BAB 15. Ibu Mertua Pengacau

1111 Words
“Tentu Nona.” Dengan gestur tubuh yang ramah dan sopan, Eric mempersilakan Lilian untuk jalan lebih dulu. Wina memandangi Eric dengan rasa kagum. Baru kali ini dia lihat dengan mata kepala sendiri bahwa sosok bodyguard itu memang benar-benar ada, selama ini dia hanya pernah melihat dalam film atau sinetron saja. Ya, tadi Lilian memang sudah sempat menjelaskan siapa sebenarnya Eric, dan apa hubunganya dengannya. Otomatis Lilian juga menceritakan tentang tugas barunya dari CEO di perusahaan, sehingga dia bisa memiliki uang sebesar tiga puluh juta hari ini. Wina yang memaksa Lilian untuk menceritakan sejujurnya. Sebab dia sungguh ketakutan jika Lilian sampai berbuat nekat karena terdesak biaya operasi ibu panti. Di dalam mobil menuju ke rumah, Lilian tampak gelisah, Eric dapat merasakannya. Lilian yang memilih duduk di kursi penumpang depan, berulang kali melihat pada jam di pergelangan tangan. Sudah lewat jam tujuh malam tapi dia masih di jalan seperti ini. Apalagi kondisi jalanan ibu kota juga cukup padat di jam pulang kerja seperti ini, bahkan hingga menemui macet di beberapa titik. “Nona Lilian maaf, kenapa kelihatan gelisah sekali? Apa Nona Lilian mau mampir dulu ke toilet? Biar saya carikan toilet.” Eric menawarkan. Namun Lilian segera menggeleng. “Ohh, nggak usah. Bukan itu kok.” Setelah itu dia kembali menatap keluar jendela. Terkadang melihat ke depan saat mulai macet kembali dan seperti mendesah gelisah. Lilian baru bernapas lega setelah mobil sudah akan mendekati gerbang perumahan. “Kak Eric, aku turun di luar gerbang itu saja, ya. Nggak usah sampai masuk ke dalam perumahannya.” “Tidak bisa. Karena perintah Tuan Axel, saya harus mengantarkan Nona Lilian sampai ke depan rumah.” “Jangan, Kak! Umm … suami aku galak eh maksudku … nanti dia bisa curiga dan marah kalau tahu aku pulang diantar laki-laki lain. Dan percuma juga untuk jelasinnya, susah Kak. Ya? Sampai gerbang saja, ya.” Eric menoleh sebentar pada Lilian. Raut wajah wanita muda itu sangat memelas. Eric menghela napas dalam. “Oke kalau begitu.” Lilian langsung tersenyum lebar. Dia mengucapkan terima kasih saat turun dari mobil dan langsung berjalan cepat menuju ke dalam perumahan. Sedangkan Eric ternyata diam-diam kembali melajukan mobilnya dengan perlahan, ikut memasuki gerbang perumahan. Dia mengikuti Lilian dengan tetap menjaga jarak, dan tampaknya Lilian memang tidak menyadarinya sama sekali. Sebab Lilian terlalu fokus dengan langkahnya, satu-satunya hal yang paling dia ingin sekarang adalah, cepat sampai di rumah sebelum keduluan oleh Edwyn. “Ah, aku potong jalan saja.” Lilian memilih jalan pintas dengan melewati halaman samping rumah orang lain yang masih dalam pembangunan, kemudian bagian belakangnya nanti akan tembus ke jalan yang lebih dekat ke rumahnya, sehingga Lilian memangkas jalan memutar. Eric menghentikan mobil di pinggir jalan yang sepi, karena memang ini termasuk perumahan baru, masih banyak rumah yang belum selesai dibangun. Eric tidak mau ambil resiko dengan terus mengikuti jalan memutar. Sebab bisa jadi justru nanti dia akan berpapasan dengan Lilian. Bisa gawat kalau Lilian hapal mobilnya atau bahkan hapal plat nomor. Eric mengambil foto Lilian yang masih berjalan memunggunginya, sebagai bukti yang nanti akan dia berikan pada sang bos. Setelah itu segera Eric memutar balik untuk kembali menuju ke gerbang depan. Sebelum melewati gerbang, Eric berpapasan dengan mobil lain dan sempat melihat wajahnya karena kaca jendela dibuka saat melewati pos satpam. Wajah si sopir mobil putih pun sempat melirik pada Eric sebentar kemudian fokus kembali ke jalan depan. Eric melajukan mobil keluar dari perumahan tersebut. Lilian semakin mempercepat langkahnya, dia setengah berlari. Napasnya mulai tersengal karena jarak dari gerbang depan ke blok rumahnya cukup jauh. Jahitan di perut bekas luka caesar juga mulai terasa nyeri. Sambil setengah berlari Lilian terus memegangi perutnya. Begitu sampai di depan rumah, hatinya lega luar biasa, sebab mobil putih suaminya belum ada di garasi. Dengan cepat Lilian membuka pintu pagar, tapi dia terhenyak ketika melihat seseorang sedang duduk di kursi teras dengan tatapan tajam tertuju padnya. “Ma—mama?” Citra bangkit dari duduknya sambil tersenyum miring. “Bagusss ya, jam segini baru pulang! Dari mana saja kamu? Hah?!” bentaknya dengan kedua bola mata melotot. “Da—dari itu Ma … umm ….” Lilian yang pada dasarnya begitu polos, bingung harus memberi alasan apa. Tidak mungkin dia bilang dari rumah sakit untuk membawa ibu panti, sudah pasti sang mama mertua akan marah besar. Karena Citra melarang keras uang gaji Lilian diberikan kepada ibu panti atau adik-adiknya di panti asuhan meskipun hanya sepeser. “Dari mana?! Cepat jawab perempuan sial!” Belum sempat Lilian menjawab, suara mobil Edwyn terdengar di belakang Lilian. Benar saja, itu adalah mobil putih. Lilian menghela napas dalam, dia pasrah, sudah pasti akan menjadi bulan-bulanan suami dan mertuanya. Setelah mobil Edwyn masuk ke garasi, Lilian segera menutup pintu pagar kembali. Dengan wajah menunduk dia berjalan pelan, penuh dengan ketakutan. Edwyn turun dari mobil dan langsung memasang wajah garang, dihampirinya sang istri yang bergetar ketakutan. “Lilian! Kamu baru pulang juga?!” Edwyn memperhatikan penampilan istrinya yang masih menggunakan seragam kerja. Bahkan masih memakai sepatu dan tas selempang. “Iya! Tuh istrimu jam segini baru pulang! Mana nggak ada kabar lagi kalau mau pulang terlambat! Jadinya kan rumah mama kotor tuh, nggak ada yang bersihin!” Citra menyambar menjawab pertanyaan putranya. Mendengar itu, Edwyn semakin tajam menatap Lilian di hadapannya. “Kamu nih ya, benar-benar istri nggak tahu diri! Dipungut dari panti asuhan tapi nggak tahu terima kasih! Bantuin tuh Mama di rumah, bukannya pulang kerja malah keluyuran!” Setelah meneriakan itu, tanpa ampun Edwyn segera menarik tangan Liian dengan kasar masuk ke dalam rumah. Meskipun Lilian terus meminta ampun, tapi tetap saja dia terus ditarik sampai nyaris jatuh ketika membuka sepatu tepat di depan pintu utama rumah. “Ampun, Mas! Ampun! Tolong ampuni aku, Mas! Aku mengaku salah dan nggak akan ulangi lagi!” rengek Lilian memohon ampun. Edwyn tidak peduli, dia langsung gelap mata dengan hanya tersulut ucapan mamanya saja. Sedangkan Citra melihat menantunya diperlakukan kasar seperti itu oleh Edwyn, justru tersenyum mencibir. Kemudia dia memilih pulang ke rumahnya. Membiarkan Lilian yang masih terus dihukum oleh Edwyn. Dengan kasar Edwyn mendorong tubuh lemah Lilian hingga tersungkur di atas sofa ruang tamu. “Dari mana saja tadi kamu? Jawab!” teriak Edwyn sambil melotot pada Lilian yang mulai menangis. “Lembur, Mas. Uang belanja nggak cukup untuk sebulan, Mas. Terpaksa aku harus mengambil lembur di kantor.” Entah dari mana asalnya alasan itu tiba-tiba melesak masuk ke dalam kepala Lilian. Dia mengucapkannya begitu saja dengan lancar dalam keadaan terdesak. Edwyn terdiam beberapa saat mendengar itu, tapi masih menatap tajam pada istrinya yang masih menangis sesenggukan di sana. Detik kemudian pria kejam itu tersenyum miring seraya memicingkan mata. “Ohh … jadi sekarang kamu sudah bisa lembur, ya? Baguslah!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD