Menantu jadi Majikan

1584 Words
Anita duduk di tepi ranjang kecilnya, kaki masih terasa pegal setelah briefing panjang. Ia meraih ponselnya dan segera menelpon Bara. Suara dering terdengar beberapa kali sebelum akhirnya tersambung. “Bar,” ujar Anita pelan, menahan napas karena lelah namun antusias. “Bar, ibu punya tugas penting besok.” Suara Bara terdengar khawatir dari seberang, “Tugas penting? Maksud ibu apa?” Anita menghela napas, lalu tersenyum bangga meskipun tak ada yang melihat. “Besok keluarga nyonya Kaindra akan datang. Katanya ibu harus kerja dengan sangat baik. Ibu dikasih tugas bersihin ruang tamu, ruang keluarga, lorong lantai satu, sama ruangan-ruangan penting lainnya. Banyak banget barnya, gede banget rumah ini.” Bara langsung merespons cepat, nada suaranya tegang. “Bu… kalau pekerjaan ini berat buat ibu, jangan diterusin ya? Biar aku aja yang kerja! Ibu tuh belum pernah kerja kayak gitu.” Anita mendengus kecil, tersinggung tapi lebih pada gaya khasnya yang merasa dirinya mampu. “Jangan ngomong gitu, Bar. Ibu nggak akan nyerah. Ini kesempatan besar. Ibu mengincar posisi kepala asisten rumah tangga di sini. Enak banget kerjanya… cuma nyuruh-nyuruh orang. Kalau ibu bisa naik jabatan, ibu ga perlu capek lagi.” Bara terdiam. Suaranya lirih saat akhirnya berkata, “Aku cuma takut ibu kecapean…” “Ahh kamu ini,” Anita mengibaskan tangan walau Bara tak bisa melihat. “Ibu kuat! Ibu mau buktiin ibu bisa kerja, bisa sukses di sini. Kamu doain aja.” Beberapa detik hening sebelum Bara menjawab, “…Iya bu. Kalau itu yang ibu mau.” “Pinter. Udahlah, ibu mau tidur. Besok harus bangun pagi.” Mereka mengucap salam lalu panggilan berakhir. Anita meletakkan ponselnya di samping bantal. Ia berbaring perlahan, menatap langit-langit kamar kecil itu. Wajahnya dipenuhi senyum penuh perhitungan. “Besok pasti lancar…” bisiknya. “Kalau ibu kerja bagus, ibu bisa naik posisi. Baru deh hidup ibu enakan.” Ia memejamkan mata, membayangkan dirinya berdiri sebagai kepala asisten rumah tangga, memegang buku catatan, memberi perintah pada pegawai lain. Mimpi manis itu mengantar Anita perlahan tertidur, tanpa menyadari badai besar yang sebenarnya sedang ia dekati. Beberapa jam kemudian. Suara gedoran keras menghantam pintu kayu kamar Anita. Anita mengerjapkan mata cepat. Masih setengah sadar, ia bangun duduk dengan rambut berantakan dan napas terengah. Sejenak ia bingung… lalu kesadarannya kembali. “Oh iya… aku sekarang kerja jadi pembantu di rumah mewah ini…” gumamnya panik. Ketukan pintu kembali terdengar keras. “Anita! Cepat buka!” Dengan jantung berdebar, Anita bangkit, berlari kecil membuka pintu. Begitu pintu terbuka, Ratna berdiri tegak dengan tatapan tajam dan kedua tangan bersedekap. “Kamu baru bangun? Yang lain sudah mulai kerja dari tadi!” suara Ratna dingin dan tegas. “Bagaimana sih kamu ini? Hari pertama saja sudah bangun kesiangan.” Muka Anita pucat. “Sa-saya… maaf Bu Ratna… saya—” “Tidak ada alasan!” Ratna memotong. “Cepat cuci muka. Lima menit lagi kamu harus mulai bekerja. Ruang tamu, ruang keluarga, lorong lantai satu—semuanya menunggu kamu. Bersih tanpa noda, jelas?” Anita mengangguk cepat, tubuhnya gemetaran. “Siap, Bu!” Ratna tidak menatapnya lagi. Ia berbalik dan berjalan pergi dengan langkah mantap diiringi dengung perintah lain kepada ART yang lewat. Anita menutup pintu kembali, punggungnya menempel pada kayu sambil terengah. “Astaga… belum apa-apa udah dimarahin…” Ia buru-buru cuci muka, menyisir rambut, memakai seragam ART, dan berlari keluar kamar. Rumah mewah keluarga Kaindra seperti sedang bersiap menyambut tamu kerajaan. Semua ART bergerak cepat, masing-masing fokus dengan tugasnya. Ada yang memoles lantai marmer hingga berkilau. Ada yang menyusun bunga segar di vas-vas kristal. Tim dapur sudah menata bahan sarapan dan persiapan makan malam. Koridor panjang dipenuhi langkah kaki dan suara instruksi cepat. “Lorong kanan sudah dipel?” “Jangan sentuh gorden itu!” “Bersihkan pinggiran meja! Spot kecil pun harus hilang!” Di tengah hiruk pikuk itu, Anita berdiri memegangi peralatan kebersihan dengan wajah panik. Ia mulai bekerja di ruang tamu yang luasnya seperti dua lapangan badminton. Debu tidak terlihat mata, tapi Ratna menuntut kesempurnaan. Baru sepuluh menit mengepel, Ratna lewat dan menatapnya tajam. “Itu masih belum rata. Kamu ulangi!” “B-baik Bu…” Anita mengepel lagi. Dan lagi. Dan lagi. Tangan mulai pegal. Keringat membasahi pelipisnya. Rambut menempel di wajah. Nafas tersengal. Setiap kali ia berpindah ruangan, selalu ada suara: “Anita! Sudut meja itu kotor!” “Anita! Lantai ini masih licin, ulang!” “Anita! Cepat sedikit, waktu kita tidak banyak!” Anita nyaris menangis. “Ya ampun… capek banget…” bisiknya pelan sambil mengusap keringat. Namun ia tetap bekerja. Ia harus. Ia masih mengejar ambisinya menjadi kepala ART. Tapi semakin hari berjalan… semakin jelas satu hal di matanya. Ini jauh lebih berat daripada yang ia bayangkan. Sementara di ruangan lain di rumah mewah itu. Cahaya matahari pagi mulai merembes masuk melalui tirai tipis berwarna krem. Suasana kamar luas itu masih tenang, damai, dan hangat. Di atas ranjang king-size, Flora masih terlelap, nafasnya teratur, wajahnya tenang. Pelan-pelan, Kaindra mendekat. Ia baru selesai mandi dan sudah rapi dengan kemeja putih yang digulung setengah lengan. Tanpa suara, ia naik ke sisi ranjang dan membungkuk, kemudian merangkul Flora dari belakang—memeluk pinggangnya lembut. Hidungnya menyentuh bahu Flora, menghirup aroma lembut parfum istrinya. “Sayang…” bisiknya penuh kehangatan. Flora bergerak sedikit, mengerjapkan mata setengah sadar. Kaindra tersenyum, lalu menempelkan bibirnya di pipi Flora. “Sudah pagi. Ayo bangun…” suaranya lembut namun manja. Flora membuka mata sepenuhnya, menoleh sedikit, suaranya serak manja baru bangun. “Hm… pagi? Sudah jam berapa?” Kaindra mencium pucuk kepala Flora sebelum menjawab, “jam setengah enam. Kamu lupa? Kamu ada meeting jam delapan, Sayang.” Flora terbelalak kecil, langsung bangun duduk. “Astaga… iya! Aku lupa.” Kaindra tertawa pelan melihat kepanikan kecil istrinya. Ia memegang kedua bahu Flora, menenangkan. “Tenang, masih ada waktu. Aku sudah nyuruh Ratna siapkan sarapan untukmu. Kamu mandi dulu.” Flora mengusap wajah sambil tersenyum. “Terima kasih, Suamiku. Kamu memang paling perhatian.” Kaindra menarik Flora ke pelukannya lagi, memeluk erat dan hangat. “Aku selalu perhatian sama istriku yang cantik dan sibuk ini.” Flora tertawa kecil, menyandarkan kepala pada d**a Kaindra beberapa detik sebelum akhirnya berkata: “Oke, aku mandi sekarang. Setelah meeting selesai, aku langsung pulang. Bu Ratna pasti sudah sibuk menyiapkan semuanya.” Kemudian Flora menambahkan lirih, ada nada licik di balik senyumnya, “Dan aku mau lihat bagaimana kinerja asisten rumah tangga baruku…” Kaindra mengusap rambut Flora, tidak mengerti maksud tersembunyi istrinya, lalu berkata lembut, “Apapun yang kamu lakukan, aku dukung.” Flora tersenyum manis. “Aku tahu.” Ia bangkit dari ranjang dan menuju kamar mandi, sementara Kaindra mengamati istrinya dengan tatapan penuh cinta—tanpa tahu bahwa hari ini adalah hari di mana masa lalu Flora perlahan akan masuk kembali ke dalam rumah mereka. Beberapa saat kemudian. Flora keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih sedikit basah, mengurai hingga punggung. Wangi sabun dan parfum lembut memenuhi ruangan. Ia melangkah menuju meja rias dengan daster satin tipis berwarna biru muda. Di depan cermin, Flora mulai bersiap. Ia memulas pelembab, merapikan alis, mengenakan light makeup yang membuat wajahnya segar dan elegan. Kemudian ia memilih blouse putih dan rok pensil abu-abu—penampilan sempurna seorang nyonya sekaligus businesswoman yang berkelas. Kaindra memperhatikan dari sofa kecil dekat ranjang, tersenyum bangga. “Kamu selalu terlihat cantik setiap pagi,” godanya. Flora menoleh sambil mengancingkan blusnya. “Harus dong. Hari ini meeting penting.” Ia lalu mengenakan anting mutiara dan menyemprotkan parfum kesukaannya. Setelah semua rapi, Flora menatap Kaindra, tersenyum kecil. “Aku turun dulu ya. Mau cek sebentar sebelum berangkat.” Kaindra mengangguk. “Hati-hati turun. Tangga lantainya licin.” Flora berjalan keluar kamar dengan tenang dan anggun—sosok yang jelas berotoritas di rumah itu. Sementara itu, suasana di lantai satu semakin kacau bagi seorang asisten rumah tangga baru baru. Anita hampir berlari dari ruang tamu ke ruang keluarga sambil membawa kain lap dan cairan pembersih. Nafasnya terengah-engah. Peluh deras mengalir di keningnya. Lantai sudah dipel tapi Ratna lewat lagi. “Anita! Sudut karpet itu belum disedot! Kamu pikir tamu tidak melihat? Ayo kerjakan!” “Ba-baik Bu,” jawab Anita dengan suara parau. Ia menyambung pekerjaan sambil dalam hati mengumpat kecil. Astaga rumah ini gede banget. Kapan kelarnya?! Setiap lima menit ada perintah baru. “Anita, kaca jendela masih ada noda!” “Anita, meja ruang keluarga kurang mengkilap!” “Jangan lawan arah lap! Ikuti seratnya!” Anita bagaikan sedang ikut lomba ketahanan fisik. Sementara semua ART lain bergerak gesit dengan keahlian masing-masing, Anita yang baru sehari bekerja terlihat paling kacau—bahkan sempat hampir tersandung kabel vacuum cleaner. Nafasnya semakin berat. Tangannya gemetar. Tapi ia memaksa diri. Aku harus kuat. Aku harus naik posisi. Gaji besar. Bisa jadi kepala ART seperti Bu Ratna. Namun meski ia berusaha keras, hasilnya tetap… berantakan. Saat Anita sibuk membersihkan meja ruang keluarga, tiba-tiba suasana mendadak hening. ART yang tadinya bicara pelan langsung menunduk. Petugas keamanan menegakkan badan. Anita menoleh bingung—dan tubuhnya otomatis kaku. Flora muncul menuruni tangga. Wajahnya elegan. Langkahnya mantap. Rambutnya rapi. Ia tampak seperti nyonya besar yang tak boleh disentuh kesalahannya sedikit pun. Semua menunduk dalam-dalam. Anita ikut menunduk buru-buru, meski lututnya lemas. Detak jantungnya berpacu hebat. Flora berjalan melewati para ART, tidak melihat satupun wajah mereka. Hanya Ratna yang ia sapa singkat, “Nanti aku cek ruang tamu sebelum pergi.” Ratna mengangguk hormat. Sementara Anita, hanya bisa merapatkan bibir dan menunduk lebih rendah. Tanpa tahu jika menantunya dulu kini adalah nyonya di rumah mewah itu. Jika menantunya kini jadi majikannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD