Tegang

1487 Words
Anita masih sibuk mengelap meja ketika suara langkah sepatu hak terdengar mendekat perlahan. Suara itu berbeda dengan langkah para ART lain. Lebih pelan, lebih mantap, dan aura di sekitarnya seolah berubah sekaligus menegang. Namun Anita terlalu sibuk menggosok permukaan meja hingga berkilau untuk menyadarinya. Ratna, yang berdiri tak jauh dari sana, menunduk hormat. Para ART lain otomatis menjauh beberapa langkah. Flora menghampiri. Ia berdiri tepat di belakang Anita. Senyum muncul di bibir Flora. Senyum indah, namun mengandung sesuatu yang gelap dan puas. Senyum seseorang yang akhirnya melihat musuh lamanya merangkak di bawah perintahnya. Seseorang yang dulu menghancurkan hidupnya. Flora menatap punggung wanita itu, rambutnya, cara tubuhnya membungkuk dan bekerja terburu-buru. Dan Flora langsung tahu. Itu memang dia. “Ibu mertuaku… Mantan ibu mertuaku. Yang dulu memperlakukan aku seperti sampah. Dan sekarang? Kau merapikan mejaku. Kau membersihkan lantai rumahku.” Flora tak dapat menahan rasa kemenangan yang merayap manis di dadanya. Ia mendekat satu langkah lagi. Begitu dekat hingga aroma parfumnya menyentuh hidung Anita. Anita spontan menegang tapi tak berani berbalik. Ia hanya tahu ada seseorang berdiri sangat dekat. Tapi ia tidak tahu siapa. Hening. Tegang. Lalu… “Kamu.” Suara Flora lembut, namun mengandung otoritas yang menusuk. Anita perlahan menoleh—masih dengan kepala sedikit tertunduk. Saat ia mendapati sepatu hak Flora tepat di hadapannya, jantungnya langsung berdebar hebat. Ia merendahkan tubuhnya lebih rendah lagi. “Ya, Nyonya…” suaranya nyaris bergetar. Flora melirik lantai yang sedang Anita bersihkan. Dalam senyum tipisnya, tergambar rasa puas. Ia kini benar-benar memegang kendali. “Aku ingin kamu pel lagi area ini. Dengan bersih. Tidak boleh ada noda sedikitpun. Mengerti?” Anita mengangguk terburu-buru. “Ba-baik, Nyonya. Saya segera ulang.” Flora senang melihat Anita gemetaran. Puas. Manis. Seolah seluruh masa lalu perlahan terbayar. “Bagus,” ucap Flora singkat. Ia kemudian melangkah pergi dengan anggun, meninggalkan Anita yang kembali bekerja dengan tangan bergetar. Di belakang Flora, senyuman gelapnya tetap bertahan. “Ini baru permulaan, Bu. Aku akan pastikan kau mengalami setiap luka yang dulu kau tanam dalam hidupku.” Anita menyeka keringat di dahinya, napasnya terengah. Lantai marmer yang seolah tak ada habisnya itu ia pel dari ujung ke ujung. Punggungnya mulai pegal, lengan gemetar, namun ia berulang kali menggertakkan giginya. “Masa baru sehari aku nyerah? Gila aja kalau aku berhenti sekarang… malu banget aku nanti. Orang sekaya begini pasti standarnya tinggi… wajar kalau aku disuruh ulang-ulang. Ini cuma soal belajar ritme aja, Anita. Kamu pasti bisa…” Ia mencoba menyemangati diri, meski hatinya sebenarnya mulai ciut. Tapi ia tetap menggerakkan tangan—pel, gosok, pel lagi. Sementara itu, di ruang makan mewah, Flora dan Kaindra tengah menikmati sarapan pagi. Pagi yang tenang, namun mengandung guratan rencana di balik senyum lembut Flora. Kaindra menaruh roti panggangnya, menyandarkan tubuh, lalu menatap istrinya penuh sayang. “Aku masih nggak paham gimana kamu bisa terlihat semakin cantik tiap pagi,” ujarnya sambil menyentuh tangan Flora. Flora tersenyum kecil, memutar sendok di cangkir tehnya. “Kamu terlalu pandai merayu, Kaindra.” “Karena istriku memang layak dipuji,” jawabnya sebelum mencium punggung tangan Flora. Keintiman itu tampak alami. Hangat. Seakan seluruh rumah hanya berisi dua orang yang saling mencintai dalam dunia mereka sendiri. Setelah selesai makan, keduanya bersiap berangkat. Kaindra mengenakan jas gelapnya, menyalakan mobil, dan keluar lebih dulu. Ia menyetir sendiri menuju kantornya di pusat kota. Flora menyusul tak lama kemudian, diantar oleh sopir menuju gedung megah milik ayahnya, Naren. Hari ini ia punya meeting penting—posisi strategis dalam perusahaan keluarga membuat jadwalnya selalu padat. Dalam perjalanan, Flora bersandar setengah pada kursi, jendela mobil memperlihatkan pantulan wajahnya. Wajah yang tidak lagi selembut dulu—kini ada sesuatu di dalam matanya. Sesuatu yang tak pernah mati meski tubuhnya terbaring koma lima tahun. Ingatan itu. Kelapan yang ia rasa itu. Nama Anita dan Bara berputar jelas di kepalanya, seolah seseorang menulisnya di kaca mobil yang mulai berembun. Mereka mungkin mengira waktunya sudah mengubur segalanya. Mereka salah besar. Senyum tipis muncul di bibir Flora—samar, namun tajam. Ia menatap lurus ke depan, suaranya hanya terdengar oleh dirinya sendiri. “Kalian pikir aku lupa… tapi sekarang giliranku membuat kalian merasakan apa itu neraka.” Mobil melaju kencang.Dan permainan balas dendam Flora baru saja dimulai. Begitu mobil berhenti di depan lobi gedung perusahaan keluarga Madhava, Flora turun dengan langkah mantap. Tumit sepatunya mengetuk lantai marmer putih, menciptakan gema yang terdengar jelas di antara dinding kaca modern. Para karyawan yang sudah berdiri di depan lift otomatis merapat memberi jalan. “Selamat pagi, Bu Flora.” “Pagi, Bu.” Flora hanya mengangguk singkat—wibawanya cukup untuk membuat semua orang menahan napas. Aura dinginnya tak pernah berkurang sejak kembali bekerja; justru semakin kuat. Setibanya di lantai 7, ia langsung berjalan menuju ruang meeting. Pintu transparan itu terbuka otomatis begitu mendeteksi chip di ID card-nya. Di dalam, sosok pria paruh baya dengan jas rapi sedang memeriksa berkas. Naren.Ayahnya. Namun sekaligus bosnya—dan di kantor, dialah yang memiliki seluruh otoritas. Naren mendongak ketika mendengar langkah putrinya. “Pagi.” Nadanya datar, profesional, tanpa kehangatan keluarga. “Pagi, Pak,” jawab Flora sama dinginnya. Tak ada pelukan. Tak ada sapaan hangat. Tak ada pertanyaan “sudah sarapan?” atau “bagaimana keadaanmu?”. Di ruangan ini, mereka bukan ayah dan anak. Mereka adalah CEO dan Direktur Operasional. “Agenda?” tanya Naren sambil menutup mapnya. “Proyeksi ekspansi Q4 dan laporan kemajuan cabang Surabaya,” jawab Flora cepat. “Baik. Kita mulai tepat waktu. Semua tim sudah dikabari?” “Semuanya siap.” Naren mengangguk kecil. Tatapan tegasnya menunjukkan standar tinggi—tidak ada toleransi untuk keterlambatan, kesalahan kecil, atau drama pribadi. “Setelah meeting, saya ingin kamu tinjau kembali proposal divisi keuangan. Ada beberapa bagian yang tidak konsisten.” “Siap,” sahut Flora tanpa ragu. Naren menatapnya sejenak—seolah menilai apakah Flora sudah kembali sepenuhnya setelah lima tahun koma. Tapi yang ia lihat sekarang adalah seseorang yang lebih kokoh. Lebih tenang. Lebih sulit dibaca. “Baik. Kita masuk.” Pintu ruang meeting terbuka, semua kepala menoleh, dan rapat besar dimulai tepat jam delapan. Di balik profesionalisme yang dingin itu Flora menyembunyikan bara dendam yang terus menyala—menunggu momen yang tepat untuk meledak. Di kediaman mewah Kaindra dan Flora. Anita menarik nafas perlahan sebelum melangkah masuk ke ruang keluarga. Ruangan itu jauh lebih megah daripada ruang tamu yang baru saja ia selesaikan—lantai marmer berkilau, sofa beludru warna burgundy, dan deretan foto keluarga Kaindra terpajang di dinding besar. Di sudut ruangan, sebuah vas bunga kristal berukir, setinggi lengan orang dewasa, berdiri di atas meja konsol kayu mahoni. Bunga lili putih segar membuatnya tampak semakin mencolok. Anita mendekat dengan kain pembersih di tangan, berusaha membersihkan permukaan meja tanpa membuat suara sedikitpun. Namun saat ia membungkuk, lengan bajunya tersangkut pinggiran meja—vas itu bergoyang. Sedikit saja. Tapi cukup membuat darah Anita seketika membeku. Krk— bunyi goyah kecil itu membuat jantungnya terjun ke perut. Anita refleks memegang vas dengan kedua tangan, tubuhnya hampir memeluk benda mahal itu untuk menahannya. Nafasnya putus-putus, jari-jarinya gemetar. “ANITA!” Suara itu memecah keheningan seperti cambuk. Anita menoleh cepat. Ratna berdiri beberapa langkah darinya, mata membelalak. “Kamu kerja yang benar!” bentaknya, melangkah cepat menghampiri. “Kalau vas bunga itu pecah, kamu nggak akan gajian selama setahun! Dan saya juga akan kena marah sama Nyonya!” Anita menunduk dalam-dalam, wajahnya memerah menahan malu dan takut. “Maaf, Bu… saya tidak sengaja. Saya—saya akan lebih hati-hati.” Ratna mendengus keras. “Kamu pikir ini rumah apa? Ini rumah orang penting. Semua barang disini harganya bisa buat hidup kamu sekeluarga berbulan-bulan! Jangan sampai kejadian barusan terulang.” Anita menelan ludah. Dadanya terasa sesak. Ia menunduk lebih dalam, meremas kain pembersih di tangannya. “Baik, Bu… maaf.” Ratna menatapnya beberapa detik, tajam, seolah memastikan Anita sungguh ketakutan. Setelah puas, ia memutar tubuh. “Cepat lanjutkan pekerjaanmu. Setelah ini kamu ke bagian pantry, ada yang harus dibereskan juga. Jangan sampai saya dapat laporan buruk lagi.” Anita mengangguk. Ratna pergi… dengan langkah tegas, meninggalkan aroma parfum yang menusuk. Anita menghembuskan napas pelan—napas yang tadi tertahan sejak vas itu bergoyang. Ia menatap sekilas bunga lili segar dalam vas kristal mahal itu. Untuk sesaat, ia merasa seperti vas itu—indah, dipajang, tapi bisa hancur kapan saja jika tersenggol sedikit saja. Ia mengusap air matanya cepat-cepat, memastikan tak ada yang melihat. Lalu ia kembali membungkuk… melanjutkan pekerjaannya dengan tangan yang masih sedikit bergetar. Saat jam menunjukkan pukul sebelas siang. Anita baru saja selesai membersihkan bagian bawah meja konsol salah satu ruang keluarga. Anita merasa sangat lapar. Ia ingin sekali beristirahat atau sekedar minum, tapi ia belum dapat waktu istirahat dari Ratna. Tiba-tiba Anita mendengar suara langkah pelan terdengar dari arah koridor. Langkah itu lembut, teratur, hampir seperti ritme musik, berbeda dari langkah Ratna yang selalu cepat dan berat. Anita mengangkat wajahnya perlahan. Seorang wanita berdiri di ambang pintu ruang keluarga. Dan Anita berkata sangat pelan, “Flora?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD