Baru beres makan dan bibir pun masih belepotan, Nilam sudah ketiduran. Nilam tidur dalam keadaan mangap. Selain itu, Nilam juga mendengkur sangat keras dan menyita keheningan di sana.
Perubahan drastis tersebut membuat Melati khawatir. Bisa Melati pastikan, bahwa madunya itu sangat tersiksa. Namun kemudian Melati ingat pesan-pesan mertuanya yang selalu mengingatkannya di setiap ia putus asa pada hubungannya dan Ravael. Kedua mertuanya itu begitu yakin, bahwa usia Nilam hanya tinggal sebentar lagi. Yang dengan kata lain, kemungkinan Ravael akan fokus ke Melati sangatlah besar.
“Bukannya ingin mendahului, tetapi jika keadaannya begini, memang lebih baik diikhlaskan saja,” batin Melati yang tentu tak berani mengatakannya kepada Ravael, perihal kondisi istri muda suaminya itu.
Meski usia Nilam lebih tua dari Melati, biar bagaimana pun, Nilam istri kedua Ravael. Namun di mata Melati, kondisi sang madu yang hidup segan, ‘pergi’ juga kesulitan, sangat memprihatinkan.
Belum apa-apa, Ravael sudah langsung menyuruh Melati keluar. Padahal, jangankan bersuara apalagi berulah. Sekadar bernapas saja, jika Melati sedang bersama suaminya, Melati akan sangat hati-hati. Melati melakukannya karena takut mengusik Ravael yang sangat sensi kepadanya.
“Jangan bikin aku marah!” tegas Ravael.
“Memangnya, aku, ... salah ya, Mas? A—aku, kan enggak ngapa-ngapain.” Suara Melati tercekat. Ia sungguh bingung kenapa Ravael terlihat sangat marah kepadanya. Cara pria itu menatapnya, seolah Ravael tak segan untuk mengamuknya.
Di belakang Ravael, suster yang masih terjaga di sana juga tak kalah bingung.
“Jangan pernah dekati istriku lagi!” tegas Ravael.
“Kepada mbak Nilam, Mas Ravael selalu menyebutnya ‘istriku’. Namun kepadaku ... Masya Allah, sepedih ini! Binat ang saja tak akan diperlakulan lebih ren dah dari yang aku dapatkan dari suamiku sendiri.” Melati yang hanya berani berucap dalam hati, memutuskan untuk pergi. Ia membawa sisa sup bening berisi jagung manis dan sayur katuk buatannya, menggunakan nampan yang sama.
Tiba-tiba saja Melati jadi kepikiran, kebencian Ravael yang tak beralasan kepadanya, bisa membuatnya bermasalah jika ia tetap bertahan di sana. Bahkan meski sudah sampai bercadar layaknya syarat dari Ravael, sekadar Melati dekat dengan Nilam saja, pria itu tak mengizinkannya.
***
“Mungkin hanya perasaan kamu saja, Mel. Masa iya, sekadar kamu dekat Nilam, Ravael enggak izinin? Kan kamu juga yang bikin sup buat Nilam.” Ibu Irma mengajak Melati untuk tetap berpikir positif. “Bisa jadi, Ravael sedang terbawa situasi.”
Ravael terbawa situasi? Ah iya, Melati baru ingat. Suami mana yang tidak patah hati berulang kali, menyaksikan istri yang sangat dicintai, kesakitan seperti yang Nilam alami? Lagi-lagi, Melati memaklumi sikap kejam sang suami kepadanya.
Kebersamaan di dapur pagi ini terusik oleh kehadiran Ravael yang tampak sangat kelelahan. Kedua mata Ravael merah dan memang sangat sembab. Selain itu, hidung mancung Ravael juga tak kalah merah dari kedua matanya. Entah karena Ravael sedang flu, atau malah karena Ravael sibuk menangisi istri kesayangannya. Diam-diam, Melati memikirkannya.
“Kamu tidak usah bikin apa-apa lagi buat istriku. Aku tidak mau istriku keracunan gara-gara kamu!” hardik Ravael terdengar keji bahkan di telinganya sendiri.
Setelah refleks mundur karena hardikan Rafael, Melati jadi tidak bisa berkata-kata. Melati ketakutan, terlebih dituduh sengaja mencelakai Nilam, merupakan hal yang Melati khawatirkan, hanya karena ia ada di rumah orang tua Ravael. Melati takut dituduh yang tidak-tidak jika dirinya terlibat mengurus Nilam.
Ngeri, Melati sampai merinding karenanya. Ia meninggalkan dapur yang jadi diwarnai omelan ibu Irma kepada sang putra. Ibu Irma mengecam apa yang Ravael lakukan kepada Melati.
“Bukannya berterima kasih, Melati sudi masakin buat Nilam. Kamu justru enggak mikir. Bisa-bisanya cintamu ke Nilam bikin otak kamu enggak jalan!” ucap ibu Irma dan Melati masih bisa mendengarnya.
“Sekarang juga, aku pergi saja. Takutnya gara-gara aku di sini, hubunganku dan keluarga ini makin enggak berarah. Aku takut dituduh-tuduh dan dikira sengaja membuat keadaan mbak Nilam makin parah," lirih Melati sambil terus melangkah pergi menuju kamar tamu dirinya tinggal.
Padahal belum genap sepuluh jam Melati ada di sana, tetapi rasanya seperti diwajibkan untuk menyumbangkan nyawanya.
Lokasi kamar tamu yang Melati tempati, tidak begitu jauh dari anak tangga. Hingga ketika dari tangga atas sana ada yang teriak minta tolong, Melati bisa mendengarnya dengan sangat jelas.
“Pak ... Pak Rava ... Pak tolong, Pak. Si Ibu muntah-muntah!” teriakan seorang wanita yang berlogat sunda dari tangga atas.
“Ya Allah .... jangan-jangan, aku lagi yang disalahkan!” batin Melati makin ketakutan saja. Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat seiring detak jantungnya yang jadi kacau tak karuan.
“Ya kan, Ma! Sudah kukatakan, dari sejak makan sup buatan Melati, istriku jadi muntah-muntah. Dari semalaman, Ma!” Ravael tidak bisa untuk tidak teriak. Ia memaki-maki Melati, meski wanita bercadar hitam itu sudah sesenggukan meminta maaf kepadanya.
“Bu, sumpah, Bu. Yang aku masak hanya sup biasa!” Melati makin sesenggukan lantaran dari tengah anak tangga atas sana, Ravael dengan tegas mengatakan akan melaporkan Melati ke polisi.
Ibu Irma tak kuasa berkomentar karena ia saja bingung. Namun, ia sengaja memberikan pelukannya kepada Melati. Berharap, pelukan yang ia lakukan itu mempu membuat sang menantu merasa jauh lebih baik.
Beberapa saat kemudian, Melati ikut mama mertuanya mengunjungi Nilam. Melati hanya berani mengintip dari kejauhan. Lain lagi dengan ibu Irma yang ikut di dalam membantu Ravael memegangi Nilam. Antara tidak tega dan bercampur takut, itulah yang Melati rasakan di setiap ia menyaksikan keadaan Nilam.
Nilam yang hanya bisa meringkuk miring di tengah-tengah kasur, menggeliat dan dari mulutnya terus mengucur air berwarna hitam. Ravael sampai naik ke ranjang kemudian memangku Nilam yang hanya memakai popok sekali pakai. Nilam yang tubuhnya benar-benar hanya tinggal tulang, tak lagi memakai pakaian. Yang Melati tahu dari ibu Irma, semenjak kemoterapi, Nilam selalu kepanasan, bahkan meski sudah memakai AC.
Sekitar sepuluh menit kemudian, pak Bagyo datang bersama seorang dokter yang sengaja mereka panggil. Menurut keterangan dari dokter yang mengecek keadaan Nilam, apa yang Nilam alami merupakan efek dari pengobatan yang Nilam jalani. Ditambah lagi, Nilam juga mengalami gangguan pencernaan dan juga gangguan lainnya. Malahan boleh dibilang, Nilam sudah mengalami komplikasi. Kendati demikian, Ravael tetap menatap tajam Melati.
Cara Ravael bersikap, seolah pria itu tetap menyalahkan Melati. Bahkan meski cek darah yang Ravael lakukan ke Nilam lewat dokter panggilannya, tak menunjukkan bahwa Nilam keracunan. Hingga karena itu juga, Melati langsung menolak ketika Nilam minta dibuatkan sup bening kepadanya lagi.
“Enggak, Mbak. Maaf, ... saya tidak berani. Saya masih punya tanggung jawab buat menghidupi bapak saya di kampung. Takutnya kalau sampai terjadi apa-apa ke Mbak, saya dipolisilan. Kalau saya dipenjara, siapa yang mengurus bapak saya?” ucap Melati. Suaranya bergetar, sementara dari kedua ujung matanya, butiran bening makin sibuk berjatuhan.
“Rav, aku beneran ingin makan sup yang seperti semalam. Rasanya segar banget. I—itu pembantu baru kurang ajar banget sih. Masa disuruh bikinin aku sup, enggak mau.” Suara Nilam terdengar sangat lemah, tetapi Melati yang sudah di luar kamar, masih bisa mendengarnya.
Orang tua Ravael juga tak mengomentari permintaan Nilam. Pak Bagyo memilih mengantar dokter yang mereka panggil, sementara ibu Irma menyusul Melati. Baik pak Bagyo apalagi ibu Irma yakin, sikap bengis Ravael telah sangat melukai menantu pilihan mereka.