Chapter 6. Sambutan Yang Mengecewakan

1062 Words
"Argh, kepalaku!" Carisa terbangun dalam kondisi mata sembap dan kepala berat. Ponsel di tangannya masih terbuka menampilkan pesan terakhir dari Kiano. "b******k! Gue nggak bakal mau balik sama lo!" Carisa buru-buru menghapus pesan itu tanpa membalas, lalu bangkit perlahan. Wanita muda itu bangkit perlahan. Begitu pintu terbuka, aroma teh manis menyambutnya. Aroma itu mengarahkannya ke ruang makan. Di sana, Edgara duduk sendiri, menyuap nasi hangat dengan lauk sederhana. Dia sudah berpakaian rapi, dengan kemeja dan celana jins panjang. Carisa berdiri beberapa detik di ambang ruang makan. Dia memperhatikan Edgara dalam diam, dan baru kali ini menyadari betapa kesendiriannya terasa nyata. Pria itu makan tanpa suara, tanpa ponsel, tanpa musik, hanya suara sendok bertemu piring dan embusan napas pelan dari mulutnya. Tanpa menoleh, Edgara berkata pelan, "Kamu udah bangun?" Carisa terdiam sejenak, lalu menjawab, "Iya, Pak." Suaranya pelan, serak, kering, tapi Edgara bisa mendengarnya dengan jelas. Edgara baru menoleh, matanya langsung menelusuri wajah Carisa. Dia tahu jika Carisa pasti menangis semalaman. Namun, tak ada pertanyaan yang keluar dari mulutnya. Dia hanya mendorong cangkir di meja ke arah Carisa. "Tehnya masih hangat. Ayo sarapan bareng!" Carisa berjalan mendekat, lalu duduk di samping Edgara, meraih cangkir teh, dan meniupnya sedikit sebelum menyesap. "Makasih, Pak. Maaf aku enggak bisa bantu masak." "Ini cuma ada tempe goreng dan tumis tauge. Semoga kamu suka, ya." Edgara tersenyum. "Maaf nggak bisa kasih kamu makanan mewah seperti semalam yang tersaji di meja makan rumah orang tua kamu." "Saya pemakan segala kok, Pak." Carisa buru-buru mengambil nasi, tempe dan tumis tauge. "Ini pasti enak banget karena Bapak yang masak, karena kalau saya yang masak sudah pasti bentuknya jelek dan rasanya enggak enak." "Bisa aja kamu. Kalau gitu cepat habiskan ya! Setelah ini kamu mandi, terus kita ke rumah sakit untuk menemui Bapak dan Ibuku!" perintah Edgara lembut sambil mengusap kepala Carisa. "Iya, Pak." Carisa mengangguk jantungnya langsung berdetak lebih kencang. Rumah Sakit itu tidak terlalu besar, tapi cukup ramai pagi ini. Carisa mengikuti langkah Edgara yang mantap, meski dia sendiri merasa gugup. Mereka naik tangga ke lantai dua, menyusuri lorong hingga tiba di kamar rawat kelas utama. Seorang pria tua dengan rambut hampir putih duduk bersandar di ranjang, mengenakan selimut hingga perut. Di sisi ranjang, duduk seorang wanita menggunakan kerudung berwarna hitam. Dia Asih—ibu Edgara yang langsung menoleh, begitu melihat putranya masuk bersama seorang wanita muda, matanya langsung menajam. “Edgar?” Bisma—ayah Edgara menyambut dengan suara berat. “Kamu datang juga, Nak.” “Iya, Bapak,” jawab Edgara, dia berjalan mendekat, lalu mengecup tangan ayahnya. “Aku bawa istri ... namanya Carisa, Pak.” “Istri?” Suara Asih terdengar ragu. Matanya langsung menelusuri sosok Carisa yang berdiri kaku di dekat pintu, mengenakan blouse dan rok selutut. Asih mengakui jika Carisa berparas cantik, tapi dia bukanlah tipe menantu yang disukai Asih. “Iya, Bu. Kami sudah menikah karena ... digrebek warga kemarin. Maaf ya, Pak, Buk. Aku membuat kalian malu.” Edgara merangkul pundak Carisa. “Dia cantik kan, Bu? Aku mencintainya. Maaf karena aku baru ngomong sekarang ke Bapak dan ibu tapi ... sebenarnya aku dan Carisa sudah berpacaran selama setahun terakhir ini. Jadi ya dia datang ke rumah, terus ketahuan deh sama Pak RT pas aku lagi meluk dia." Edgara terpaksa berbohong karena untuk menyelamatkan image Carisa di hadapan Asih dan Bisma. Asih tersenyum tipis, terasa dingin. Pandangannya menyapu wajah Carisa tanpa ekspresi jelas. Lalu dia mengangguk pelan. “Oh, jadi begitu cerita yang sebenarnya. Iya, dia cantik banget kayak boneka, Ed. Pantas kamu jatuh cinta sama dia.” Carisa membungkuk sedikit, menyapa dengan sopan. “Selamat pagi, Bu, Pak." “Selamat pagi Nak Carisa,” jawab Bisma ramah, sedangkan Asih hanya mengangguk, senyumnya tidak mencapai mata. Carisa merasa seperti dipelototi dalam diam oleh ibu mertuanya. Dia tahu, meski mulut wanita larib baya itu tersenyum, matanya berkata lain. Ada penilaian, ada penolakan yang samar, tapi tajam. Carisa bisa merasakan itu menembus hatinya. “Kerja di mana, Nak?” tanya Asih tiba-tiba. “Saya masih kuliah, Bu,” jawab Carisa hati-hati. "Dia mahasiswaku, Bu. Itulah awal pertemuan kami," imbuh Edgara. "Loh Carisa umur berapa, Nak?" tanya Bisma penasaran. "Dia semester berapa?" "Carisa masih 19 tahun, Pak. Dia baru semester tiga. Ya makanya itu saya belum berani melamarnya. Tapi malah kejadian kayak kemarin." Edgara memaksakan diri untuk tersenyum. "Loh masih kecil ternyata," balas Bisma terkekeh pelan. "Makanya kamu bucin sama dia ya, Gar. Ya udah ndak apa-apa, besok pas Bapak sudah sehat, Bapak datang ke rumah orang tuamu ya, Carisa. Besok kamu akan Bapak lamar secara baik-baik." "Iya, Pak. Terimakasih. Semoga Bapak cepat sembuh biar bisa pulang ke rumah." Carisa tersenyum manis menatap wajah sang bapak mertua, dia tahu jika Bisma lebih tulus menerima dirinya dibanding Asih. "Bener loh, Pak." Edgara tersenyum. "Aku udah kasih Bapak menantu yang cantik. Jadi Bapak harus semangat sembuh." Bisma mengangguk, matanya berbinar meski tubuhnya masih lemah. "Iya, iya, Bapak harus cepat sembuh. Biar bisa lihat kalian di pelaminan secara resmi." Asih hanya terdiam, tangannya sibuk merapikan selimut Bisma, seolah itu lebih penting. Suasana di kamar rawat inap itu terasa agak canggung, meski Bisma berulang kali berusaha mencairkannya dengan obrolan ringan. Carisa duduk di sisi ranjang, mendampingi Edgara yang kini membantu memijat pelan kaki ayahnya. Di sisi lain, Asih hanya mengangguk atau menggumam singkat tiap kali Carisa mencoba mengajak bicara, seolah menjaga jarak yang tak kasat mata. Carisa bisa merasakannya dengan jelas. Tatapan dingin itu, perlakuan basa-basi, dan ketulusan semu yang membuat jantungnya terasa berat. Dia mencoba tetap tersenyum, tetap sopan, tapi ada luka yang mulai tumbuh diam-diam di hatinya. Namun tiba-tiba, terdengar suara langkah pelan di lorong. Pintu kamar terbuka perlahan. Seorang wanita muda memasuki ruangan. Dia mengenakan Hijab berwarna pastel lembut, dipadukan dengan blouse putih dan celana kain yang longgar. Wajahnya manis, tenang, dan tampak jauh lebih dewasa dari Carisa. Di tangannya tergenggam kantong plastik berisi buah dan makanan ringan. “Assalamu’alaikum, Bapak, Ibu” sapanya dengan suara lembut akan tetapi langsung mencuri perhatian semua orang yang ada di sana. Bisma menoleh dengan ekspresi yang berubah semakin cerah daripada saat mengobrol dengan Carisa tadi. “Oh, kamu datang juga, Nak?” Asih pun buru-buru berdiri dan menyambut perempuan itu dengan senyum hangat–senyum yang belum pernah ditujukan pada Carisa sejak mereka bertemu. "Eh, pake repot-repot segala." "Nggak apa-apa, Buk." Wanita muda itu lalu mengalihkan pandangan dan tampak terkejut ketika dia melihat Edgara dan Carisa yang berdiri berdekatan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD