"Nggak apa-apa, Buk.” Winaya melangkah mendekati ranjang dan saat itulah pandangannya bertemu dengan Carisa, senyum di wajahnya sedikit memudar karena terkejut. “Eh, Carisa?”
Carisa berdiri, tersenyum dan membungkuk sopan. “Selamat pagi, Bu Winaya.”
“Kamu ... kok bisa ada di sini?” Winaya membalas senyum Carisa, tapi matanya menyiratkan banyak pertanyaan.
Carisa baru mau membuka mulut, tapi Edgara cepat menyahut, “Aku yang ngajak dia ke sini, Win. Aku mau ngenalin dia sama Bapak dan Ibu.”
"Owh, kalian ada proyek BEM ya?” Winaya berusaha tersenyum, nadanya ringan, tapi ada jeda tipis yang terlalu jelas di ujung kalimatnya. “Makanya kamu ngajak Carisa ke sini?”
Kali ini gantian Carisa yang cepat-cepat menyahut, “Iya, Bu. Kurang lebih begitu, saya sama Pak Edgara mau survey lokasi buat baksos."
“Ah iya baksos. Kemarin aku juga dimintain tanda tangan sama anak BEM dari perwakilan fakultas Psikologi,” balas Winaya sambil meletakkan kantong buah di meja samping ranjang, lalu mendekati Bisma. “Gimana kabarnya, Pak? Maaf baru bisa jenguk sekarang.”
Alhamdulillah, sudah mendingan. Kamu baik-baik aja, Nak?” sahut Bisma dengan senyum tulus.
“Alhamdulillah, saya baik, Pak,” jawab Winaya sambil menarik kursi yang tadi diduduki Carisa dan duduk di sisi ranjang Bisma, matanya hangat, senyumnya lembut.
Suasana di ruangan perlahan berubah menjadi akrab dan penuh tawa. Asih bahkan terlihat lebih cair saat menyambut obrolan Winaya, sangat berbeda jauh dibandingkan saat berbicara dengan Carisa barusan. Sementara Carisa hanya terdiam, dia memandang ke arah mereka bertiga. Ada rasa aneh yang terasa di dadanya. Perlahan dia mengeluarkan ponsel dari tasnya, lalu berdiri.
“Pak, Bu, maaf, saya keluar sebentar, ya. Ada telepon penting,” ucapnya singkat, tanpa menunggu jawaban, dia melangkah keluar kamar.
Begitu berada di luar dan menutup pintu dengan hati-hati, Carisa kembali memasukan ponsel ke dalam tas. Tadi dia bohong, sebenarnya tidak ada yang menelponnya. Wanita itu tidak pergi menjauh, dia berdiri tepat di sisi pintu yang sedikit terbuka, cukup untuk melihat isi ruangan dari celahnya.
Dari balik pintu itu, dia bisa melihat Edgara tertawa menanggapi celotehan Winaya yang sedang bercakap dengan Asih tentang makanan rumah sakit yang terasa hambar. Bisma ikut tertawa pelan, bahkan sempat menepuk lengan tangan Winaya dengan hangat. Tak ada yang sadar bahwa Carisa memperhatikan mereka dari luar. Tak ada satu pun dari mereka yang mencarinya, atau menyadari bahwa dia pergi karena hatinya merasa sesak ketimbang urusan telepon.
"Pak Edgara dan Bu Winaya kelihatan cocok banget," batin Carisa sambil menunduk. "Bu Winaya itu manis, kalem, dewasa, dan ... sepertinya dia masih suci."
Kata itu terakhir menggema di benak Carisa. "Tidak seperti aku yang sudah kotor." Lalu tanpa sadar, dia memundurkan langkah, menjauh dari pintu, tak ingin melihat lagi, tak ingin mendengar tawa mereka lagi.
Saat sampai di lobi rumah sakit, Carisa duduk di kursi tunggu paling pojok, bersandar lemas dengan wajah yang masih diselimuti rasa tidak nyaman. Pandangan kosong, mata menerawang, seolah sedang menyusun ulang serpihan perasaannya yang baru saja diporak-porandakan oleh adegan di dalam ruangan tadi. Tak lama, suara langkah kaki mendekat, seorang pria berhenti tepat di depannya.
“Carisa?” Suara itu berat dan terlalu familiar.
Carisa mendongak, pupil matanya membesar. “Kiano?”
“Ngapain kamu di rumah sakit ini?” Pria itu tersenyum tipis, ada kesan sombong yang terasa.
“Kamu sendiri ngapain ke sini?” Carisa berdiri, menyembunyikan kegugupan di balik senyum datarnya.
“Ini salah satu rumah sakit keluargaku juga,” balas Kiano bangga. “Aku cuma mampir buat ngecek laporan manajemen hari ini.”
“Oh.” Carisa mengangguk pelan.
Kiano menyipitkan mata, memperhatikan Carisa dari atas ke bawah. “Kamu sakit?”
“Eh, aku la—"
"Ini kan rumah sakit kecil, Sa." sahut Kiano cepat. "Kenapa kamu nggak periksa di rumah sakit keluargaku yang satunya? Yang besar, yang standar internasional. Atau jangan-jangan ... suami kamu itu nggak sanggup ya bayarin kamu berobat di rumah sakit mewah?”
Ucapan sinis Kiano itu terasa menusuk hati, tapi Carisa mencoba tetap tenang.
“Kamu dari keluarga terpandang, Ra. Sama seperti aku. Dia itu nggak pantes ngedapetin kamu. Dia cuma dosen miskin. Aku yakin sih, gajinya nggak bakalan cukup buat bawa kamu makan ke restoran mewah setiap minggu seperti yang kita sering lakukan dulu. Aku juga berani bertaruh, kamu pasti sekarang lebih sering makan tempe dan tahu kan?" Kiano belum selesai dengan ejekannya ketika suara langkah pelan berhenti tepat di belakangnya.
“Udah cukup!” seru seseorang pria, suaranya lantang penuh emosi.
Carisa menoleh cepat. “Pak—”
Itu Edgara, dia berdiri tegak, tangan mengepal erat, rahang mengeras tapi matanya berkilat tajam dan terasa menusuk. Tatapan pria itu itu mengarah lurus ke punggung Kiano, dengan napas memburu bak seekor hewan karnivora yang siap menyerang mengigit leher hewan herbivora.
Kiano menoleh, dia tahu betul siapa yang ada di belakangnya. Hal itu justru membuat senyumnya semakin lebar. “Oh, syukurlah kalau dia dengar."
Edgara melangkah maju, berdiri di antara Carisa dan Kiano. “Tolong jangan ganggu istri saya lagi!" Nada suaranya rendah, tapi penuh tekanan.
“Istrimu?” Kiano mengangkat kedua alisnya. “Yakin Carisa cinta sama kamu? Bukannya kalian nikah karena digerebek warga? Aku yakin dia cuma terpaksa hidup sama kamu. Dan yang paling penting, sepertinya dia masih cinta sama aku, karena ... dulu kami sering melakukan malam panas bersama di berbagai hotel mewah baik di dalam maupun di luar negeri."
Kalimat itu menghantam d**a Edgara seperti pukulan yang tak terlihat. Dia membeku, tak sanggup membalas ucapan Kiano. Ada keraguan yang sempat mampir di matanya. Kiano bisa melihat itu, dan dia tahu, kali ini dia menang.
“Ayo kita bertaruh!" lanjut Kiano dengan nada suara mengejek. “Nona muda seperti Carisa nggak akan sanggup hidup di dunia kamu yang sempit, kumuh dan miskin. Dia mungkin pura-pura kuat, tapi suatu saat dia bakal ninggalin kamu dan balik ke pelukanku.”
“Cukup!” Carisa akhirnya bersuara.
Dengan gerakan cepat, dia meraih tangan Edgara dan menariknya. “Ayo kita pergi dari sini!” ucapnya tegas, tanpa menoleh sedikit pun ke arah Kiano.
Edgara sempat tertahan, tubuhnya masih terpaku di tempatnya. Tapi Carisa menggenggam tangannya lebih erat. Mereka melangkah cepat ke arah parkiran. Langkah Carisa mantap, matanya lurus ke depan. Tapi Edgara bisa merasakan tangannya yang gemetar, Dan ketika mereka sampai di sudut sepi parkiran, Carisa berhenti.
Dia melepaskan genggaman tangannya, lalu mendongak, menatap sang suami dengan mata yang mulai berkaca. “Jangan dengerin pria b******n itu, Pak!"
Edgara menunduk, dia tersenyum tipis sebelum berkata, “Tapi dia benar soal satu hal, Car. Aku nggak bisa kasih kamu fasilitas yang dulu kamu punya. Bahkan buat rawat inap orang tuaku aja, aku cuma bisa ke rumah sakit tipe C kayak gini.”
Carisa tersenyum, lalu mendekat dan menyentuh wajah Edgara dengan kedua tangannya. “Saya nggak butuh fasilitas itu lagi. Yang saya butuhin sekarang cuma seseorang yang mencintaku dengan tulus dan menerimaku apa adanya, Pak."
Tatapan mereka bertemu di tengah suasana parkiran yang panas dan berdebu, Edgara akhirnya menarik Carisa ke dalam pelukannya. "Aku mencintaimu, Car. Sangat. Terimakasih sudah memilihku."