“Kenapa jadi kamu yang marah?” tanya Zein dan aku diam saja. Aku tidak mencak-mencak marah, tapi aku diam seribu bahasa. Bagaimana tidak, aku sudah meminta maaf dan menjelaskan padanya kalau aku tidak tahu Radit datang ke kafe itu, tapi Zein terus mengabaikanku. Jadi aku pikir diam saja lebih baik. “Mas ‘kan nggak percaya,” kesalku akhirnya buka suara. “Kalau Mas ragu, kamu yakinkan. Pantas saja kemarin kamu panggil Mas dengan sebutan Kakak. Coba jelaskan,” pintanya. Rendi dan Edo sudah masuk lebih dulu ke dalam kafe. Aku pun menjelaskan pertemuanku dengan Radit hingga akhirnya aku melantur. “Hanya itu saja, selebihnya tidak ada yang perlu dijelaskan panjang lebar karena sedari tadi Vanya sudah jujur,” terangku padanya. Aku memunduk memainkan jemariku. Bibirku sudah maju, cemberut.

