bc

Hina Nara (Honorable Affair)

book_age16+
8.3K
FOLLOW
52.7K
READ
love-triangle
love after marriage
brave
drama
sweet
bxg
city
office/work place
first love
office lady
like
intro-logo
Blurb

Tamat!

Warning! Mengandung beberapa adegan yang menguras emosi juga air mata!

Menjadi pujaan bukanlah keinginan, apalagi yang memuja adalah suami orang. Secinta apapun, berbalas atau tidak tetaplah sebuah kesalahan.

Pertemuan Inara Leora dengan Devan Mahendra disaat yang tidak tepat, memupuk rasa yang terlarang.

"Jadilah simpananku." Pernyataan gila dari seorang Devan yang ternyata merupakan putra pimpinan utama di perusahaan tempat Nara bekerja.

Bagaimana bisa, Devan yang sudah beristrikan Jenna Vista, malah menjatuhkan cintanya pada Nara?

"Jangan gila, Pak! Bagaimana jika istri, Anda tahu? Disentuh atau tidak, semua tetap terlihat salah."

"Kau bisa dapatkan apapun yang kau mau. Aku menyukaimu."

Karena hutang sang papa pada Tante Mara yang menggunung, juga ulah jahat Tante Mara pada adiknya–Lia, membuat Nara rela menghinakan diri. Beranikah seorang Inara Leora menukar mahkotanya dengan sebuah kata 'lunas'? Atau menjadikannya Hina karena sebuah kata cinta?

Cerita tentang ambisi, cinta dan realita.

Cover : IrumiDesign

chap-preview
Free preview
First Time
Sore itu, aku sama sekali tidak menyangka, orang yang selama ini aku segani, ternyata menyimpan rasa yang entah cinta atau hanya sebatas nafsu. "Jadilah simpananku." Ini pernyataan gila dari seorang Pak Devan. Anak seorang pimpinan utama di perusahaanku. "Tidak mungkin!" Aku terperanjat kaget. Tentu saja aku tidak menyangka. "Akan kuberikan semua yang kau mau." Tenang sekali gaya bicaranya. "Saya tidak sehina itu," sergahku. Dia pikir, semudah itu membeliku. "Tapi aku tahu, kau butuh uang banyak untuk Adik dan Mamamu." Aku terdiam. Dia tahu dari mana? Apa dia memata-mataiku? Ya, memang aku butuh uang. Sangat butuh. Tapi, apa jalan seperti ini yang harus ditempuh demi mereka yang kusayang? "Aku tidak akan menyentuhmu, cukup temani aku saja," pintanya datar. Seakan menjadi simpanannya itu adalah sebuah permintaan yang mudah. Aku menatapnya dengan sorot tak percaya. Pak Devan, yang awalnya kukira adalah pahlawan. Ternyata …. "Kau ragu?" "Tentu saja, Pak. Tata 'simpanan' itu lebih cocok untuk sesuatu tentang kepuasan di atas ranjang dan saya tidak mau!" Gila saja, aku melarikan diri dari jeratan tante Mara dan dia pikir aku akan dengan senang hati jatuh ke pelukannya? "Aku tahu, niat ini terlalu cepat terbaca. Aku hanya ingin kamu menjadi milikku. Rasanya, tidak rela laki-laki lain mendekatimu." Dia mendekat, sorot matanya tajam seperti menusuk. Cepat-cepat kupalingkan pandangan. Aku memang sempat terpesona, tapi aku cukup waras untuk bermimpi memilikinya. "Jangan gila, Pak! Bagaimana jika istri, Anda tahu? Disentuh atau tidak, semua tetap terlihat salah." "Bagaimana, jika kukatakan aku menyukaimu?" Dia semakin mendekat, mengusap lembut pipi ini lalu perlahan menyibak anak rambutku dan menyelipkan di balik telinga. Ini kah yang dinamakan tidak menyentuh? Nyatanya mata itu menyiratkan dia menginginkanku, lebih. Sebelum aku semakin terpojok, kudorong kasar dadanya. "Hentikan! Anda menolong saya, bukan berarti, Anda bisa memiliki semua yang ada pada saya. Sekalipun Anda tawarkan semua harta yang Anda miliki. Saya pasti akan balas budi, dengan cara lain walau itu butuh waktu seumur hidup saya.” Aku berlari meninggalkannya, melewati lorong apartemen yang aku kira akan menjadi awal perbaikan nasib keluargaku, ternyata aku salah. Apa semua orang hanya melihatku sebagai seorang hina? Oh, Nara. Pak Devan, laki-laki berusia lima tahun di atasku yang sudah menolongku pada malam itu. Malam terburuk dalam sejarah hidupku. Saat secara sengaja Tante Mara, kakak kandung papa, berusaha menjualku pada hidung belang kenalannya, karena alasan hutang. Menjadikannya pahlawan di hatiku, tidak serta merta membuatku bertekuk lutut padanya. Aku cukup tahu diri. Pak Devan adalah seorang pria beristri. Kedudukan yang tinggi, dengan harta berlimpah, jelas saja bisa membeli apa pun yang dia mau. Termasuk aku. *** Tante Mara dengan segala bujuk rayunya membawa aku secara paksa ke sebuah club malam milik temannya, entah apa yang dia masukkan ke dalam minuman itu hingga sendiku menjadi sangat lemas. Sialnya, aku malah menuruti maunya untuk menyewa sebuah kamar hotel tak jauh dari sana. Sungguh, itu hanya karena aku sudah tidak kuat lagi. "Kamu Nara, mungkin tidak terbiasa minum. Kampungan!" Tante Mara tersenyum sinis. Terbiasa minum- minuman beralkohol? Menurutku itu bukan sesuatu yang membanggakan. "Malam ini kita akan menginap, di sini." Dia mengeluarkan ponsel, berbicara pada seseorang di sana, lalu dia sedikit menjauh. Aku berusaha sekuat tenaga menahan diri, jangan sampai aku kehilangan kesadaran. Aku tahu ada yang tidak beres tapi tetap tak sanggup melawan. Tante Mara kembali, seperti terburu-buru untuk pergi. "Ada teman yang harus kutemui, kamu sendiri dulu." Tante Mara mengambil clutch yang dia letakkan di meja. Aku mencekal tangannya. "Tante, aku haus, mau minum," pintaku lemas. Dia menepis cekalanku. "Oke, nanti aku bawakan. Tunggu sebentar." Dia berlalu tanpa menoleh. Dengan sisa tenaga aku merangkak menuju kamar mandi, berusaha memuntahkan apa yang kuminum tadi. Walau mungkin tidak akan berefek banyak. Tertatih, aku menuju pintu kamar. Kabur, itu yang kupikirkan. Berkali aku mencoba membuka pintu. Sia-sia karena pintunya terkunci. Sial! Aku tidak punya cukup tenaga untuk mendobrak. Aku masih memegang pintu dan berpikir saat tiba-tiba pintu itu terbuka dengan kerasnya, aku terdorong ke belakang. Terlihat sosok laki-laki pendek dengan perut buncit di hadapanku. Menampakkan wajah yang, ah ... menjijikkan. Mungkin kah ini teman yang di maksud Tante Mara? "Hallo, Sayang." Dia menyapaku dengan genitnya lalu mulai mendekat. Tunggu! Tante Mara menipuku? "Si-siapa kamu?" tanyaku terbata karena takut. Dia menyeringai, melihatku dengan tatapan penuh nafsu. "Aku yang akan menemanimu malam ini, Sayang." "Tidak! Aku tidak butuh teman. Pergi!" Pria itu tampak gusar. Sebelum pintu tertutup rapat, sekilas kulihat ada seseorang berjalan di lorong hotel, sekuat tenaga aku berteriak. "Tolong, tolong! Siapa pun, tolong selamatkan, aku!" Tanpa ampun, laki-laki tambun tadi mendorongku kasar. Dengan segera dia menutup pintu dengan keras. Klik! Pintu tertutup dan terkunci otomatis. Laki-laki itu perlahan mendekat lalu membekap mulutku yang masih terus berteriak minta tolong, Dia mendorongku hingga ke sisi ranjang. Mengangkat lalu menghempaskan tubuh lemasku ke atas kasur empuk hotel bintang lima itu. "Tolong!" Suaraku tercekat, tenagaku semakin habis. Tidak bisa, ini tidak benar. Aku tidak mau berakhir seperti ini. Aku tidak mau menjadi jalang hanya karena hutang Papa. Ini tidak adil. "Kamu, nggak akan bisa mengelak lagi. Mara sudah menerima bayaran tinggi. Maka sekarang waktumu melayaniku," ucap pria itu dengan terengah-engah, dia mulai membuka kemejanya. "Tidak! Aku tidak mau. Dasar laki-laki menjijikkan. Ingat istrimu di rumah, Pak!" Dia terbahak. "Apa katamu? Ingat Istri? Jangan munafik. Kamu butuh uang dan aku punya banyak uang." Laki-laki itu menampar sisi kiri pipiku. Menyisakan rasa panas menjalar di seluruh wajah. "Aku tidak butuh uangmu, lepaskan aku!" Aku berusaha mendorongnya. Dia memegang tanganku. Lebih tepatnya meremas secara kasar. "Aku bisa memberimu berkali lipat dari yang Mara terima." Dia mulai mengelus pipiku yang telah di tamparnya tadi. Merobek kasar dress brokat putih yang kukenakan. Aku mencoba menghindari, tapi kini lelaki itu mulai membuka seluruh bajunya. Cih, mual rasanya. Aku harus bertahan, aku harus bisa pergi bagaimanapun caranya. "Mama, tolong aku!" batinku teriak. Tubuh ini semakin kehilangan daya. "Tolong, siapa pun tolong, aku!" Suara yang keluar dari mulutku semakin pelan. Laki-laki tambun itu kini menguasaiku. Kurasakan deru nafasnya menahan hasrat. Tenagaku habis, aku pasrah, jika memang ini jalan takdirku. Jika memang seorang Nara harus menjadi hina. Jika bukan takdirku seperti ini, tolong beri aku keajaiban ya, Allah. Kumohon, selamatkan aku! Braaakkk! Pintu dibuka paksa dengan sangat keras, samar kulihat ada pria berkemeja biru mendekat dan beberapa orang lainnya, entah berapa banyak. Pria tinggi itu serta merta menghajar lelaki tambun yang bahkan tidak aku ketahui namanya. Lamat, sebelum kurasakan gelap, pria tinggi itu menutupkan selimut ke tubuh setengah polosku dan tak lagi kuingat setelahnya. *** Bau khas rumah sakit, dinding putih, lampu terang, kelambu biru. Itu yang kuamati. Sepi. Apa aku selamat? "Sudah bangun?" Suara itu? Aku tak menjawab, masih mencerna banyak hal. "Si-siapa?" tanyaku kemudian. "Aku, yang tadi membawamu dari pria kurang ajar itu." Ah, pria itu rupanya. "A-apa aku selamat?" Ragu, aku meraba bagian tubuh mana saja yang bisa kusentuh. Ternyata aku sudah berganti pakaian, memakai baju khusus pasien rumah sakit. "Nyaris tidak," jawabnya dingin. Aku menghela nafas berat, sembari meneteskan bulir bening di sudut mata. Ada kelegaan tapi juga ada kekhawatiran. Tante Mara pasti tidak akan tinggal diam. "Terima kasih," ucapku pelan. "No matter, kebetulan saja." Dia menjawab dengan santainya. "Tapi, kebetulan bagi Anda itu, adalah keajaiban, bagiku." Setelahnya, dia pamit pergi, ada urusan pekerjaan katanya. Aku sekarang sendiri, merenungi nasibku setelah ini. Setelah laki-laki ber-tittle Papa, yang meninggalkan kami dengan banyak hutang dan pergi dengan wanita lain. Menyakiti Mama, membebani keluarga. Bagaimana menghadapi Tante Mara setelah ini? Apakah dia akan mengulangi hal seperti ini padaku? Dia pasti akan sangat marah. Soal hutang Papa, harus bagaimana untuk melunasinya? Aku masih harus membiayai sekolah Lia juga membiayai kontrol rutin Mama. Bagaimana mengabari Mama dan Lia? Mereka pasti sedang bingung mencariku. Ponselku entah ada di mana. Aku masih tidak berniat menghubungi mereka walau aku sebenarnya bisa pinjam telepon rumah sakit. Aku bingung mencari alasan. *** Biaya rumah sakit ternyata sudah ditanggung pria berkemeja biru kemarin. Kata seorang suster, nama pria itu Devan. Setelah pertemuan terakhir kali kala itu, tidak lagi kulihat sosoknya. Dia hanya berpesan pada suster, aku tidak perlu memusingkan tentang biaya perawatan, juga menitipkan satu pasang pakaian lengkap dengan dalaman untuk kukenakan saat pulang. Cukup 'sweet' untuk ukuran orang yang baru kenal. Aku pulang dengan perasaan bimbang. Genap tiga hari sudah meninggalkan rumah. Jawaban apa yang akan aku beri pada Mama dan Lia. Tentu, Mama akan semakin terluka jika tahu, Tante Mara berniat menjualku malam itu. "Assalamualaikum, Ma ... Lia," sapaku saat memasuki rumah. "Waalaikumsalam, kamu dari mana aja, Sayang?" Mama menyambut dengan wajah cemasnya. "Maaf, Ma. Aku dari rumah sakit. Saat kerja, aku pingsan. Lalu aku dirawat di sana selama ini. Maaf tidak mengabari. Karena ponselku hilang." Ponselku entah ke mana. Untung saja dompet dan beberapa lembar rupiah masih terselamatkan. "Ya, Allah, pantesan perasaan mama nggak enak. Karena kalau pun kamu harus ke luar kota. Pasti pamit dulu." "Iya, Ma. Maaf." Kupeluk Mama, tiga hari tidak bertemu. Aku rindu. "Kata dokter gimana?" tanya Mama sambil melepas pelukan. "Aku hanya kelelahan, Ma." Maafkan, Ma, jika harus bohong. "Syukurlah. Lalu, bagaimana biayanya?" tanya Mama cemas. Mama tahu, kalau kami tidak memiliki tabungan yang cukup untuk membayar biaya perawatan rumah sakit. "Sudah ditanggung perusahaan, Ma. Tenang saja." Aku berbohong lagi, maaf. "Lia mana, Ma?" Tak kulihat adikku di rumah. Ada rasa khawatir menyelimuti. Takut, jika dia bertemu Tante Mara, dan .... "Lia, sedang belajar kelompok. Kemarin dia nanya ke teman-temanmu, walau hanya ke teman yang dia tahu. Tapi nihil." Wajah teduh Mama, tak tega jika harus membuatnya lebih menderita dari ini. "Maaf ya, Ma," jawabku melas. "Oiya, tadi Bu Marni datang. Menagih uang kontrakan. Mama bingung." "Iya, Ma. Nanti kalau Nara gajian. Nara akan bayar." Ya Allah, bahkan uang gajian sudah tidak ada sisa lebih. Harus bagaimana lagi aku berusaha?

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Mentari Tak Harus Bersinar (Dokter-Dokter)

read
54.1K
bc

ARETA (Squel HBD 21 Years of Age and Overs)

read
58.2K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
52.5K
bc

BRAVE HEART (Indonesia)

read
90.9K
bc

The Ensnared by Love

read
103.8K
bc

Dependencia

read
186.3K
bc

(Bukan) Istri Pengganti

read
49.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook