bc

Friend With Benefit

book_age18+
4.7K
FOLLOW
27.4K
READ
possessive
sex
friends to lovers
manipulative
student
sweet
bxg
like
intro-logo
Blurb

Ketika sebuah hubungan persahabatan tidak berjalan seperti umumnya. Aku yang membutuhkanmu, dan kau yang membutuhkanku. Kita saling terikat dan saling membutuhkan dan kau menyebutnya bahwa aku hanya sahabatmu. Tapi tak ada hubungan persahabatan yang saling menikmati tubuh orang yang kau sebut sahabatmu, bercinta layaknya sepasang kekasih yang tengah dimabuk asmara tiap malamnya. Ingin lepas dari hubungan sialan ini, tapi kau bertingkah layaknya bajingan licik yang tak mau melepasku. Semuanya begitu sial bagiku, semakin terjerumus dalam permainan pria sialan sepertimu dalam waktu yang tak dapat dikatakan sebentar. Tidak, tidak ada rasa cinta dalam hatiku untuknya. Aku hanya ingin lepas, begitu saja. Hubungan ini… tidak layak disebut persahabatan normal. Friend with benefit. Kau menyebutnya seperti itu.

Cover

Gambar: Pinterest

Font: Anaktoria, Sacramento, Canva Free

chap-preview
Free preview
Part 1
February 17, 2015 Senja itu, seorang gadis dengan tubuh semampai, surai sepinggang yang masih mengenakan seragam sekolahnya itu baru saja keluar dari ruang teater. Amanda Muller. Si cantik yang masih menjabat menjadi ketua ekstra teater. Namanya cukup populer dikalangan guru-guru maupun siswa disekolahnya. Selain karena wajah cantiknya yang menonjol, gadis itu juga pandai dan berkali-kali menyumbangkan prestasi bagi sekolahnya. Definisi sempurna bagi seorang perempuan. Semenjak dirinya berusia 17 tahun, gadis itu memutuskan untuk hidup sendiri di apartement. Awalnya tentu saja mendapat penolakan dari mommy-nya, yah siapa pula yang rela putri kecilnya memutuskan untuk tinggal terpisah dari orang tuanya? Namun dengan kemampuan gadis itu merayu, akhirnya kedua orang tuanya pun menyetujui keputusan Amanda untuk tinggal di sebuah apartement sendirian. Gadis itu berjalan dengan santai meninggalkan ruang teater untuk pulang menuju apartement tercintanya, namun baru melangkah sekitar 5 meter, gadis itu dibuat terkejut oleh seseorang yang tiba – tiba muncul dari ruang kelas yang akan dilewatinya kemudian ambruk. Keadaannya begitu mengenaskan, wajahnya penuh lebam babak belur. Bahkan darah kering nampak masih membekas disudut bibirnya. Seragamnya pun nampak begitu lusuh. Ah, ngeri sekali. Sebenarnya apa yang terjadi dengan pria ini? Dengan mengumpulkan keberaniannya, Amanda mendekat pada pria yang teronggok penuh luka didepannya itu.. Dilihat dari dekat, sepertinya ia mengenali wajah penuh luka itu. Setelah beberapa detik mengamati dan menganalisis wajah pria itu, Amanda terkesiap terkejut. “Daniel?!” pekik Amanda terkejut. Tangannya terulur menyentuh pipi pria itu perlahan, bermaksud mengembalikan kesadaran pria yang ternyata merupakan teman barunya dikelas 12 ini. “Sshhh…” desis pria itu meringis kesakitan. Namun nampaknya matanya sudah terlalu berat untuk sekedar melihat siapa yang tengah menyentuh pipinya itu. Kesadarannya semakin menipis, kemudian pingsan begitu saja, membuat Amanda semakin panik. “Hey, bangun. Apa yang harus kulakukan pada bocah ini?!” gerutu Amanda merasa frustasi. Ia tidak menemukan seorang pun untuk ia mintai tolong saat ini, jika ditinggal begitu sajapun mana mungkin? Bagaimana jika temannya ini sekarat dan mati disini gara – gara dirinya yang tak mau menolongnya? Dan bagaimana jika setelah itu arwahnya justru menggentayanginya dan mengajaknya mati bersama? Oke, semua fikiran – fikiran yang berseliweran dalam otak gadis itu mulai sangat tak masuk akal. Dengan decakan kesalnya, gadis itu dengan terpaksa mulai meraih tubuh yang tentu lebih besar darinya itu untuk berdiri. “Arghh… berat sekali. Sial, kita baru bertemu tadi pagi dikelas baru, dan kau sudah menyusahkanku begitu saja? Menyebalkan. Kau harus memberiku upah karena mau menolong dan menyeretmu dari lorong sekolahan. Ahh, sepertinya aku juga harus membawamu ke apartement ku karena tak tau alamat rumahmu.” Dan sepanjang jalan menuju gerbang sekolah itupun dihabiskan Amanda untuk menggerutu kesal. Beban berat yang dibawanya itu membuatnya berjalan dengan terseok – seok untuk melambaikan tangan didepan gerbang, menghentikan taxi yang untungnya dapat segera ia tumpangi. - “Uhh…” Brukkk* Amanda menghempaskan tubuh pria itu begitu saja diatas ranjangnya. Daniel Parker namanya. Dari yang selama ini Amanda dengar, pria ini adalah murid yang cukup populer dikalangan siswi dan guru karena berprestasi dalam bidang olahraga. Seorang kapten basket yang menyumbangkan banyak piala kejuaraan basket bersama timnya. “Lalu apa yang harus aku lakukan padanya?” gumam Amanda bingung, gadis itu mengetuk – ngetukkan jari telunjuknya pada dagu. Ah, apa ia juga harus mengobati temannya ini? Amanda menghela nafasnya, kemudian mengambil kotak obat yang tersedia dikamarnya. Sejujurnya ia begitu malas mengobati temannya itu, inginnya langsung mandi saja dan menyelesaikan tugas – tugasnya kemudian tidur nyenyak hingga esok. Tapi apa boleh buat, mana tega ia meninggalkan manusia ini pingsan mengenaskan hingga esok hari dengan wajah hancur penuh luka seperti ini? Setelah membersihkan bekas – bekas darah yang mengering diwajah dan lengan pria itu, Amanda segera mengobati luka – luka yang mulai membiru itu dengan antiseptik dan obat – obatan lainnya hingga selesai, kemudian gadis itu beranjak meninggalkan kamar yang kini dihuni Daniel, ia harus segera mandi, menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri kemudian mengerjakan semua tugas – tugas sekolahnya. - Mata elang yang semula terpejam damai itu kini mengerjap perlahan, mulai terbangun dari tidurnya. Ringisan sakit menjadi suara pertama yang ia keluarkan, matanya kembali terpejam selama beberapa saat ketika perih diseluruh wajahnya terasa begitu menyiksa. Juga jangan lupakan nyeri yang kini juga ikut terasa diseluruh tubuhnya. Pria itu, Daniel Parker, mengernyitkan dahinya ketika sadar sepenuhnya bahwa kamar yang saat ini ia tempati sama sekali tidak ia kenali. Dengan ringisan kesakitan, pria itu memaksakan diri untuk beranjak dari ranjang yang ditidurinya, melangkah dengan tertatih untuk keluar dari ruangan yang sebelumnya ia tempati itu. Matanya mengedar, kemudian menemukan sebuah tangga menuju kebawah. Keningnya mengernyit ketika menemukan sosok perempuan dengan surai coklat tua sepinggang dimeja makan yang tengah asyik fokus pada ponselnya. Mendengar sebuah derap langkah yang perlahan mendekat, gadis itupun menengokkan kepalanya kebelakang, dan menemukan teman sekelasnya itu telah bangun dari pingsannya. “Oh? Kau sudah sadar?” tanya Amanda dengan santainya kembali memakan roti berisi selainya dan matanya yang kembali fokus pada ponsel. “Amanda?” gumam Daniel baru saja menyadari bahwa gadis itu adalah teman sekelasnya. “Heum, kenapa?” Daniel menggaruk tengkuknya yang sejujurnya tidak gatal. “Tidak, hanya ingin bertanya, bagaimana bisa aku ada disini? Di apartement mu?” matanya kembali mengedar, melihat sekelilingnya. Sebuah apartement yang cukup besar dan elegant, tapi juga memiliki kesan sederhana. Sepertinya nyaman. “Kau sama sekali tidak ingat apapun?” Daniel menggelengkan kepala, ia benar-benar tidak ingat, bagaimana bisa dirinya ada di apartement teman yang baru dikenalnya kemarin pagi. “Aku tak tau apa yang terjadi padamu, yang jelas aku menemukanmu penuh luka dan pingsan didepanku tepat ketika aku memutuskan untuk keluar dari ruang teater dan ingin pulang.” Jelas Amanda dengan tangan yang cekatan bergerak mengoleskan selai pada roti tawar yang telah disiapkannya, kemudian menaruhnya diatas piring dan disodorkan pada Daniel. “Makanlah, aku sedang malas memasak. Lagipula hari ini libur satu hari kan?” Daniel hanya menganggukkan kepalanya, kemudian memakan roti itu dalam diam. Hening melanda keduanya, sebenarnya Amanda merasa nyaman saja karena keheningan merupakan hal biasa jika dia berada di apartement-nya, berbeda sekali dengan pria disebelahnya, ia terbiasa sarapan bersama keluarganya, jadi keheningan bukanlah hal umum baginya. “Eghm, kau tak ingin bertanya padaku mengapa aku bisa sampai babak belur seperti kemarin?” ucap Daniel berusaha mengenyahkan keheningan diantara mereka. Amanda menolehkan kepalanya kesamping, menatap Daniel yang balas menatapnya. “Rasa penasaran pasti ada, tapi kurasa itu privasimu. Aku tak ingin membuatmu tak nyaman jika aku menanyakan urusan pribadimu yang tak ada sangkut pautnya denganku.” Daniel cukup kagum dengan sikap yang ditunjukkan oleh gadis yang baru dikenalnya kemarin, tepatnya karena setiap tahun anggota kelas disekolahnya harus dirolling agar lebih mengenal satu sama lain. Amanda ini… nampaknya tipe gadis yang sopan dan menghargai privasi masing – masing, atau cenderung tak mau peduli asalkan hal itu tak merugikannya, itu fikir Daniel, yang saat ini senantiasa menatap wajah Amanda dari samping. “Kenapa? Apa ada suatu hal yang aneh diwajahku hingga membuatmu menatapku sebegitu intens-nya?” tanya Amanda masih dengan wajah datarnya, matanya masih fokus pada kertas yang mirip sebuah proposal, namun bagaimana gadis itu tau jika Daniel tengah menatapnya intens? “Uhukk…” ia benar – benar tersedak oleh roti yang tengah ia makan karena terkejut mendengar ucapan Amanda yang terkesan begitu santai. Gadis itu meraih gelas dan teko berisi air putih dihadapannya, kemudian menyodorkannya pada Daniel yang dengan cepat pria itu raih untuk kemudian diteguknya dalam waktu singkat. Ah, memalukan sekali. Gadis itu masih begitu datar mengetahui dirinya yang tersedak karena terpergok menatapnya intens, berbeda sekali dengan Daniel yang mengumpat dalam batin mengenai betapa memalukannya dirinya. “Kau tinggal sendirian di apartement ini?” tanya Daniel kembali membuat topik percakapan untuk menghapuskan kecanggungan yang terjadi. “Kurasa kau bisa menilainya sendiri. Bukankah sudah terlihat?” sangat singkat. Membuatnya bingung harus berbicara apa lagi. Ia kembali berfikir keras untuk menemukan topik pembicaraan baru. Sejujurnya ia ingin menyampaikan suatu keinginannya, tapi ia takut, Amanda pasti menolaknya mentah – mentah melihat dari sikapnya. “Kenapa? Kau ingin mengatakan suatu hal padaku? Nampaknya kau menahan untuk menyampaikan sesuatu padaku.” Daniel membulatkan matanya. Jadi, apakah Amanda ini adalah seorang cenayang? Bagaimana bisa ia menebak raut wajahnya tanpa melihatnya sedikitpun? Gadis itu membolak – balik kertas ditangannya, kemudian menghela nafas dan mengalihkan pandangannya pada Daniel secara sepenuhnya, membuat Daniel kembali terperanjat. “Apa? Katakan saja? Kau membuatku tak fokus mengkoreksi proposal.” Daniel menahan nafasnya selama beberapa detik. Sialan, kenapa dirinya terlihat begitu bodoh begini dihadapan Amanda? “Aku… ini sebenarnya sedikit rumit. Sebenarnya…” To be continued~

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Nafsu Sang CEO [BAHASA INDONESIA/ON GOING]

read
885.0K
bc

I Love You Dad

read
282.8K
bc

OLIVIA

read
29.2K
bc

Call Girl Contract

read
323.1K
bc

Rewind Our Time

read
161.2K
bc

Living with sexy CEO

read
277.7K
bc

LIKE A VIRGIN

read
840.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook