01 - Gama dan Luna

3092 Words
Gama Pranadipta, ia tidak tahu kenapa bisa satu ranjang dengan seorang gadis yang menurutnya masih bocah ingusan, ia juga tidak tahu kenapa bisa bocah ingusan itu istrinya, dan ia juga tidak tahu kenapa ia menerima permintaan papanya yang menyuruh dirinya menikah dengan gadis ingusan bernama lengkap Luna Shafira, bermarga Candrawinata itu. "Om," panggil Luna berhasil membuat Gama tersadar dari lamunannya. Mata Gama melirik kesal ke arah istrinya. "Sudah enam bulan kita menikah, berhenti panggil saya dengan sebutan itu, Luna." Tekan Gama. "Luna udah kebiasaan panggil Om Gama dengan sebutan Om. Kalo Om Gama tiba-tiba suruh Luna panggil Mas jadinya lucu tahu, Om." "Itu lebih baik daripada Om, kamu nggak tahu apa? Setiap kali kita keluar bareng, dan kamu sebut saya om, saya malu." "Om Gama malu keluar bareng Luna?" "Ya malu karena kamu panggil saya Om di depan teman-teman saya, depan kolega saya. Saya ini om kamu atau suami kamu, sih?" "Dua-duanya, suami Luna, om Luna juga." Gama berdecak, pria itu memilih memejamkan kedua matanya. Ia benar-benar lelah malam ini. Pekerjaan di kantor, masalah dengan koleganya, serta demo pekerja pabrik yang ada di kantor cabang membuatnya banyak pikiran.  "Om Gama kenapa? Mau Luna pijatin?" tanya Luna. Kembali Gama membuka mata. "Kamu bisa diam? Tidur aja, nggak usah cerewet Luna." "Om Gama selalu nyebelin kalo lagi capek. Luna kena semprot mulu. Sini Luna pijatin, biar Om Gama nggak marah-marah terus." "Nggak mau." "Bener kata kakek Bagas, Om Gama itu gak laku karena suka marah-marah. Cuma Luna yang bisa sabar hadapin Om Gama. Coba kalau perempuan lain? Mana mau disemprot mulu sama Om Galak kayak Om Gama." Mendengar sindirian itu membuat Gama tidak terima. Rupanya Luna memancing pertengkaran antara keduanya. Gama terduduk dari posisi yang awalnya tidur. Pria itu menatap tajam kedua mata sendu Luna. Mata yang bertolak belakang dengan mata yang ia miliki. "Kamu udah berani gosipin saya ya di depan papa? Lagian siapa yang nggak laku? Saya itu cuma milih-milih. Banyak yang mau sama saya, tapi saya nggak cocok sama mereka. Papa aja yang nggak sabar buat lihat saya nikah, dan malah gegabah nikahin saya sama bocah ingusan kayak kamu. Masih sekolah lagi! Dibela-belain sogok sekolah buat tutup mulut." Omel Gama panjang lebar. Luna yang mendapat omelan itu malah menguap, membuat Gama semakin kesal. Gadis itu memang tidak ada takut-takutnya pada Gama. "Om Gama sini tidur, Luna jadi ngantuk dengerin Om Gama ngomel. Udah kayak radio rusak tahu." Luna menarik tangan Gama untuk kembali berbaring menghadap ke arahnya. Sebelum menerima omelan lagi, Luna segera memeluk Gama, menjadikan tangan kekar Gama sebagai bantal. Wajah Luna disembunyikannya di ceruk leher pria yang ia panggil Om itu. "Udah Om Gama jangan ngomel lagi, merem aja." Bisik Luna. "Kamu yang pancing saya ngomel." "Tidur Om, Luna nina boboin sini." Pelan, Luna menepuk-nepuk punggung Gama. Emosi Gama perlahan memudar. Bocah ingusan itu memang pintar meredakan emosi Gama. Perlakuan kecilnya berhasil membuat Gama tenang. Lima belas menit tangan Luna menepuk-nepuk punggung Gama, perlahan tepukan tangan itu melambat, sampai akhirnya berhenti. Luna lebih dulu terlelap. Gama tersenyum remeh, pria itu memundurkan wajahnya beberapa senti untuk menatap Luna. Memperhatikan wajah gadis yang ia panggil bocah. Hidung mancungnya, bulu mata lentik yang begitu damai saat tertidur. Istrinya sudah seperti keponakannya sendiri. Tak pernah Gama memandang Luna sebagai seorang wanita. Tak bernafsu juga pada gadis SMA berumur tujuh belas tahun itu. Hubungan suami istri antar keduanya hanya status belaka. "Luna... Luna...," keluh Gama. Ia memang gampang kesal dan gampang marah pada gadis itu, tapi kekesalan dan kemarahan Gama tidak bisa bertahan lama. Salah satu alasannya ya itu, Luna bertingkah layaknya bocah, dan mana mungkin orang dewasa seperti Gama marah lama-lama pada bocah? *** Luna terlambat bangun. Gadis itu terkesiap dan langsung terduduk. Ia menoleh ke samping, Gama sudah tidak ada di tempatnya. Luna manyun kesal, ia segera turun dari tempat tidur, dan menggedor kamar mandi yang sudah pasti di dalam ada Gama yang enak-enakan mandi lama. Pada gedoran pertama tak ada sautan. Gedoran kedua pun sama, suara gemerencik air shower masih terdengar jelas. Luna menghentakkan kakinya kesal. Ia mengepalkan kedua tangannya, menahan napas sebelum akhirnya maju satu langkah dan menggedor pintu kamar mandi berkali-kali. "Om Gamaaa!!! Luna telat! Om Gama cepet mandinya!!!" teriak Luna kesal. Kedua tangannya juga masih aktif menggedor pintu. Pintu kamar mandi ia jadikan beduk. Air shower mati, Luna menghentikan gedorannya. Ia berteriak lantang. "Om Gama! Luna telat!" "Mandi di kamar mandi bawah, Lun!" teriak Gama dari dalam kamar mandi. "Tapi sabun, sampo, sama handuk Luna ada di dalam, Om!" rengek Luna kesal. "Gausah pake haduk," saut Gama. "Om Gama ngeselin! Buruan Om! Ini udah jam tujuh! Luna ada quiz Om gama ih!" Luna kembali menghentakkan satu kakinya. Hatinya sangat dongkol, ia ingin mendobrak pintu, tapi Luna tidak punya tenaga lebih untuk merusak pintu kamar mandi. Karena hatinya yang kesal, air mata Luna mengambang di pelupuk mata hendak luruh. Dengan suara gemetar, Luna kembali berteriak. "Om Gama ngeselin! Luna gak suka sama Om Gama!" Air mata Luna yang menumpuk di kelopak mata akhirnya jatuh. Gadis itu tak bisa menahan rasa gondok dalam tenggorokannya. "Om Gama gantian! Hiks... Luna telat hiks ...." Pintu terbuka, ada Gama yang sudah selesai mandi. Pria itu telanjang dada, hanya handuk yang menutupi bagian bawahnya saja. Gama tersenyum lucu melihat Luna sudah menangis, seperti berhasil menggoda bocah kecil dengan merebut mainannya. Dan itu yang Gama mau, ia ingin membalas perbuatan Luna tempo hari saat gadis itu libur kuliah. Gama terlambat bangun dan butuh kamar mandi karena hendak menghadiri pengesahan kantor cabang. Tapi Luna malah asik-asikan berendam di bathup dan tidak mempedulikan teriakan Gama dari luar untuk segera keluar. Alhasil Gama memutuskan untuk berangkat ke acara pengesahan kantor cabang tanpa mandi. Untung saja ia sudah ganteng sejak menjadi embrio, jadi mandi atau tidak juga tidak akan kentara. "Kesel, kan? Itu yang saya rasain tempo hari pas kamu nyebelin malah berendam di bathup pagi-pagi. Saya gedor pintu malah nyanyi keras-keras." "Dasar Om Gama nyebelin!" Luna memukul dada Gama keras sebelum akhirnya ia memutuskan untuk masuk ke dalam kamar mandi seraya membanting pintu kasar. Pertengkaran sepele itu tidak hanya sekali dua kali terjadi. Hampir setiap hari mereka berdebat karena masalah sepele. Gama yang kadang tidak bisa bersikap dewasa karena menuruti kekesalannya pada Luna, sedangkan Luna yang memang belum bisa dewasa dan masih berpikiran layaknya remaja pada umumnya. Insiden berebut kamar mandi hanya satu dari seribu tingkah konyol mereka. Jika semua mengira pasangan yang menikah karena perjodohan akan bersikap dingin satu sama lain, itu tidak berlaku untuk Gama dan Luna. Keduanya tidak bersikap dingin satu sama lain, lebih tepatnya Luna yang membuat Gama tidak lagi bersikap dingin. Bagaimana bisa Gama bersikap dingin kalau Luna saja tidak berhenti mengoceh jika Gama tidak menjawab. Meski manja, Luna cukup keras kepala. Pernah seharian Luna mengekori Gama saat Gama berusaha untuk mengabaikan gadis itu. Gama ke dapur, Luna ikut. Gama ke ruang TV, Luna ikut. Puncaknya saat Gama hendak buang air kecil di kamar mandi, Luna juga masih setia mengekorinya sambil tak berhenti berkomat-kamit memanggilnya Om. Karena sudah tidak kuat menahan pipis, kesal, akhirnya Gama mencubit pipi Luna seraya menyauti dengan penegasan kata-kata. Setelah mendengar suara Gama, Luna akhirnya mau berhenti mengekorinya. Enam bulan menikah membuat Gama yang awalnya risih dengan sikap manja Luna terbiasa juga pada akhirnya. Mau mengeluh juga percuma, tak menghasilkan apa-apa. Gama selalu menanamkan sugesti pada dirinya sendiri untuk sabar. Karena menurutnya orang dewasa harus sabar menghadapi bocah. Gama itu pria cuek dan dingin, namun saat berhadapan dengan Luna, ia berubah menjadi cerewet dan aktif. Luna itu sudah manja dari orok, mungkin karena dia cucu perempuan satu-satunya keluarga Candrawinata, jadi keluarga Luna sudah memanjakannya. Dan sikap manja Luna semakin jadi saat ia bertemu dengan Gama yang cuek dan galak. Luna merasa tertantang saat bersikap manja kepada Gama. Apalagi jika Gama mengalah dan menuruti mau Luna, hati Luna sangat senang, ia merasa menang telah menghancurkan bongkahan batu karang. Sekeras itu Gama di mata Luna. Usai mandi, Luna melirik sinis Gama. "Luna baru tahu kalau Om Gama itu pendendam." Sungutnya seraya masuk ke ruang ganti dengan handuk kimono yang dipakainya. Gama yang tengah duduk di sofa memasang sepatu tertawa renyah, puas sekali melihat Luna masih kesal. Gama bisa menunjukkan bahwa tak hanya Luna yang bisa membuat Gama kesal, Gama juga bisa membuat Luna kesal. Selesai berpakaian, Luna duduk di samping Gama dengan sepasang sepatu yang ia tenteng. Gama yang memang menunggu Luna selesai bersiap, menumpukan dagunya seraya melirik jenaka ke arah Luna. Tidak lembut, Luna membanting sepasang sepatunya sampai terdengar bunyi benturan keras antara alas sepatu dan lantai. Tak sampai sana, kembali Luna mengomel. "Tempo hari Luna itu nggak bisa cepet-cepet keluar kamar mandi karena harus kuras bathup dulu. Nanti Om Gama ngomel lagi kalau Luna abis berendam dan lupa kuras air. Lagian juga salah Om Gama nggak bilang kalau masuk kerja! Biasanya tanggal merah juga libur." "Luna nggak suka ya Om Gama bersikap kayak anak kecil!" tambah Luna karena Gama tak menyaut. Gama yang awalnya bersikap santai seraya cekakak-cekikik berubah melotot mendengar kata terakhir yang Luna ucapkan. Excuse me! Apa bocah ini mengataiku bocah? Apa dia tidak berkaca? Apa amnesia mengenai umurku? tanya Gama pada dirinya sendiri. Terbata, seolah tak menyangka. "A... apa otakmu sedang tidak utuh? Kamu nggak salah ngatain saya bocah?" "Om Gama udah sadar kalau udah tua, masih aja bertingkah kayak bocah! Apa bedanya sama Luna?" "Astaga! Harus ekstra sabar hadapin kamu, Lun! Udahlah ayo berangkat." Gama bangkit, ia mengambil kunci mobilnya yang terletak di atas nakas. Kemudian menyakuinya. Luna yang belum selesai mengikat tali sepatu dengan cepat menalinya asal, kemudian berjalan cepat mengekor di belakang Gama. "Pokoknya kalau Luna telat, Om Gama yang salah!" "Iyaudah! Iya!" jawab Gama sebagai percakapan penutup perdebatan mereka pagi itu. *** Sial sekali memang, baru saja mobil Gama berhenti di parkiran kampus Luna. Namun Luna sudah bad mood karena Feby temannya memberinya pesan untuk memberi tahu kalau quiz sudah dimulai setengah jam lalu dan pastinya Luna tidak bisa lagi ikut. Ia yang berada di dalam mobil bersama Gama menatap nanar halaman fakultas yang tampak sepi.  "Luna kesel sama Om Gama." Lirih Luna menahan tangisnya. "Kamu maunya gimana sih, Lun? Saya suruh turun nggak mau, saya mau anterin pulang nggak mau. Kita udah lima menit diem gini doang di sini. Saya juga harus berangkat kerja." "Om Gama kira Luna bingung gini gara-gara siapa?" tanya Luna, ia melirik sinis ke arah Gama, "coba kalau Om Gama nggak usah pake acara balas dendam kayak anak kecil, Luna nggak bakalan telat masuk kelas, Om." Gama menghembuskan napas lelah. Telinga sebelah kirinya sakit sekali mendengar ocehan Luna. Meski Luna seorang gadis bertubuh mungil, tapi suaranya jika mengoceh sangat melengking dan itu mengganggu pendengaran Gama. Gama pergi dari kampus Luna, membuat Luna semakin aktif mengoceh untuk protes. "Om Gama ngapain? Om Gama mau apa? Om Gama mau culik Luna ya? Om! Om Gama mau kemana? Ih! Jawab Om!" cerca Luna. "Mau ke kantor buat kerja, Lun. Kamu ikut saya aja. Males juga buat balik ke rumah. Jauh. Bisa-bisa saya terlambat ke kantor." "Ya nggak apa-apa, Om Gama 'kan bosnya?" "Emang saya itu kamu? Saya disiplin waktu, nggak ada kata terlambat di kamus saya. Justru saya bos, saya harus kasih contoh yang baik untuk karyawan saya." "Dasar orang tua." Ejek Luna. "Saya denger, Lun." "Terus Luna ngapain di kantor Om Gama? Bosen banget." "Main game, atau baca buku, yang penting jangan ganggu saya kerja." Luna memutar bola matanya. Ia membanting punggungnya untuk bersandar pada jok mobil. Matanya menatap kesal luar jendela. Pagi itu ia ingin kuliah, selain karena ada quiz, Luna juga ingin bertemu dengan Feby, sahabatnya. Ia ingin bercerita tentang idola mereka, Anrez Fahreza yang kemarin baru pulang dari Singapore. "Lun," panggil Gama. "Nggak usah ngomong sama Luna. Luna lagi kesel sama Om Gama. Ini semua salah Om Gama!" "Padahal saya mau tawarin es krim matcha." Luna melirik Gama penuh minat, mendengar kata matcha membuat emosi Luna sedikit mereda. Luna berdehem. "Beliin Luna es krim matcha." "Sama matcha cake juga mau?" Luna mengangguk semangat. Bibirnya yang manyun sudah tersenyum senang. Gama tertawa, tangannya mengelus puncak kepala Luna gemas. Mudah sekali membujuk bocah ingusan itu. Hanya dengan makanan dengan rasa matcha, ia sudah luluh. Benar, Luna memang masih kecil untuknya. Seperti keponakan yang sedang merajuk pada pamannya. "Jadi kamu sudah maafin saya?" tanya Gama memastikan. "Dimaafin kalo Om Gama beliin Luna album Anrez Fahreza. Gimana?" "Album kamu sudah banyak, ngapain beli lagi?" "Anrez Fahreza baru rilis album baru, Om! Beli dua ya?" "Ngelunjak kamu, Lun. Kenapa harus beli dua?" "Buat Feby, kasihan dia sekarang nggak punya duit buat beli album Anrez. Lagian Om Gama pelit banget? Om Gama 'kan banyak duitnya!" "Bukannya pelit, saya cuma ngerasa nggak fair. Buat kamu terlambat, tapi kenapa kompensasinya gede banget? Nggak worth itdong?" "Emang dasar ya Om Gama itu pelit banget!" "Uang jajan kamu ke mana? Baru minggu lalu saya transfer sepuluh juta. Itu lebih dari cukup dan masih sisa banyak buat beli dua album. Gitu kamu masih bilang saya pelit?" "Ya uang jajan Luna milik Luna lah! Kalo Om Gama udah transfer berarti udah nggak ada sangkut pautnya lagi sama Om Gama. Sekarang Luna minta kompensasi. Om Gama mau Luna maafin nggak? Kalo nggak mau yaudah, Luna aduin kakek Bagas." Gama berdecak. Gadis yang tengah duduk di sampingnya ini memang pintar sekali memeras uangnya. Ya meski tidak seberapa bagi Gama, tapi tetap saja Gama kesal dengan sikapnya itu. Demi tidak memperpanjang masalah, akhirnya Gama mengiyakan saja. Lelah berdebat juga. Anggap saja ia membuang uang sial untuk menyelamatkan harinya. "Yaudah nanti saya belikan." "Yeay! Makasih Om Gama. Tambah ganteng deh Om!" *** Di kantor, seperti biasa karyawan yang berpapasan dengan Gama menyapa seraya menunduk memberi hormat. Luna yang berjalan di sampingnya tampak merasa kikuk. Bagaimana tidak kikuk jika semua pasang mata kini tertuju padanya. Pada dirinya yang masih memakai baju santai dan berjalan tepat di samping Gama, atasan mereka. Gadis yang masih bisa dibilang remaja itu tak canggung sama sekali berada di samping pria berpengaruh. Gama yang menyadari bahwa Luna merasa tidak nyaman memutuskan untuk meraih tangannya untuk ia genggam. Gama berbisik. "Kamu nggak nyaman?" tanya Gama. "Iya, Om. Kan ini pertama kalinya Om Gama bawa Luna ke kantor. Mereka pada lihatin Luna." Gama memasuki lift yang baru saja terbuka. Ia yang masuk bersama Luna benar-benar menjadi pusat perhatian dan bahan omongan. Pasalnya pernikahan Luna dan Gama terbilang tertutup. Hanya kolega dan beberapa orang penting saja yang tahu. Rencana Bagas juga yang tidak ingin memublikasikan sebelum Luna benar-benar dewasa untuk menjaga privasi gadis remaja itu. Namun tetap saja gosip beredar bahwa Gama menikahi gadis muda tidak bisa terelakkan. Dan sekarang mereka terkejut melihat Gama menggandeng gadis muda. Terlebih Gama membawa gadis itu ke ruangannya.  “Om, Luna malu. Luna pulang aja ya? Naik taksi?” “Jam makan siang aja saya antar pulang. Kalau sekarang saya harus segera menandatangani berkas. Pagi ini pekerjaan saya menumpuk.”  “Yaudah deh, Luna sarapan cake sama es krim aja.” Balas Luna tampak lesu. “Tenang aja, di ruangan saya nggak ada siapa-siapa, kok. Ruangan sekretaris saya juga terpisah.” Ucap Gama sebelum mereka memasuki ruang kerjanya. Benar saja, baru setengah jam Luna sudah mati bosan berdiam diri di ruangan Gama. Cake dan es krimnya sudah ludes ia makan. Dengan perut yang sudah terisi, Luna duduk bersandar di sofa seraya memainkan game-nya melalui ponsel. Sesekali Luna melirik ke arah Gama yang fokus membaca berkas di mejanya. Kacamata yang bertengger di hidung mancung Gama, serta setelan jas yang dikenakannya benar-benar membuat Gama patut diperebutkan kaum hawa di luaran sana. Sekali lihat saja mereka para kaum hawa pecinta uang juga pasti tahu Gama itu gudangnya uang. Bank berjalan, julukan yang orang-orang beri.  “Kenapa lihatin saya? Ganteng ya saya?” tanya Gama yang rupanya sadar sedari tadi diperhatikan Luna. Gelagapan, Luna membuang wajah karena tertangkap basah. Ia malu sendiri karena memperhatikan Gama seintens itu. Tak bisa Luna pungkiri bahwa Gama ini berwajah tampan, usianya memang sudah tiga puluh tahun, tapi wajah Gama mengatakan bahwa dirinya masih berumur pertengahan dua puluhan. Rahang tegas, bibir merah meski sering merokok, belum lagi alis tebal dan tatapan mata tajamnya itu. Dia benar-benar memiliki fisik yang menurut Luna sudah sempurna.  Luna berdehem, ia berusaha mengatur dirinya agar tidak gugup. Kembali Luna melihat ke arah Gama. “Om Gama kenapa mau nikahin Luna?” tanya Luna penasaran. Sudah lama ia ingin menanyakan hal itu, enam bulan ia memendam pertanyaan itu karena takut Gama marah jika Luna melayangkannya.  Gama membuka kacamatanya, ia mengalihkan tatapannya pada setumpuk berkas untuk membalas tatapan Luna. “Apa kurang jelas? Ya karena papa saya yang minta.”  “Om ‘kan bisa tolak?” “Kamu? Kenapa kamu mau nikah sama saya? Umur saya tidak bisa dibilang muda lagi. Sudah kepala tiga, dan selisih umur kita tiga belas tahun. Di umur kamu itu waktunya mengenal cinta dengan laki-laki sebaya kamu.” Gama membalikkan ucapan Luna, ia juga ingin tahu alasan Luna mau menikahinya.  “Luna nggak mau nikah sama Om. Tapi Luna kasihan papa yang jadi sasaran amarah Kakek Damar. Harusnya mama Luna nikah sama adik bungsu kakek Bagas ‘kan? Tapi karena mama sama papa saling mencintai, akhirnya perjodohan mama batal. Ya Luna nggak mau bikin papa sedih dibuat sasaran amarah kakek Damar. Buktinya sekarang kakek sama papa udah baikan. Sejak Luna mau nikah sama Om Gama. Keinginan kakek Bagas sama kakek Damar terwujud untuk memiliki hubungan keluarga.” Jelas Luna panjang lebar. Mendengar penjelasan Luna membuat Gama sadar bahwa gadis itu bukan gadis egois. Ya meski dia sangat mengganggu, Gama yakin bahwa Luna gadis baik-baik. Poin tambahan yang dimiliki Luna selain cantik, dia sangat perhatian dan gampang iba. Gadis itu berhati lembut, itu kenapa Luna sangat cengeng dan mudah tersentuh, serta mudah dibujuk. “Kalau Om Gama? Kenapa Om Gama mau dijodohin sama Luna? Luna masih sekolah, Luna suka ngerepotin Om. Luna juga nggak bisa siapin kebutuhan Om.” “Selain menuruti permintaan papa saya, kamu juga gadis baik Luna. Saya pikir, menjalaninya dulu adalah pilihan paling rasional. Urusan kita jodoh atau tidak, biar menjadi urusan nanti. Yang penting jalani saja. Saya juga sudah capek setiap hari diteror papa saya.”  “Om Luna nggak nyesel nikah sama Luna?” “Dibilang nggak nyesel ya saya nyesel, kenapa nikahin kamu pas umur kamu baru tujuh belas tahun. Saya masih punya adab untuk menahan hasrat saya karena kamu belum cukup umur melayani saya. Kamu juga ngerepotin. Cerewet dan nyebelin. Belum lagi …,” ucapan Gama terpotong. “Tapi Luna cantik ‘kan Om?”  Untuk itu, Gama setuju. Tanpa ragu ia menjawab. “Ya, kamu cantik Luna.”  -   T o    B e    C o n t i n u e   -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD