, menusuk di antara kedua paha Katrin, dalam, cepat. Menyentuh area klito-ris, menggosoknya dengan brutal. Tubuh Katrin bergetar hebat, napasnya tercekat, sensasi aneh menjalarinya. Perpaduan antara rasa terkejut, invasi, dan gelombang panas yang mulai membakar. Lalu suara Reins terdengar, berat, dalam, dan penuh perintah yang tak terbantahkan, sebuah gemuruh yang menggetarkan d**a Katrin. “Call my name, Little Cat.” Seiring dengan sensasi nikmat yang perlahan naik, mengikis rasa kejut dan menggantinya dengan kebutuhan yang mendesak, Katrin menurut. “Reins… Ahh!!” ***** Pagi menyusup perlahan, menyibak tirai gelap kamar hotel yang sunyi. Cahaya samar menari di dinding, memantul di seprei kusut dan lantai. Udara dingin menggelitik kulit, memaksa Katrin membuka mata perlahan. Pandangannya masih buram. Kepala terasa berat, tenggorokan kering. Napasnya tiba-tiba tercekat. Menyadari tubuhnya menggigil nyaris tanpa busana. Hanya sehelai underwear tipis melingkupinya. Kulitnya penuh jejak. Merah, dalam, seperti tanda klaim. Leher, d**a, perut, semuanya. DAMN! Pikiran Katrin menjerit. Jantungnya berdetak brutal saat ia menoleh dan menemukan Reins terbaring di sebelahnya. Masih di ranjang yang sama dan tanpa busana, hanya menyisakan brief hitam yang membingkai pinggulnya. Dada bidangnya terbuka, penuh gurat otot dan —Tuhan!— masih ada jejak kukunya di sana. Katrin ingin berteriak. Atau tertawa. Atau mati saja sekalian. Dirinya yang keras kepala, yang sok menolak. Bisa-bisanya sekarang malah terbangun satu ranjang dengan Reins! “Astaga … aku gila,” gumamnya pelan, nyaris tanpa suara. Tangannya bergerak, hendak menarik selimut, atau apa pun yang bisa menutup malu dan kesalnya. Tapi sebelum sempat bangkit, Reins mengerang kecil. Tubuhnya bergerak, mata abu-abu itu perlahan terbuka, lalu menatap Katrin dari balik helaian rambut yang jatuh di dahinya. “Kau bangun lebih awal,” gumamnya serak. Katrin tidak merespon, hela napasnya panjang. Dia menutup mata dengan lengannya. Lagi pula sudah terlanjur. Mereka juga sudah dewasa, tidak masalah jika mendobrak batas sedikit. Tanpa menoleh, ia bicara, “Bukankah kau mau tubuhku?” “Bagaimana kalau kita menikah saja?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD