Bab 3 – Luka yang Disembunyikan

634 Words
Arini menutup gorden kamar dengan cepat setelah kembali dari malam panjang yang menghancurkan hatinya. Tubuhnya lunglai, langkahnya terasa berat, seolah seluruh tenaganya habis tersedot. Air mata sudah kering, tapi luka di d**a semakin dalam. Ia duduk di tepi ranjang, menatap kosong dinding kamar. Bayangan Reza menggenggam tangan Nadya masih jelas di depan matanya. Tangan yang dulu selalu ia genggam setiap kali merasa takut, kini berpindah ke perempuan lain—perempuan yang selama ini ia percaya sepenuhnya. Arini menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Kenapa harus Nadya…” bisiknya lirih. Pagi datang tanpa tidur. Arini berdiri di dapur, memasak seperti biasa, meski tangannya gemetar saat memotong sayur. Saat Reza turun, ia berusaha tersenyum. “Pagi, Mas. Sarapan sudah siap,” ucapnya lirih. Reza mengangguk, menyalakan ponsel, dan tertawa kecil membaca sesuatu di layar. Arini tahu persis siapa yang mengirim pesan itu, tapi ia berpura-pura tidak tahu. Dalam hati, ia bertanya: Haruskah aku mengatakannya sekarang? Haruskah aku menuntut kejujuran? Namun bibirnya terkunci. Ada rasa takut yang lebih besar dari amarah—takut kehilangan. Siang itu, Arini pergi menemui ibunya. Rumah sederhana di pinggiran kota itu selalu jadi tempatnya mencari ketenangan. Namun kali ini, ia merasa asing. “Kenapa wajahmu pucat sekali, Rin?” tanya ibunya, memperhatikan. Arini tersenyum paksa. “Cuma kecapekan, Bu.” Ibunya menghela napas. “Kamu itu selalu bilang capek kalau lagi ada masalah. Kamu pikir Ibu nggak bisa lihat? Ada apa dengan kamu sama Reza?” Pertanyaan itu membuat air mata Arini hampir tumpah, tapi ia buru-buru menahannya. Ia tidak ingin membuat ibunya cemas. Ia hanya menggeleng. “Tidak ada apa-apa, Bu. Aku baik-baik saja.” Padahal hatinya remuk. Malam harinya, Arini duduk sendirian di ruang tamu. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi Reza belum juga pulang. Pesan singkatnya hanya berbunyi: “Ada rapat tambahan, jangan tunggu.” Arini meremas ponselnya. Ia tahu ke mana suaminya pergi. Ia tahu siapa yang menemaninya. Ia ingin menelepon, ingin menanyakan langsung: Apakah benar kau mencintai Nadya? Tapi jari-jarinya kaku. Ia memilih menulis di jurnalnya, seperti kebiasaannya sejak remaja. Pena menari di atas kertas, menuangkan segala luka yang tak bisa ia ucapkan. Aku tidak tahu harus bagaimana. Hatiku hancur, tapi aku terlalu takut kehilangan. Aku tidak mau rumah tangga ini berakhir. Tapi sampai kapan aku bisa pura-pura tidak tahu? Tetesan air mata membasahi halaman buku itu. Beberapa hari berikutnya, Arini mencoba menjalani hidup seperti biasa. Ia masih memasak, masih menyambut Reza dengan senyum. Tapi dalam diam, ia memperhatikan. Ia mulai menghafal kebiasaan Reza: jam berangkat, jam pulang, alasan-alasan yang sama. Sementara itu, Nadya semakin sering muncul. Kadang menelpon, kadang datang dengan alasan ingin bertemu Arini. Setiap kali itu terjadi, d**a Arini terasa sesak. Senyum Nadya yang dulu terasa tulus kini tampak seperti pisau yang menusuk perlahan. “Rin, kamu kelihatan capek banget akhir-akhir ini,” kata Nadya suatu sore, saat mereka duduk di ruang tamu. “Reza baik-baik aja, kan?” Arini tertegun. Pertanyaan itu seperti ejekan, meski diucapkan dengan nada lembut. Ia menatap mata Nadya, mencari jawaban. Tapi Nadya terlalu pandai menyembunyikan sesuatu. Arini hanya mengangguk kecil. “Baik. Kami baik-baik saja.” Padahal hatinya ingin berteriak: Aku tahu apa yang kalian lakukan! Malam itu, setelah Nadya pergi, Arini berdiri di depan jendela. Lampu jalan menyinari wajahnya yang basah oleh air mata. Ia menatap langit gelap dan berbisik, “Tuhan, sampai kapan aku harus diam?” Di belakangnya, pintu kamar berderit. Reza masuk, meletakkan tas, dan tersenyum tipis. “Kamu belum tidur?” Arini menoleh. Untuk pertama kalinya, ia menatap mata suaminya dalam-dalam. Ada seribu pertanyaan di sana, tapi tak satu pun keluar. Yang muncul hanyalah senyum palsu, seperti topeng yang sudah ia pakai terlalu lama. “Belum. Aku nunggu kamu.” Reza mendekat, mengusap kepalanya sekilas, lalu pergi ke kamar mandi. Begitu pintu tertutup, senyum Arini runtuh. Hatinya menjerit, tapi bibirnya tetap bungkam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD