Masuk Jebakan Mrs. Kaindra Bastian

1353 Words
“Bara, kamu harus tahu siapa yang tadi datang ke rumah kita!” Seru Anita. Bara menautkan alisnya, “memangnya siapa yang datang?” “Bos-nya Flora,” jawab Anita dramatis. Bara mematung. “Bos… nya Flora?” “Iya!” Anita mengangguk cepat. “Seorang perempuan… cantik, rapi, pakaiannya mahal. Sampai ibu nggak bisa berhenti ngeliatin tasnya—kayaknya harga tasnya saja bisa buat bayar kontrakan setahun!” Bara mengerutkan kening. “Terus? Dia mau ngapain kesini?” Bara sama sekali tak memikirkan bagaimana kehidupan Flora sekarang. “Dia bilang mau ambil dokumen-dokumen Flora.” Bara terbelalak. Nafasnya tercekat. “Dokumen?” gumamnya. Ia menelan ludah. “Aku… kan udah bakar semuanya, Bu.” Anita mendecak. “Iya, makanya ibu bilang ke dia, dokumennya sudah nggak ada!” Bara perlahan duduk di kursi. “B-Bos-nya Flora?” ulangnya pelan. “Flora kerjasama orang kaya begitu?” Anita mendesah panjang, lalu duduk di depannya. “Ibu ga mau tahu soal si Flora. Tapi Bar… ibu yakin, perempuan itu bukan bos biasa.” Matanya menyipit. “Dari cara dia ngomong, cara dia melihat rumah kita… kayaknya dia orang penting.” Bara meremas rambutnya frustasi. “Aneh, Bu… Flora bisa kerja pada orang kaya gitu dari mana? Dia kan dulu baru melahirkan, nggak punya apa-apa… dan dia tak punya dokumen apapun.” Anita mengangkat bahu. “Ibu ga tahu dan ga mau tahu. Tapi ibu sempat minta pekerjaan sama bos Flora itu.” “Pekerjaan?” Bara memandang ibunya tajam. “Iya! Ibu tanya ke dia… siapa tahu ibu bisa kerja sama dia.” Anita menjawab tanpa rasa bersalah. Bara menatap tak percaya. “Ibu… serius? Mau kerja?” “Lho! Kita butuh uang, Bar! Kamu juga tahu gaji kamu sekarang kecil!” Bara menunduk, wajahnya pahit. Kerjaannya sebagai cleaning service serabutan memang tak sebanding dengan kebutuhan hidup mereka. “Terus… dia bilang apa?” tanya Bara pelan. Anita menghela napas panjang, lalu menjawab, “Dia bilang… belum ada lowongan.” Bara mengetuk meja pelan—bahkan terlalu pelan. Dulunya ia keras dan meledak-ledak. Kini… lebih banyak pahit dan diam. “Bu…” Bara bergumam lirih. “Menurut ibu… kenapa dia nyari dokumen Flora?” Anita terdiam sesaat. Lalu ia berkata, “Ibu ga tahu Bar. Ibu ga mau tahu tentang Flora.” “Kalau Flora sekarang sukses…” Bara menatap kosong ke lantai. “Apa dia… masih dendam sama kita?” “Balas dendam apa sih Bar? Sudahlah jangan berpikir kejauhan!” Seru Anita. Malam harinya Flora mendapat kejutan dari Kaindra. Kaindra membawa Flora ke sebuah restoran. Restoran fine–dining. Restoran itu dipenuhi cahaya kekuningan yang hangat. Lampu-lampu gantung kristal memantulkan sinar lembut, membuat suasana tampak intim dan mahal. Dari jendela besar di sisi ruangan, pemandangan kota malam terlihat seperti lautan bintang buatan. Flora duduk berhadapan dengan Kaindra di sebuah meja bundar kecil yang ditata begitu indah. Vas kaca mungil berisi mawar putih berdiri tepat di antara mereka, memberikan aroma ringan yang menenangkan. Kaindra membuka serbetnya, lalu menatap Flora dengan senyum tipis yang hanya ia berikan pada istrinya itu. “Capek?” tanyanya lembut sambil menyentuh jemari Flora di atas meja. “Sedikit,” jawab Flora jujur. “Tapi semua hilang kalau kamu ada, Mas.” Mata Kaindra melembut. “Bagus. Aku memang ingin jadi tempat kamu pulang… tempat kamu istirahat.” Pelayan datang membawa hidangan utama, steak wagyu yang matang sempurna, pasta creamy dengan jamur truffle favorit Flora, serta satu botol sparkling juice. Setelah pelayan pamit, Kaindra memotong steak kecil-kecil. Flora mengira itu hanya kebiasaan baiknya saja… tapi saat Kaindra mencondongkan tubuh sedikit dan menyodorkan garpu berisi potongan steak itu ke arah bibirnya, Flora terkejut. “Mas… kamu—” “Hm?” Kaindra menaikkan alis, pura-pura tak mengerti. “Buka mulutnya.” Flora hanya bisa tersenyum malu. Tatapan beberapa tamu sempat mengarah ke mereka, tetapi Kaindra tak terlihat peduli sama sekali. Akhirnya Flora membuka mulut, membiarkan potongan steak itu masuk. Rasanya lembut, juicy, tapi bukan itu yang membuat dadanya menghangat. Melainkan cara Kaindra menatapnya—seakan Flora adalah sesuatu yang sangat berharga. “Enak?” tanya Kaindra. “Enak sekali…” Flora mengangguk. “Tapi kamu bikin aku malu.” “Biar saja,” ucap Kaindra santai. “Istriku cantik… aku ingin manjain kamu kapan pun aku mau.” Giliran Flora yang pipinya memanas. Kaindra mengambil tisu, menyeka sudut bibir Flora dengan perlahan, lalu berkata dalam suara rendah yang hanya bisa didengar istrinya, “Kamu tahu… semakin hari aku makin takut kehilangan kamu.” Flora tercekat. “Mas…” Kaindra menatapnya dalam-dalam. “Aku tau kamu kuat. Tapi… kalau kamu sedih, kalau kamu terluka, kalau kamu takut… jangan simpan sendiri. Aku ada disini. Selalu.” Suara itu, perhatian itu, cara Kaindra bersikap seolah Flora satu-satunya wanita di dunia. Semua itu membuat Flora merasa dicintai dengan cara yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya. Flora menjulurkan tangan, menggenggam tangan Kaindra. “Aku nggak ke mana-mana, Mas.” Kaindra tersenyum kecil… senyum yang begitu lembut hingga d**a Flora bergetar. “Bagus,” jawab Kaindra. “Karena aku niatnya menyuapi kamu sampai habis malam ini.” “Mas Kaindra…” Flora tertawa kecil, wajahnya memerah. “Kenapa?” Kaindra kembali mengangkat garpu, menyuapi Flora dengan manis yang berlebihan. “Kamu protes?” “Nggak…” Flora membalas dengan suara pelan. “…aku suka.” Kaindra berhenti sejenak, lalu mengusap puncak kepala Flora. “Good Wife.” Flora langsung menunduk, merasa jantungnya berdetak tak karuan. Malam itu makan malam terasa lebih dari sekadar makan. Ada canda kecil, tatapan hangat, dan sentuhan yang begitu lembut. Flora merasa nyaman, aman, dan dihargai. Seolah dunia memang mengecil, tersisa hanya dua manusia saja, Flora dan Kaindra. Dan untuk pertama kalinya sejak trauma masa lalunya… Flora merasa benar-benar dicintai. Beberapa hari kemudian, suasana rumah kecil Anita terasa berbeda. Pagi itu ia baru selesai menyapu halaman ketika terdengar suara ketukan di pagar. Anita membuka pintu pagar itu sedikit, menatap keluar. Seorang laki-laki dengan pakaian rapi—seragam hitam dengan emblem kecil bertuliskan House of Kaindra—berdiri tegak di depannya. Sikapnya sopan, dan wajahnya serius. “Permisi, Bu. Dengan Ibu Anita?” Anita mengerutkan kening. “Iya, saya. Ada apa, ya?” Pria itu menunduk hormat. “Saya diutus oleh Nyonya Kaindra.” Anita mengerjap bingung. “Nyonya… Kaindra? Saya… tidak kenal siapa itu.” Pria itu tersenyum kecil, seolah sudah menduga kebingungan itu. “Nyonya Kaindra, Bu. Beliau meminta saya datang ke sini untuk menyampaikan pesan. Katanya, Ibu sedang mencari pekerjaan.” Lelaki itu menunjukkan foto Flora hingga akhirnya Anita mengangguk, ia tahu sekarang wanita yang mengaku bosnya Flora itu adalah nyonya Kaindra. Pria itu melanjutkan, “Nyonya meminta Ibu datang ke rumah besok pagi, pukul sembilan. Ada posisi asisten rumah tangga yang tersedia. Beliau menawarkan pekerjaan itu untuk Ibu.” Anita tertegun. “K… kerja?” suaranya bergetar kecil. “Di… rumahnya Nyonya Kaindra?” “Betul, Bu. Ini kartu alamatnya.” Pria itu menyerahkan kartu tebal berwarna hitam dengan tulisan emas elegan. Nama Kaindra Residence tercantum jelas di atasnya. Anita menerima kartu itu dengan kedua tangannya, nyaris tidak berkedip. “Baik,… terima kasih,” ucapnya setelah beberapa detik terpaku. Pria itu menunduk hormat. “Sama-sama, Bu. Kami menunggu kehadiran Anda besok.” Setelah itu ia kembali ke mobil hitam yang menunggunya di depan. Mobil itu melaju pelan, meninggalkan debu tipis di jalan tanah rumah Anita. Begitu gerbang tertutup, Anita terduduk di kursi plastik halaman, memandang kartu hitam itu dengan tangan gemetar. Nyonya Kaindra… Bosnya Flora… Ternyata dia nyonya besar… istri orang kaya… Wajah Anita memucat. Rasa malu, terkejut, sekaligus harapan liar berkecamuk dalam d**a. “Nyonya Kaindra…” bisiknya pelan, tak percaya. “Dan… dia ingin aku bekerja di rumahnya?” Tatapannya kosong beberapa detik. Lalu tanpa sadar… bibirnya tersenyum kecil—senyum yang penuh kekaguman sekaligus ketakutan. “Tuhan. Apakah ini… pertolongan untukku dan Bara?” Pagi itu Anita memeluk kartu kecil itu seakan itu adalah secarik tiket menuju harapan terakhir dalam hidupnya. Dan ia belum tahu dari balik jendela rumah mewahnya, Flora menatap kartu yang sama… dengan ekspresi yang jauh berbeda. Tenang. Tegas. Dan penuh kendali. “Sampai jumpa besok di rumahku,” ucap Flora sambil tersenyum.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD