Wahda menatap pria di hadapannya dengan sorot mata sayu. Ia sudah sangat lelah, tidak ada tenaga untuk meninggikan suara apalagi adu mulut. Pria ini justru menambahinya. “Bisa dijaga tidak omongannya? Lama tidak berjumpa omongan Anda menjijikkan sekali.” Kenrich justru tersenyum menyebalkan. “Selain itu, saya juga ingin bertemu anakmu. Tapi Mbak Santi tidak mengizinkan.” Terdengar suara tangis Dean dari dalam. Wahda menatap sebentar ke pintu rumahnya. “Untuk apa ingin bertemu anak saya? Pergilah. Saya benar-benar lelah hari ini. Tolong jangan ganggu kami.” “Saya sedang mencari sebuah fakta. Saya yakin, anak itu anak saya.” Wahda tertawa lirih. “Anda ini nggak konsisten sekali ya? Dulu bilang itu anak Damar. Sekarang yakin itu anak Anda. Anda waras?” “Wahda, saat itu saya–“ “Apa p

