Niat Jahat

1568 Words
Rumah kecil Anita malam itu terasa lebih hangat dari biasanya. Aroma sayur bening dan tempe goreng memenuhi ruangan. Anita menyajikan makan malam sederhana itu sambil bersenandung pelan—sesuatu yang jarang sekali ia lakukan. Bara memandangi ibunya sejak tadi. Ada yang berbeda. Terlalu berbeda. “Ibu kenapa sih?” tanya Bara akhirnya. “Kok kelihatannya seneng banget dari tadi.” Anita menaruh mangkuk ke meja, lalu duduk dengan senyum lebar yang membuat Bara semakin curiga. “Mulai besok Ibu kerja. Ibu diterima kerja di rumah Nyonya Kaindra.” Bara mengernyit. “Siapa? Nyonya Kaindra?” “Bosnya Flora yang tempi hari datang ke sini,” jawab Anita dengan nada bangga. “Ibu udah nggak sabar kerja dan dapat uang.” Bara menghentikan gerakan sendoknya. Nafsu makan hilang seketika. “Bu… kalau di sana Ibu ketemu Flora gimana?” Anita mengibaskan tangan dengan percaya diri yang menusuk d**a Bara. “Pasti Flora juga kerja jadi pembantu kayak Ibu. Lagian Ibu bakal bikin dia dipecat. Ibu nggak mau dekat-dekat sama dia lagi.” Bara menegang. Ada sesuatu yang menggelitik batinnya—perasaan tidak nyaman, firasat buruk yang merayap. “Ibu yakin?” suaranya bergetar tipis. Anita hanya mengangguk mantap. “pokoknya ibu yakin akan kerja. Kalau ketemu Flora, ibu akan singkirkan dia…” Bara buru-buru memotong. “Sudah, Bu. Makan dulu.” Anita terdiam, tapi wajahnya tetap sumringah, tak menyadari apa pun. Tidak tahu kalau ia akan bekerja pada Flora, menantu yang dulu disiksanya secara mental dan fisik. Sementara itu di rumah Kaindra yang megah, suasana berbeda seratus delapan puluh derajat. Flora duduk di pinggir tempat tidur, menyisir rambutnya pelan sambil bercerita pada suaminya. “Mas, sudah menerima satu asisten baru untuk menggantikan Bu Narti. Dia bilang mau berhenti karena mau menikah.” Kaindra yang tengah melepas jam tangannya hanya mengangguk dengan senyum lembut. “Iya, sayang. Kamu nyonya di rumah ini. Urusan asisten rumah tangga aku serahkan sepenuhnya sama kamu.” Flora mengangguk pelan lalu ia mendekati suaminya. “Oke, sayang. Terima kasih.” Ia lalu memeluk Kaindra, menenggelamkan wajahnya di d**a lelaki itu, menemukan kehangatan yang dulu tak pernah ia miliki. Flora mulai berpikir jika ia akan sering bertemu Anita. Perempuan yang dulu membentak, merendahkan, menyiksa mentalnya, bahkan menamparnya dengan alasan sepele. Perempuan yang membuat rumah tangganya menjadi neraka. Kaindra tidak menyadari perubahan ekspresi istrinya. “Sayang? Kamu kenapa?” Flora perlahan mengangkat wajah. Di matanya ada sesuatu yang tidak pernah Kaindra lihat sebelumnya. Bukan takut. Bukan sedih. Tapi dingin. Gelap. Penuh luka yang belum sembuh. Dan di balik luka itu… ada sesuatu yang lebih tajam. “Tidak apa-apa,” jawab Flora pelan. “Aku cuma teringat sesuatu.” Kaindra mengusap puncak kepalanya dengan lembut. “Kalau ada yang mengganggu, bilang ke aku.” Flora tersenyum samar—senyum yang tidak sampai ke mata. “Tentu.” Saat Kaindra ke kamar mandi, Flora kembali menatap layar ponselnya. Layar ponselnya menunjukan pesan dari kepala asisten rumah tangga di rumahnya yang menyampaikan data diri Anita beserta fotonya. Jantungnya berdetak lebih cepat, tapi bukan karena panik. Bukan lagi Flora yang dulu menjadi mesin uang dan pembantu di rumah mantan mertuanya. Sekarang ia adalah Nyonya Kaindra Bastian. Perempuan yang hidup dalam kemewahan dan dihormati semua asisten rumah tangga. Perempuan yang punya kuasa… untuk membuat siapa pun berlutut. Termasuk Anita. Flora menutup ponsel itu perlahan. “Akhirnya…” bisiknya nyaris tanpa suara, “kamu datang ke rumahku.” Matanya mengeras. “Aku akan memastikan kau merasakan setiap luka yang kau berikan padaku dulu… satu per satu.” Malam itu Flora tersenyum untuk pertama kalinya—senyum yang dingin, tenang, sekaligus mematikan. Dan permainannya baru saja dimulai. Di tempat lain di rumah Anita. Kamar Anita malam itu terlihat berantakan. Di atas kasur tipisnya, baju-baju dilipat seadanya lalu dimasukan ke dalam satu tas besar yang sudah mulai menggelembung. Anita tampak bersemangat, bahkan nafasnya sedikit terengah karena sibuk mondar-mandir mengambil barang. Resleting tas ia tarik terbuka lebar, lalu satu per satu pakaian dimasukkan tanpa banyak dipikir. Bara berdiri di ambang pintu, menatap ibunya tanpa bergerak. Wajahnya dipenuhi kerisauan yang sulit disembunyikan. “Bu…” suaranya lirih tapi jelas. “Ibu yakin mau kerja jadi pembantu?” Anita berhenti sejenak, namun hanya untuk merapikan gulungan celana yang nyaris jatuh dari tas. “Ibu yakin,” jawabnya pendek. “Tapi selama ini Ibu belum pernah kerja sama sekali,” Bara mendekat dua langkah. “Apa nggak terlalu berat? Apa Ibu—” Anita langsung menoleh dengan tatapan tajam. “Salah sendiri kamu belum nikah lagi!” Bara memejamkan mata sejenak, meredam emosi. “Kalau saja kamu menikah,” lanjut Anita tanpa ampun, “dan ada wanita yang mau sama kamu dengan syarat yang Ibu ajukan, Ibu nggak perlu kerja jadi pembantu. Ada menantu yang bisa disuruh seumur hidup kerja dan ga punya anak. Enak, kan?” Bara terpaku. Ada rasa perih yang menikam d**a. “Bu… nggak semua perempuan bisa diperlakukan begitu.” “Ya makanya! Flora juga ujung-ujungnya hamil dan menyusahkan dulu.” Anita mengibaskan tangan sambil menjejalkan sepasang sandal ke dalam tas. “Karena kamu nggak laku-laku. Sudah! Kamu jangan menghalangi Ibu. Ibu butuh uang.” “Ibu—” “Cukup, Bara.” Anita menutup tas itu dengan suara resleting yang menggema, tegas dan keras. “Ibu mau kerja. Titik.” Bara hanya bisa berdiri mematung, matanya menatap tas besar itu. Tas yang besok akan dibawa ibunya. Anita menepuk-nepuk tasnya, memastikan semuanya masuk. Setelah itu ia berdiri sambil menepikan rambutnya ke belakang telinga, seolah ia hendak memberikan pengumuman penting. “Bara,” panggilnya tanpa menoleh. Bara yang masih berdiri kaku di tengah kamar hanya mengangkat wajah. “Iya, Bu.” “Ada satu hal lagi yang harus kamu ingat baik-baik.” Anita menyilangkan tangan di d**a, matanya menatap Bara tajam, seperti seorang jenderal yang sedang memberi perintah. “Kamu itu harus cepat cari perempuan buat dinikahi.” Bara terdiam. Nafasnya terasa lebih berat. “Jangan pilih yang manja atau yang sok-sokan kaya,” lanjut Anita. “Cari yang nurut sama mertua, yang siap kerja setelah nikah. Yang mau bantu-bantu. Jangan perempuan yang cuma bisa dandan atau ngabisin uang.” Bara menelan ludah pelan. “Bu…” “Dan satu lagi.” Anita mengacungkan telunjuk. “Kalau kamu nanti nikah, kamu jangan punya anak dulu sebelum Ibu izinkan.” Bara memandang ibunya lama. Ada campuran lelah dan pasrah. “Kenapa harus begitu, Bu?” “Soalnya kalau dia langsung hamil, dia pasti berhenti kerja. Ibu yang repot lagi. Ibu nggak mau itu terjadi.” Nada suara Anita mantap, tanpa ragu sedikitpun. “Dengar baik-baik. Kamu harus pastikan istrimu nanti bisa kerja dulu. Baru setelah Ibu bilang boleh, kamu punya anak.” Bara hanya bisa mengangguk kecil. “Baik, Bu.” Jawabannya terdengar pelan… tapi cukup untuk membuat Anita merasa puas. Anita menepuk bahu Bara dua kali, seolah mengesahkan keputusan itu. “Bagus. Kamu anak Ibu yang paling Ibu andalkan. Jangan kecewain Ibu.” Bara tersenyum hambar. “Iya, Bu.” Anita kembali sibuk memeriksa tasnya, sementara Bara berdiri di sana, dadanya sesak oleh perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Perintah ibunya berat. Tapi ia tahu satu hal pasti. Besok… hidup mereka akan berubah. Dan Bara tidak tahu apakah perubahan itu akan menjadi awal baik—atau sebuah bencana. Keesokan paginya. Udara masih lembab ketika Anita turun dari angkot. Ia memandang gerbang besar yang menjulang tinggi di hadapannya—gerbang hitam elegan dengan ornamen emas yang tampak mahal. Di baliknya, tampak halaman luas, pepohonan tertata rapi, dan rumah mewah berwarna putih krem berdiri anggun. Anita terdiam beberapa detik. “Wah… rumah bosnya Flora ternyata sekeren ini,” gumamnya lirih, nada suaranya mengandung kekaguman sekaligus rasa tidak terima. “Pantas saja dia betah.” Tidak butuh waktu lama sampai gerbang itu terbuka otomatis. Dari dalam keluar seorang perempuan sekitar usia empat puluhan, rapi dan berwibawa. Rambutnya disanggul bersih, seragamnya berbeda dari ART lain—lebih formal, lebih elite. Cara berjalan dan sorot matanya menunjukkan satu hal. Dialah kepala asisten rumah tangga di rumah itu. Perempuan itu berhenti tepat di depan Anita, menatap dari ujung kaki hingga kepala. Bukannya memandang rendah, melainkan menilai dengan profesional dan hati-hati. “Selamat pagi,” sapanya dengan suara tegas namun sopan. “Anda Ibu Anita?” Anita buru-buru mengangguk. “I-iya, Bu.” “Saya Bu Ratna,” jawabnya. “Saya kepala asisten rumah tangga dan penanggung jawab seluruh pegawai di kediaman keluarga Kaindra. Mulai hari ini, Ibu akan bekerja di bawah arahan saya. Di sini semua pekerjaan memiliki aturan ketat, dan setiap staf wajib menghormati kedudukan Nyonya dan Tuan rumah.” Anita hanya bisa mengangguk. Wibawa perempuan itu membuatnya kaku. Caranya bicara, bahkan tersenyum kecil pun terlihat seperti seseorang yang sangat dihormati. Saat Bu Ratna berbalik dan mempersilakan Anita masuk, Anita mendadak menarik napas panjang. “Kalau begini… aku juga bisa!” pikir Anita dalam hati. “Aku bisa naik posisi. Bisa jadi kepala asisten rumah tangga juga. Siapa Bu Ratna ini? Sama-sama manusia. Kalo aku rajin, aku bisa gantiin posisinya!” Ia memandangi punggung Ratna dengan tatapan ambisius. Semakin masuk ke halaman, semakin terpampang kemewahan rumah itu—kolam air mancur, taman luas, jalan setapak batu mahal. Semuanya membuat Anita merasa kecil… namun juga membuat keinginannya semakin kuat. “Apa pun yang terjadi, aku harus berhasil di sini.” Tanpa sadar, Anita tersenyum tipis. Mungkin… keberuntungannya memang baru saja dimulai. Anita tidak tahu, bahwa Nyonya rumah itu Flora dan Flora sedang menunggunya dengan senyum yang jauh lebih dingin dan penuh rencana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD