Malam ini, suasana kamar terasa berbeda. Ada ketenangan yang aneh dan kehangatan yang perlahan-lahan merayapi setiap sudut ruangan. Aku duduk di tepi ranjang, hatiku berdebar-debar sementara Zein bersimpuh di hadapanku. Banyak hal yang telah terjadi—keletihan, stres, dan mungkin sedikit rasa takut yang menyelinap di antara kami hingga aku lalai memberikan hakku kepada Zein sebagai seorang istri. Namun, malam ini, ada perasaan yang berbeda. Aku merasa siap. Zein menatapku begitu dalam. Aku bisa melihat cinta dan pengertian di matanya, sebuah pantulan dari semua kesabaran yang dia tunjukkan selama ini. Sebentar saja aku sudah dibuat duduk di atas pangkuannya, lalu aku mengalungkan tanganku di lehernya. Sentuhannya yang hangat membuat hatiku terasa tenang—membelai punggungku lembut. “Zee,”

