Jingga menepikan mobil di depan lobi apartemen. Malam mulai menebar dinginnya, lampu-lampu kota berkelip seperti bintang yang jatuh ke bumi. “Lo yakin enggak mau gua temenin?” suara Jingga terdengar cemas. Tangannya masih menggenggam setir erat, menoleh sebentar pada sahabatnya. Rielle hanya terkekeh, mencoba memecah ketegangan. “Enggak perlu. Gua punya kruk buat pukul dia. Lumayan, bahannya kuat, bisa buat gebuk kepala kalau perlu.” “Elle, gua serius,” desah Jingga, nada kesalnya bercampur khawatir. “Jangan becanda terus deh.” Rielle menoleh, senyumnya tipis tapi matanya menyimpan lelah. “Tenang, Ga. Gua juga serius. Kruk ini cukup kuat kok, kalau dipukulin ke badan Harven.” Ia terkekeh lagi, mencoba membuat ringan sesuatu yang jelas bukan hal sepele. “Kalau ada apa-apa telpon gua. A

